Beberapa tahun terakhir, terdapat perubahan kebijakan dalam Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Indonesia. Kebijakan ini berlaku untuk anak-anak yang akan melanjutkan pendidikannya di Sekolah Negeri.
Salah satu kebijakan yang menuai pro dan kontra adalah kebijakan zonasi, yaitu penerimaan peserta didik berdasarkan letak / kedekatan tempat tinggal siswa dengan sekolah yang dituju.
Sistem zonasi pertama kali diterapkan tahun 2017. pada masa pemerintahan Jokowi dibawah kendali Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Muhadjir Effendy. Alasannya saat itu adalah Permendikbud 17/2017 tentang PPDB SD/SMP/SMA sederajat. Kebijakan tersebut, mengubah secara mendasar kategori/persyaratan penerimaan calon peserta didik di sekolah negeri. Dari nilai UN ke jarak rumah dan sekolah sebagai salah satu upaya untuk percepatan pemerataan pendidikan yang berkualitas.
Mendikbud menuturkan, kebijakan zonasi diambil sebagai respons atas terjadinya "kasta" dalam sistem pendidikan yang selama ini ada karena dilakukannya seleksi kualitas calon peserta didik dalam penerimaan peserta didik baru. "Tidak boleh ada favoritisme. Pola pikir kastanisasi dan favoritisme dalam pendidikan semacam itu harus kita ubah. Seleksi dalam zonasi dibolehkan hanya untuk penempatan (placement)," katanya.
Namun, Perlukah Sistem Zonasi pada PPDB yang didukung dengan Kesenjangan Sistem Pendidikan dan Infrastruktur di Tingkat Daerah?
Menurut saya, kebijakan ini memiliki beberapa kelebihan. Diantaranya:
- Meratakan kualitas Pendidikan
Dengan kebijakan zonasi ini, stigma sekolah favorit maupun sekolah pinggiran diharapkan sudah tidak berlaku lagi. karena baik anak-anak yang pintar secara akademik maupun yang masih butuh untuk terus dilatih bisa menuntut ilmu di sekolah yang sama asalkan mereka tinggal di kawasan yang sama.
- Mengurangi kemacetan.
Seperti yang kita ketahui, banyaknya volume kendaraan di jalan raya khususnya di kota-kota besar tidak dapat dihindari. Hal ini pastinya memiliki banyak dampak seperti kemacetan serta polusi udara akibat asap kendaraan yang beroperasi setiap hari. Peserta didik yang diterima untuk menuntut ilmu di suatu sekolah sudah seharusnya merupakan anak-anak yang bertempat tinggal tidak jauh dari sekolah tersebut. Selain itu, anak juga bisa berangkat ke sekolah dengan menggunakan sepeda atau berjalan kaki.
- Siswa dapat belajar dengan optimal
Dengan menuntut ilmu di sekolah yang dekat dengan tempat tinggal, para siswa tidak harus menghabiskan waktu yang cukup lama dan melelahkan untuk sampai ke sekolah dan  pulang kembali ke rumah. Jarak tempuh yang lebih efisien ini juga membuat para siswa lebih optimal dalam kegiatan pembelajaran. Tidak hanya itu, mereka juga akan memiliki cukup waktu untuk beristirahat, belajar dan mengerjakan tugas sekolah dengan lebih baik.
Beberapa kelebihan itu tentunya menjadikan zonasi sebagai sistem yang diharapkan dapat memperbaiki sistem pendidikan serta murni berpihak pada kepentingan peserta didik.
Di sisi lain, kebijakan ini sudah seharusnya dipikirkan lebih matang sebelum diresmikan. Karena nyatanya, kondisi di lapangan belum sepenuhnya mampu untuk beradaptasi dengan sistem ini. Masih banyak daerah, khususnya di luar pulau Jawa yang infrastrukturnya masih membutuhkan perbaikan.
Sebagai anak bangsa yang sudah menempuh pendidikan wajib selama 12 tahun, besar harapan saya agar  kedepannya kebijakan ini dapat membawa lebih banyak dampak positif bagi siswa Indonesia. Selain memilki tujuan awal yang jelas dan baik, sistem zonasi ini memang sudah seharusnya diterapkan demi menghapus stigma "sekolah bagus" di masyarakat.
Semua siswa di Indonesia berhak mendapatkan Pendidikan yang berkualitas tanpa terkecuali demi mewujudkan Indonesia Emas 2045.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H