Mohon tunggu...
Diva Puspita Aprilia
Diva Puspita Aprilia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi

Saya merupakan mahasiswa semester 3 fakultas hukum universitas jambi. hobi saya menonton pertandingan bola Timnas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengakuan Klaim Tumpang Tindih dalam Joint Statement Indonesia-China : Sebuah Langkah Mundur?

17 November 2024   13:15 Diperbarui: 17 November 2024   14:10 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan terbaru dalam hubungan Indonesia-China melalui joint statement yang ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping telah membuka diskusi serius di kalangan akademisi hukum. Sebagai mahasiswa semester 3 Fakultas Hukum yang sedang mendalami Hukum Laut Internasional, saya melihat adanya pergeseran kebijakan yang perlu dikaji secara kritis.

Pengakuan adanya "klaim tumpang tindih" dalam joint statement tersebut menarik perhatian saya. Hal ini mengingat pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Indonesia secara tegas menolak eksistensi tumpang tindih wilayah dengan China, terutama terkait nine-dash line di Laut China Selatan yang bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna.

Berdasarkan pembelajaran Hukum Laut Internasional, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 telah memberikan kerangka hukum yang jelas. Indonesia memiliki hak berdaulat atas ZEE sejauh 200 mil laut dari garis pangkal. Dalam konteks ini, pengakuan adanya "klaim tumpang tindih" berpotensi melemahkan posisi Indonesia yang selama ini dibangun di atas fondasi UNCLOS 1982.

Melalui diskusi intensif di kelas bersama dosen, kami mengidentifikasi beberapa potensi kerugian dari perubahan kebijakan ini. Pertama, pengakuan tumpang tindih dapat membuka celah hukum yang melemahkan kedaulatan Indonesia atas wilayah maritimnya. Kedua, hal ini bisa berdampak pada akses dan aktivitas nelayan Indonesia di perairan sendiri. Ketiga, dapat menciptakan preseden yang kurang menguntungkan dalam penanganan sengketa wilayah di masa depan.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia seharusnya mempertahankan konsistensi dalam melindungi kedaulatan maritimnya. 

Meski hubungan bilateral dengan China penting bagi Indonesia, kompromi dalam hal kedaulatan wilayah bukanlah pilihan bijak. Sebagai generasi muda yang peduli dengan masa depan maritim Indonesia, saya berharap pemerintah dapat meninjau kembali posisinya dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip UNCLOS 1982 yang telah memberi landasan kuat bagi kedaulatan maritim Indonesia.

Perairan Natuna adalah bagian tak terpisahkan dari ZEE Indonesia yang diakui secara internasional. Mengakui adanya "klaim tumpang tindih" sama dengan membuka ruang negosiasi atas sesuatu yang seharusnya tidak perlu dinegosiasikan. Mari kita jaga kedaulatan maritim Indonesia demi generasi mendatang.

Diva Puspita Aprilia

Mahasiswa Semester 3 Fakultas Hukum

Uiversitas Jambi

[divapuspitaaprilia@gmail.com]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun