Mohon tunggu...
DIVASKESYA
DIVASKESYA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Ciputra Surabaya

A dedicated lifelong-learner. Throughout her life, Keya cultivated a love for learning and exploring new horizons. With the creative spirit, genuine passion, and mutual respect enable her to approach challenges with a fresh perspective and find unique solutions. She is also driven by a strong sense of purpose and is committed to making a positive impact on the world around her.

Selanjutnya

Tutup

Film

Film Bajakan, Katalisator atau Penghalang Ekonomi Kreatif?

10 November 2024   21:05 Diperbarui: 10 November 2024   21:15 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah nonton film di situs abal-abal? Atau punya teman yang hobinya bagi-bagi situs film terbaru? Itu namanya film bajakan! Nah, siapa sih diantara kita yang nyaris tidak pernah melewatkan tontonan film bajakan? Fenomena yang terlahir dari adanya moto "kalau bisa gratis, kenapa harus bayar?" ini nyatanya secara ironi telah mendarah daging pada masyarakat kita yang masih buta akan imbas dari pelanggaran Hak Cipta.

Ngomongin film bajakan, rasanya jadi dilema ya? Di satu sisi, kita diuntungkan tanpa harus keluar duit banyak. Tapi di sisi lain, dampaknya justru ternyata tidak main-main lho! Karena justru dengan mengunduh film bajakan dari internet dapat dikategorikan sebagai penggandaan suatu ciptaan secara tidak sah yang dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 113 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yaitu dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1 miliar. Terlebih jika film tersebut disebarluaskan untuk kepentingan ekonomi penikmat karya bajakan, maka akan dipidana dengan penjara selama 10 tahun dan denda Rp. 10 miliar.

Di tahun 2020 saja, pendapatan industri film Indonesia anjlok hingga 97%, dipicu oleh peraturan pemerintah yang mengharuskan fasilitas-fasilitas umum non esensial, termasuk bioskop, ditutup untuk menekan kasus COVID-19. Padahal, 90% dari pendapatan industri film lokal berasal dari penjualan tiket bioskop. Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI) pun melaporkan bahwa pembajakan film Indonesia sudah merugikan industri film Indonesia sebesar Rp 5 triliun (348,8 juta dollar AS) pertahun. Tentu saja, kerugian ini mengancam masa depan industri film lokal dan ekonomi secara keseluruhan, mengingat puluhan ribu orang secara langsung bergantung pada industri film dan industri ini berkontribusi terhadap pemasukan negara dari pajak yang berasal dari produksi dan distribusi film itu sendiri.

Hal ini didukung dengan pernyataan dari penelitian oleh Wada & Gohshi (2019) yang mengungkapkan bahwa bahaya film bajakan sangatlah beragam, secara signifikan berdampak pada industri film secara ekonomi, hukum, dan budaya. Setiap tahun, pembajakan mengakibatkan kerugian yang diperkirakan mencapai $1,3 miliar, terutama melalui salinan tidak sah yang dibuat dari pemutaran teater atau DVD. Di daerah-daerah seperti Indonesia, proliferasi situs streaming ilegal semakin memperburuk masalah ini, merusak hak-hak pembuat konten dan mempersulit penegakan hukum karena praktik penipuan situs web ini (Wiratama et al., 2022). Selain itu, demografi pemuda, khususnya mahasiswa, sering mendorong permintaan akan konten bajakan, mengancam keberlanjutan industri film karena produser menginvestasikan sumber daya yang besar ke dalam proyek mereka (Ravi et al., 2019). Solusi inovatif, seperti sidik jari kriptografi, telah diusulkan untuk melacak asal-usul konten bajakan, yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan menghilangkan sumber pembajakan secara efektif ("Identifying The Source of Movie Piracy: Cryptographic Fingerprinting For Tracking Movie Content", 2023)]. Secara keseluruhan, persistensi pembajakan film menimbulkan ancaman kritis bagi kelangsungan ekonomi dan integritas hak-hak kreatif dalam industri ini (Lauvin, 2022).

Dewasa kini, para rumah produksi pun semakin gencar untuk memerangi praktik pembajakan yang kian merajalela dan merugikan tidak hanya sineas, tetapi juga keberlangsungan dari industri kreatif itu sendiri. Salah satunya, yakni Walt Disney Studios yang telah mengadopsi langkah-langkah teknologi untuk melindungi kontennya. Ini termasuk penggunaan teknologi manajemen hak digital (DRM) yang membatasi penyalinan dan distribusi film yang tidak sah. Intervensi teknologi semacam itu sangat penting dalam lanskap di mana konten digital dapat dengan mudah direplikasi dan dibagikan. (Ningsih & Maharani, 2019; Raharja, 2020).  Di lain sisi, tak kalah Warner Bros dengan penciptaan ekonomi hibridanya yang memperumit lanskap distribusi konten yang sah, guna mempertahankan pangsa pasar dan profitabilitas. Penelitian menunjukkan bahwa memproduksi film dengan biaya produksi yang lebih rendah sambil mempertahankan kualitas naratif yang tinggi dapat membantu mengurangi risiko finansial yang terkait dengan pembajakan (Niu & Yang, 2022).

Tidak berhenti sampai disitu, Sony Pictures, Pixar Animation Studios, Marvel Studios, serta bahkan Dreamworks juga mulai berfokus pada rekaman camcorder dan distribusi online. Teknik seperti watermarking forensik diusulkan untuk menanamkan tanda air tangguh yang bertahan dari kompresi dan distorsi, sehingga membantu dalam identifikasi konten bajakan (Narayanaswamy et al., 2024). Hal serupa juga diimplementasikan oleh Studio Ghibli dan Dreamworks Animation yang notabene menghadapi masalah berkaitan dengan fansubbing, di mana penggemar menerjemahkan dan mendistribusikan konten tanpa izin (Michael et al., 2019).

Paramount dan Columbia Pictures pun juga tidak luput dari fenomena krimalisasi karya mereka ini, yang secara cerdik justru mengombinasikan solusi teknologi canggih dengan metodologi strategis khusus, yaitu melalui pendekatan yang melibatkan penerapan sistem anti-pembajakan otomatis yang memanfaatkan teknologi inframerah (IR) untuk mengganggu rekaman yang tidak sah di bioskop, secara efektif menurunkan kualitas konten bajakan yang ditangkap oleh camcorder (Kumar et al., 2019) (Khan et al., 2021). Hasilnya secara efektif menunjukkan sistem yang diusulkan sukses mengurangi pembajakan film sekaligus meningkatkan kehadiran penonton, dan tentunya mengurangi kerugian ekonomi.

Nah, lantas bagaimana dong dengan rakyat kita yang untuk makan saja masih susah? Apakah hukum benar-benar adil jika mengkriminalisasi orang-orang yang hanya sekadar ingin mencari hiburan? Memang, isu yang cukup kompleks terkait ketimpangan ekonomi dengan dilema kebiasaan masyarakat yang minim akan patuh hukum ini tidak akan menemui titik terang apabila tidak diimbangi oleh partisipasi dari seluruh pihak, baik itu oleh pemerintah, industri film, masyarakat, hingga bahkan penyedia layanan internet sekalipun. Sebab, respon yang dibutuhkan justru ialah win-win solution yang dapat menggandeng hak akses informasi maupun hak kekayaan inktelektual dari pencipta karya. Dari mulai regulasi terkait pelanggaran hukum, sosialisasi dan edukasi, sampai memblokir situs-situs ilegal yang nyatanya sampai hari ini masih saja bersliweran di timeline berbagai platform media sosial? Ujung-ujungnya perangkat hukum untuk pembajakan film masih kurang lebih sama. Pembuat film harus mengajukan aduan kepada pihak berwajib atas karya-karyanya yang dibobol. Belum lagi dengan serangkaian proses berkelit yang tidak singkat; mendatangkan saksi ahli hingga segudang dokumen ruwet yang harus dilengkapi. Hanya satu yang pasti, tidak semua korban pembajakan memiliki waktu, energi, dan terutama sumber daya untuk itu.

Masih ingat dengan kasus pembajakan film Mencuri Raden Saleh yang Visinema Pictures laporkan pada 2022 lalu? Ya, itu hanya satu dari sejuta film karya anak bangsa yang kasusnya sempat menghebohkan kancah dunia maya beberapa tahun silam. Kendati demikian, bagaimana dengan film-film kita lainnya yang bahkan tidak pernah terdengar sebelumnya oleh kita nyatanya juga terjerat dalam kasus kriminal serupa? Ironi? Jelas. Apalagi dengan gamblang sindiran berupa 'karya lokal yang tak sebanding dengan karya asing' justru keluar dari mulut generasi penerus bangsa kita sendiri.

Toh, tidak semua apa-apa harus menunggu turun tangan dari pemerintah. Karena di lain sisi, ada beragam cara unik yang dapat kita lakukan selain mendukung dunia perfilman tanah air dengan cara yang legal, antara lain seperti membangun bioskop komunitas, perpustakaan film, hingga festival film keliling. Kerjasama dengan industri langsung juga akan sangat membantu, yakni dengan program CSR (Corporate Social Resposibility) untuk menyumbangkan film pada komunitas tertentu yang membutuhkan, donasi tiket, workshop pembuatan film, platform streaming berbasis barter, mengintegrasikan materi hak cipta industri perfilman ke kurikulum sekolah, serta bahkan berkolaborasi langsung dengan seniman lokal juga bisa, lho!

Kesimpulannya, nonton film bajakan itu sih enaknya hanya tinggal klik aja. Seperti halnya mencuri buah dari kebun orang lain, kita mungkin merasa untung sekejap. Namun tindakan kita telah merugikan orang lain. Bayangkan, jika semua orang mengunduh film secara ilegal, apa yang akan terjadi pada film-film yang berkualitas, terutama karya anak Bangsa kita sendiri? Akankah para sineas kita terus berkreasi jika hasil karya mereka tidak dihargai? Tentu saja tidak. Ingat, setiap klik unduhan ilegal adalah pukulan bagi para sineas yang telah bekerja keras. Mari kita jadi bagian dari solusi, bukan masalah. Yuk, dukung perfilman Indonesia dengan cara yang cerdas, agar satu langkah kecil dari kita dapat turut andil menjadi bagian untuk kemajuan industri kreatif perfilman tanah air ini!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun