Mohon tunggu...
Diva Syafa
Diva Syafa Mohon Tunggu... Tutor - Tutor Qanda

Saya suka meluapkan perasaan saya lewat tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saudara Toxic

7 Juni 2023   10:24 Diperbarui: 8 Juli 2023   17:07 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     

Aku seorang anak perempuan yang bahagia setelah lulus kuliah. Merasakan nikmatnya diwisuda yang penuh perjuangan dan air mata terbalas dengan tangis bahagia.
     Kukira setelah lulus kuliah, hidup akan berjalan sesuai dengan rencanaku. Tetapi, ternyata tidak, semua berubah 180 derajat. Setelah lulus, aku harus mencari pekerjaan dan memulai kehidupan nyata yang sebenarnya. Tak segampang yang kupikirkan. Mencari pekerjaan di zaman sekarang sangatlah sulit. Aku yang terbangun dari lamunan, disadarkan oleh suara orang yang tidak asing
ditelingaku, Ibu memanggilku.
     "Sila, kamu udah makan, Nak?" tanya Ibu kepadaku yang sedang berada di depan laptop.
     "Belum, Bu. Bentar lagi ya, Sila makan!" jawabku seraya melihat laptop yang ada didepanku.
     "Nak, kamu dari tadi pagi belum makan. Nanti kamu sakit, Ibu yang repot. Insha Allah setelah makan, pikiran akan tenang dan bisa lanjut lagi cari kerja. Berdoa kepada Allah, Nak, supaya diberi kelancaran dalam mendapatkan pekerjaan!" ucap Ibu seraya memelukku.
     "Iya deh Ibu!" ucapku singkat seraya akan berjalan menuju ruang makan.
     Aku makan dengan lauk seadanya karena kebutuhan kami bertambah banyak. Bahkan ketika makan pun aku melamun lagi, memikirkan gimana caranya agar aku bisa mendapatkan pekerjaan dan bertahan hidup untuk membantu keluarga ini.
     Aku merupakan anak pertama dari dua orang bersaudara. Aku mempunyai adik yang masih SMA. Usiaku dengannya terpaut hampir 5 tahun. Sedangkan ayahku jarang di rumah karena harus mencari nafkah keluar kota. Ayahku bekerja sebagai sopir diluar kota, sedangkan ibuku bekerja sebagai guru honorer di SD swasta. Jika penghasilan mereka digabungkan tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan. Untung sekarang aku tidak butuh biaya untuk kuliah lagi, sedangkan adikku masih butuh biaya untuk sekolahnya.
      Aku memikirkan cara supaya bisa mendapatkan pekerjaan dengan cepat, semua usaha dan doa sudahku lakukan, tapi hasilnya nihil. Mau buka usaha pun pasti butuh modal yang nggak sedikit. Ibuku pun memberikan usulan tentang masalahku ini.
    "Sila, gimana nanti pas lebaran kan Bang Yudi pasti kesini. Kita minta tolong aja sama dia supaya kamu bisa dapat kerja!" ucap Ibu seraya merapikan piring kotor di meja makan.
    "Tapi Bu..." ucapku sengaja menggantungkan kalimatku karena aku tak yakin dengan usulan Ibu.
    "Tapi kamu takut gak ada lowongan untuk kamu kan Sila?" tanya Ibu seraya menatap ke arahku.
     "Iya Bu!" jawabku singkat seraya menatap ke arah Ibu.
     "Nggak ada salahnya dicoba dulu, Nak. Lagian kakaknya Bang Yudi juga kerja di kota B, jadi mana tau Bang Cecep juga bisa bantu kamu, kan mereka banyak kenalan!" ucap Ibu dengan suara yang lembut.
     "Iya Bu, mudah-mudahan saja ada lowongan kerja untuk Sila!" ucapku seraya tersenyum ke arah Ibu.
     Tak tau kenapa hatiku merasa nggak enak setelah Ibu bicara seperti itu. Tapi apa salahnya dicoba dulu, mana tau Bang Yudi dan Bang Cecep ada lowongan kerja untukku. Bang Yudi dan Bang Cecep adalah saudaraku. Mereka adalah anak dari adik ayahku. Mereka udah kerja dan sukses, makanya Ibu ingin minta bantuan ke mereka untuk mencarikanku pekerjaan.
     ***
     Sebulan kemudian kami berpuasa dan setelah itu lebaran Idul Fitri. Suara takbiran pun terdengar di telingaku. Ya, hanya itu yang membuatku tenang. Dulunya aku sangat menantikan momen Idul Fitri, tapi sekarang tidak karena pada momen ini mereka saling bertanya gimana anak-anak sekarang. Mereka selalu bertanya sekolah, kuliah, dan pekerjaan ini. Aku ingin menghentikan waktu rasanya agar tidak ditanya masalah pekerjaan nantinya.
     Setelah selesai shalat Idul Fitri di lapangan dekat rumahku, aku segera kembali ke rumah untuk mempersiapkan segala sesuatu karena tamu akan datang ke rumah. Beberapa jam setelah shalat Idul Fitri, Bang Yudi dan istrinya pun datang. Aku, Ibu dan adikku menyambutnya dengan ramah.
     "Assalamualaikum," ucap Bang Yudi dan istrinya nyaris serentak.
     "Waalaikumussalam," ucapku dan Ibu juga nyaris serentak.
     "Silakan duduk Yudi dan Mika!" ucap Ibu seraya tersenyum ke arah mereka.
     "Iya Ma!" ucap mereka nyaris serempak.
Bang Yudi dan istrinya memang memanggil Mama kepada ibuku. Semenjak papa dan mamanya cerai, mereka tiap tahun selalu berkunjung saat lebaran pertama ini.
     "Yudi, Mika, silakan minum dan dicicip kuenya!" ucap Ibu seraya menatap ke arah mereka.
     "Iya, Ma. Paman dimana ma?" tanya Bang Yudi kepada Ibu.
     "Paman nggak bisa pulang lebaran tahun ini karena harus kerja!" ucap Ibu seraya mencicip kue lebaran.
     "Berarti paman lebaran di jalan ya, Ma!" ucap Bang Yudi dan istrinya manggut-manggut.
    "Iya Yudi, mau gimana lagi, terpaksa. Kalau paman nggak kerja, Mama jadi susah karena biaya sekolah Afifah tidak sedikit. Kalau diandalkan gaji Mama nggak bakalan cukup Yudi!" ucap Ibu seraya menatap sendu ke arah Bang Yudi.
     "Benar juga ya, Ma. Zaman sekarang apa-apa butuh duit. Oh ya Ma, Sila udah wisuda kan Ma?" tanya Bang Yudi seraya menatap Ibu dan aku.
    "Udah Yudi, Sila udah lulus. Tapi..." ucap Ibu sengaja menggantungkan ucapannya.
    "Tapi apa Ma? Wisuda bulan berapa Sila kemarin Ma?" tanya Bang Yudi seraya menatapku dan Ibu.
    "Tapi Sila belum dapat kerja Yudi. Sila wisuda bulan April kemarin. Udah beberapa bulan cari lowongan kerja, tapi belum juga ada panggilan kerja. Mama boleh minta tolong Yudi?" tanya seraya menatap penuh harap Bang Yudi.
    "Minta tolong apa Ma? Kalau Yudi bisa bantu, insha Allah Yudi bantu!" ucap Bang Yudi seraya menatap ke arah Ibu.
    "Yudi, kalau ada lowongan kerja kasih tau Mama ya. Soalnya zaman sekarang cari kerja susah dan kami nggak punya orang dalam!" ucap Ibu penuh harap kepada Bang Yudi.
    "Iya Ma, kalau ada lowongan pasti Yudi kabari Mama atau Sila. Nomor wa Sila ada Ma? Biar nanti kalau ada lowongan, langsung Yudi kabari!" ucap Bang Yudi seraya mencicipi kue lebaran yang disuguhkan Ibu.
    "Ada Yudi. Nanti setelah Sila selesai shalat, Mama panggil dia kesini untuk ngomong masalah ini!" ucap Ibu seraya tersenyum sumringah ke arah Bang Yudi dan istrinya.
    "Ma, kalau boleh tau, Sila jurusan apa ya? Kalau nanti ada lowongan, Mika kasih kabar juga ke dia!" ucap Kak Mika, istri Bang Yudi seraya mencicipi kue lebaran.
    "Nah itu Sila, sini, Nak. Dari tadi Ibu bahas soal kamu. Yudi dan Mika mau bantu kamu untuk cariin kamu kerjaan!" ucap Ibu seraya menatap ke arahku.
    "Iya Bu, maaf ya, Bang Yudi dan Kak Mika. Sila tadi shalat bentar. Bang Yudi dan Kak Mika beneran mau bantu Sila?" tanyaku seraya menatap ke arah mereka.
    "Iya Sila, Bang Yudi boleh minta wa nya Sila? Biar nanti kalau ada lowongan, Bang Yudi atau Kak Mika kabarin!" ucap Bang Yudi seraya menatap ke arahku.
    "Ya, boleh lah Bang Yudi, kita kan saudara. Terimakasih banyak ya sebelumnya Bang Yudi dan Kak Mika atas bantuannya!" ucapku seraya tersenyum sumringah ke arah mereka.
    "Ya, sama-sama Sila. Oh ya Cila, Bang Cecep kan lagi bikin usaha di Kota B, siapa tau Bang Cecep juga ada lowongan disana!" ucap Kak Mika seraya menatap ke arahku.
    "Coba Sila hubungi Bang Cecep, nanti minta kontak wa nya ke Kak Mika. Mana tau Bang Cecep ada lowongan disana karena disana banyak perusahaan. Insha Allah ada kerjaan disana. Nanti Bang Yudi bilang ke Bang Cecep!" ucap Bang Yudi seraya tersenyum ke arahku.
    "Iya, Bang Yudi dan Kak Mika. Sekali lagi terimakasih, ya!" ucapku seraya tersenyum sumringah ke arah mereka.
    "Terimakasih ya Yudi dan Mika atas bantuannya!" ucap Ibu seraya menatap ke arah mereka.
     "Iya, sama-sama Mama, Sila!" ucap Bang Yudi dan Kak Mika nyaris serempak
     Aku membagikan kontak wa ku kepada Bang Yudi dan Kak Mika. Begitupun mereka membagikan kontak wa Bang Cecep. Mudah-mudahan setelah aku menghubungi Bang Cecep, ada titik terang untuk hidupku. Mereka pun berpamitan untuk bersilaturahmi ke keluarga mereka yang lain.
    ***
    Beberapa hari kemudian, aku mencoba menghubungi Bang Cecep. Sengaja aku loadspeaker supaya Ibu dan adikku juga mendengarnya. Setelah hampir satu menit, akhirnya tersambung juga.
    "Assalamualaikum Bang Cecep. Maaf mengganggu waktu Abang. Abang lagi dimana sekarang? Sila mau ...." ucapanku yang tiba-tiba dipotong Bang Yudi.
    "Waalaikumussalam, Bang Cecep sudah tau semuanya dari Yudi. Abang sekarang ada di pasar, mau mempersiapkan acara buat akikahan anak Abang. Gini aja, Sila mau nggak pergi sama Abang ke Kota B hari Sabtu, persiapkan baju dan diri aja, berangkat langsung sama Abang!" ucap Bang Cecep.
     "Hah, serius ini Bang? Yang perlu dipersiapkan selain itu apa Bang?" tanyaku kepada Bang Yudi.
    "Cuma baju, berkas lamaran kerja sama diri aja. Kalau mau, berangkat sama Abang dengan pesawat Sabtu ini!" ucap Bang Cecep.
    "Ok Bang Cecep. Terimakasih banyak Bang!" ucapku seraya menatap ke arah Ibu.
    "Iya, sama-sama Sila!" ucap Bang Cecep singkat.
    Aku shock mendengar ucapan Bang Yudi yang ingin membawaku ke Kota B. Adikku juga shock dan tersenyum sumringah mendengarnya. Karena shock, aku memberikan telepon kepada Ibu.
     "Assalamualaikum Cecep. Ini Mama, beneran Cecep ingin membawa Sila ke Kota B untuk cari kerja?" tanya Ibu kepada Bang Cecep.
     "Waalaikumussalam Ma, iya beneran Ma. Oh ya Ma, hari Rabu anak Cecep mau ngadain acara akikah, kalau Mama ada waktu datang ya Ma, bawa Sila juga!" ucap Bang Cecep kepada Ibu.
     "Insha Allah Cep. Emang ada lowongan kerja disana Cep?" tanya Ibu kepada Bang Cecep.
     "Ada Ma, tenang aja. Yang jelas Sila mau dulu, insha Allah banyak kerjaan disana!" ucap Bang Cecep kepada Ibu.
     "Terimakasih banyak Cecep!" ucap Ibu kepada Bang Cecep.
     "Sama-sama Ma, maaf Ma, Cecep lagi di pasar. Nanti aja wa Cecep kalau bahas lebih lanjut lagi!" ucap Bang Cecep kepada Ibu.
     "Iya Cep, maaf mengganggu waktunya!" ucap Ibu kepada Bang Cecep.
     "Nggak apa-apa Ma. Waktunya aja yang nggak pas kalau ngomong ini di pasar!" ucap Bang Cecep kepada Ibu.
     "Iya, Cep. Assalamualaikum!" ucap Ibu kepada Bang Cecep.
     "Waalaikumussalam, Ma!" ucap Bang Cecep singkat.
Tiit... Komunikasi pun diputus oleh Ibu.
     Afifah, adikku setuju dan tidak banyak ngomong karena saking senangnya mendengar kabar bahagia ini. Kami nggak mungkin ngambil keputusan sendiri tanpa bicara dulu dengan ayah.  Karena ayah jauh, Ibu nelpon saja untuk memberikan kabar ini.
     "Assalamualaikum Mas, lagi dimana. Ibu mau ngabarin suatu hal tentang Sila?" tanya Ibu kepada Ayah.
     "Waalaikumussalam, Ayah lagi di Kota J. Mau bawa barang ke Kota M. Apa itu?" tanya Ayah kepada Ibu.
     "Mau bilang kalau anak kita mau dibawa Cecep ke Kota B untuk cari kerja. Hari Rabu anak Cecep ada acara akikah, jadi kami diminta untuk datang ke rumah istrinya dikampung. Hari Sabtu ini anak kita mau dibawa ke Kota B. Gimana menurut Mas?" tanya Ibu kepada Ayah.
    "Seriusan Bu? Mungkin Ayah nggak bisa datang ke akikahan anaknya Cecep. Jadi Cecep mau bawa anak kita kesana? Nggak apa-apa sih kalau Cecep yang bawa. Ayah setuju aja!" ucap Ayah kepada Ibu.
     "Seriusan Yah. Nggak apa-apa kok, biar Ibu yang wakilkan Ayah hadir di acara itu. Kalau gitu, Sila aku suruh beres-beres untuk persiapan kesana!" ucap Ibu kepada Ayah.
     "Ya udah. Ayah buru-buru nih, mau ngantar barang!" ucap ayah kepada Ibu.
    "Iya, Ayah hati-hati ya, jangan ngebut-ngebut. Assalamualaikum!" ucap Ibu kepada Ayah.
    "Iya Bu. Waalaikumussalam!" ucap Ayah kepada Ibu.
Tiit... Komunikasi pun terputus karena Ayah lagi kerja. Alhamdulillah, Ayah setuju dengan penawaran Bang Cecep.  Sementara aku dapat kabar dari Bang Yudi kalau dia mau bayarin ongkos aku ke Kota B. Aku terharu dan bahagia melihat saudaraku baik banget. Tapi entah kenapa hatiku merasa nggak enak. Nggak tau apa sebabnya, mungkin perasaanku saja.
     Hari Rabu pun tiba, Ibu bersiap-siap untuk pergi ke acara akikahan anak Bang Cecep. Sebenarnya aku mau diajak Ibu, tapi karena nggak ada kendaraan, makanya Ibu pergi sendiri kesana bermodalkan alamat yang dikasih Bang Cecep.
     "Bu, hati-hati ya. Bilang sama Bang Cecep kalau aku nggak bisa datang karena nggak ada kendaraan!" ucapku kepada Ibu.
     "Iya Sila, nanti Ibu bilang. Kalian hati-hati ya di rumah, jangan berantem!" ucap Ibu kepada kami.
     "Iya Bu, tergantung Kakak sih Bu, lagian dia nyebelin!" ucap Afifah kepada Ibu dan aku.
     "Ih... kamu juga nyebelin ya Dek, sadar diri dong!" ucapku kepada Ibu dan Afifah.
     "Sudah-sudah, belum pergi aja kalian sudah berantem. Kerjain aktivitas masing-masing biar nggak berantem!" ucap Ibu kepada kami.
     "Iya Bu!" ucapku nyaris serempak dengan Afifah.
     "Ibu pergi dulu ya, baik-baik kalian di rumah!" ucap Ibu kepada kami.
     "Iya Bu, hati-hati!" ucapku dan Afifah nyaris serempak.
     Setelah Ibu pergi dan pulang kembali ke rumah, Ibu menceritakan kepada kami kalau Bang Cecep memang akan berangkat ke kota B hari Sabtu. Disana, Ibu tidak bisa terlalu banyak ngomong sama Bang Cecep karena musik yang terlalu keras di pesta tadi. Bang Cecep nanti akan memberitahu lewat wa kepastian jam berapa berangkatnya.
     "Bu, aku udah beres-beres nih, takutnya ada yang ketinggalan. Coba Ibu sebutin barang apa saja yang perlu dibawa!" ucapku seraya menatap ke arah Ibu.
     "Sepatu, sandal, tas, baju, powerbank, charger laptop sama laptop udah dimasukin semua belum?" tanya Ibu seraya menatap ke arahku.
    "Udah semua sih Bu!" ucapku seraya melihat ke arah koperku.
    "Ok, tinggal nunggu kepastian Cecep dan Yudi lagi kan Sila?" tanya Ibu kepadaku.
    "Iya, Bu. Mungkin mereka lelah karena acara hari ini. Kita tunggu aja besok Bu untuk wa Bang Cecep untuk kepastian pesawat itu!" ucapku seraya menatap ke arah Ibu.
    "Iya Sila, mungkin mereka lelah. Kita wa Cecep esok harinya karena udah malam juga!" ucap Ibu kepadaku.
    "Iya, Bu, Kak. Nggak enak juga wa Abang itu malam-malam. Takut ganggu istirahat orang aja!" ucap Afifah kepadaku dan Ibu.
    "Iya, Dek. Tumben kamu bijak gini. Biasanya ngomong sama kamu kayak ngajak berantem!" ucapku meledek Afifah.
    "Ih... si Kakak baru tau aja kalau adiknya ini memang bijak. Kalau soal berantem, kamu sih Kak ngajak ribut mulu!" ucap Afifah seraya tertawa renyah kepadaku.
    "Hmmm... kepedean kamu ya Dek. Kamu yang ngajak ribut duluan ya!" ucapku seraya menjulurkan lidah kepada Afifah.
    "Kamu yang duluan ya Kak!" ucap adikku seraya menjulur lidah kepadaku.
    "Sudah-sudah, kalian ini ribut mulu. Masuk kamar sana!" ucap Ibu seraya menatap tajam ke arah kami.
     Kami pun masuk ke kamar masing-masing. Kami tidak tidur sekamar karena aku selalu ribut dengan adikku. Karena seharian sudah lelah beres-beres, aku pun mau istirahat.
     Keesokan harinya aku pun dengan semangat, ingin wa Bang Cecep tentang pesawat itu. Tapi setelah dihubungi Bang Cecep nggak ada kabar atau balas wa ku. Aku pun coba menghubungi Bang Yudi tentang kepastian pesawat itu dan hasilnya pesawat pada hari itu untukku penuh. Jadi, Bang Yudi memohon padaku untuk bersabar dulu hingga ada pesawat lagi. Hingga hari Jum'at pun belum ada pesawat katanya.
     ***
     Hari Sabtu pun tiba, namun, kepastian dari Bang Yudi atau Bang Cecep belum ada. Bang Cecep yang hanya sekedar ngeread wa ku padahal dia online, menimbulkan tanda tanya dibenakku. Kalau sibuk pun bilang, kalau belum ada pesawat pun aku pasti menunggu. Tapi seperti dikasih harapan yang tak pasti. Perasaanku mulai tambah nggak enak, apalagi Ibu dan adikku juga merasakan hal yang sama.
     "Bu, kenapa Bang Cecep cuma ngerad wa ku ya, Bu?" ucapku menatap ke arah Ibu.
     "Iya, Nak. Ibu juga berpikir mereka ngeprank kita atau gimana ya!" ucap Ibu seraya menatap ke arahku.
     "Bisa jadi ya Bu, tapi nggak boleh suudzon dulu Bu. Mana tau aku disuruh nyusul nanti kalau ada pesawatnya!" ucapku berpikir positif.
     "Iya, Sila. Atau coba kamu hubungi Mika. Tanya ke dia, Cecep udah berangkat atau belum," ucap Ibu seraya menatap ke arahku.
     "Iya, Bu. Aku wa Kak Mika!" ucapku singkat.
     Aku pun wa Kak Mika tentang kepergian Bang Cecep hari ini. Ternyata Bang Cecep memang berangkat hari ini dan nggak ngabarin aku. Sungguh teriris rasanya hatiku. Kemarin, mereka yang ingin membawaku, tapi mereka pergi tanpa kabar seolah merasa tak bersalah. Aku sedih, bahkan malam hari pun nggak ada kabar dari mereka sama sekali. Fix, mereka ngeprank kami dan toxic sekali mereka. Orang yang kuanggap saudara yang sangat baik, keliatannya alim, nggak nyangka kalau mereka setoxic ini.
     "Sila, jangan kamu pikirkan ya, Nak. Nanti kamu sakit. Kamu cari aja kerja di lowongan kerja online seperti biasa. Insha Allah dapat, Nak. Banyak yang belum dapat kerja, nggak kamu aja Nak. Allah sedang menguji kita Nak!" ucap Ibu seraya menenangkanku.
     "Iya, Bu. Nggak nyangka aja Bu. Keliatannya mereka baik, tapi ternyata kusalah menilai mereka Bu. Ternyata aku punya saudara toxic yang berlindung dibalik topeng malaikatnya!" ucapku seraya menangis terisak.
     "Sudah Sila, kamu nggak pantas sedih sama orang seperti itu. Ibu juga sakit hati melihat kelakuan mereka. Tapi Allah ada, Nak. Allah akan membalas semua perbuatan mereka. Allah menunjukkan kepada kita siapa mereka sebenarnya!" ucap Ibu seraya memelukku.
    "Bu, setelah ini aku nggak mau minta tolong sama saudara lagi. Sakit banget rasanya dikasih harapan setinggi-tinggi dan dipatahkan sepatah-patahnya. Saat aku susah, mereka berbuat seperti itu. Mereka kira roda nggak akan berputar, mereka terlalu sombong dan toxic, Bu!" ucapku seraya menghapus air mataku.
     "Iya, Nak. Ibu ngerti perasaan kamu, Ibu nggak akan minta bantuan sama saudara lagi. Yang penting sekarang jangan kepikiran soal itu, bisa membuat hati kita semakin sakit, Nak. Tenangkan dirimu, istirahatlah!" ucap Ibu seraya memegang pundakku.
     "Iya, Bu. Sila istirahat ya, Ibu istirahat juga. Selamat tidur, Bu!" ucapku kepada Ibu.
     "Selamat tidur juga Sila dan Afifah!" ucap Ibu kepada kami.
    "Iya Bu!" ucap kami nyaris serempak masuk ke kamar masing-masing.
    Adikku tidak terlaku banyak omong hari ini karena aku lagi sedih. Dia memberiku ruang untuk sendiri. Sesampainya di kamar, aku masih bertanya-tanya kenapa mereka tega berbuat seperti itu. Apa salahku? Apa karena uang pesawat itu? Tapi aku nggak pernah minta dibayarin ongkos pesawatnya karena Ayah dan Ibu hanya minta bantuan untuk mencarikanku kerjaan disana saja. Aku setel musik yang lagi viral, lagu Mahalini yang berjudul Sial, tapi aku ubah liriknya sesuai kisahku. Maafkan aku ya Mahalini, nggak bermaksud merubah liriknya kok, cuma pengen ngungkapin isi hatiku yang aedih aja saat ini. Aku pun menghidupku lagu Sial itu di kamar, tapi dengan suara yang pelan agar Ibu dan adikku tidak bangun.
    "Sial sialnya ku bertemu dengan saudara toxic. Tertipu tutur dan caramu seolah membantu. Puas kau pranki aku!" aku bernyanyi sendiri di kamar hingga lagu itu selesai.
     Lega rasanya setelah menyanyi lagu Sial. Ada beban yang terlepas rasanya, tapi sakit dihatiku masih belum hilang. Aku memang memaafkan perbuatan mereka, tetapi tidak untuk melupakan. Terlaku sakit goresan di hati ini yang mereka torehkan. Sampai kapan pun aku nggak akan lupa. Disaat kita susah, kita akan benar-benar bisa melihat siapa yang paling peduli, siapa yang pura-pura peduli dan toxic, dan siapa yang paling tidak peduli. Aku banyak belajar setelah kejadian semua ini. Semua kepahitan hidup sudah pernah aku rasakan. Yang paling pedih adalah berharap kepada manusia walau ujung-ujung dipatahkan harapan itu. Udah, berharap cuma kepada Allah karena cuma Allah tempat kita berharap dan memohon.
     Tak ada kata maaf atau sepatah katapun yang diucapkan mereka kepada kami. Ya Allah, berikanlah mereka balasan yang setimpal atas perbuatan mereka. Sebulan kemudian aku kerja online, menjadi Tutor di sebuah aplikasi belajar online. Lumayan, sembari mencari kerjaan lain, aku bisa meraih cuan.
     "Bu, alhamdulillah. Aku diterima kerja di aplikasi belajar online, menjadi Tutor, Bu. Lumayan Bu, sembari cari kerjaan lain, aku dapat gaji juga!" ucapku seraya tersenyum sumringah ke arah Ibu.
    "Iya Nak, lumayanlah untuk nambah jajan kamu. Kamu tetap semangat ya, Nak. Buktikan kepada mereka kalau kita bisa sukses tanpa mereka!" ucap Ibu seraya tersenyum ke arahku.
    "Iya, Kak. Buktiin ke mereka kalau Kakak tu bisa sukses tanpa bantuan mereka. Semangat kakakku yang nyebelin!" ucap Afifah seraya menatap ke arahku.
    "Iya, Dek. Udah semangat nih, tapi karena ada kata nyebelinnya jadi ciut deh semangatnya!" ucapku seraya meledek Afifah.
    "Ih... jangan gitu dong Kak. Semangatnya tetap, tapi Kakak emang nyebelin tau. Tapi aku sayang Kakak banyak-banyak!" ucap Afifah seraya menatapku.
    "Olololo... Ternyata adikku yang super nyebelin sayang aku juga rupanya. Aku juga sayang sama kamu Dek!" ucapku seraya tertawa renyah.
    "Kalian ini sebentar akur, sebentar berantem. Pusing Ibu liatnya, untung anak Ibu cuma dua!" ucap Ibu seraya tertawa renyah.
    Aku pun melanjutkan kehidupan sebagai Tutor beberapa bulan. Beberapa bulan kemudian, aku ingin mengasah bakatku di dunia literasi. Aku ingin menulis cerpen dan novel di platform online. Siapa sangka, kisahku yang penuh lika-liku, aku ceritakan di cerpen dan novelku. Alhasil, banyak yang suka dan ada novelku satu yang viral di media sosial. Ada sutradara yang mengajakku kerjasama untuk mengangkat novelku menjadi sebuah film.
     "Bu, alhamdulillah. Novelku diangkat jadi film dan aku diundang ke Kota J untuk persiapan film disana. Boleh nggak Bu aku pergi?" tanyaku seraya memohon kepada Ibu.
     "Alhamdulillah, Nak. Berarti kamu bisa ketemu artis dong dan kamu bakalan terkenal. Tapi Ibu minta izin dulu sama ayahmu, ya!" ucap Ibu seraya menatap ke arahku.
     "Iya, Bu. Mudah-mudahan Ayah ngizinin aku kesana ya, Bu!" ucapku seraya tersenyum sumringah.
     Ibu menghubungi Ayah untuk meminta izin soal keberangkatanku ke Kota J. Alhamdulillah, ayah setuju dan aku akan berangkat seminggu kemudian. Terimakasih ya Allah, Engkau telah menyusun skenario hidupku dengan indah.  Setelah kesulitan, pasti ada kemudahan. Itu yang tertera didalam Al-Qur'an dan terbukti nyata dikehidupanku. Kehidupanku berubah drastis semenjak sampai di Kota J. Gajiku yang dulu tak seberapa, sekarang rumah dan mobil pun bisa ku beli. Aku ingin membahagiakan keluargaku. Aku bungkam mulut mereka dengan kesuksesanku. Benar kata Ibu kalau kita bisa sukses tanpa bantuan mereka.
     Adikku sekarang udah kuliah di universitas swasta yang bergengsi. Aku ingin membiayai kuliahnya hingga ia dapat kerja nanti. Kalau perlu, jika jadi novelis tidak bersinar lagi, aku dari sekarang ingin buka usaha Coffee Shop kekinian anak muda gitu. Aku berjaga-jaga jika seandainya karirku tidak bersinar seperti sekarang. Ayahku sudah tidakku bolehkan lagi kerja karena aku sanggup membiayai kebutuhan keluarga ini. Tapi Ibu tetap ingin jadi guru karena dia lulus PPPK Guru tahun ini. Jadi, sayang kalau tidak diambil.
     Berbulan-bulan lamanya tak mendengar kabar Bang Yudi atau Bang Cecep. Ternyata aku dapat kabar dari saudara papaku yang lain kalau Bang Cecep sakit jantung dan sebulan ini harus dirawat di rumah sakit. Bang Yudi juga mengidap kanker paru-paru seminggu ini. Aku sekeluarga shock mendengar kabar itu. Tapi aku nggak mau tau tentang mereka lagi karena sakit hati tidak bisa dilupakan. Nggak apa-apa orang bilang aku jahat atau gimana, sebelum mereka bilang seperti itu, apa mereka tau tentang toxicnya saudaraku itu. Hatiku nggak bisa dipaksa untuk melupakan kejadian itu dengan saudara toxic itu.
~End

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun