Ketika aku masih di bangku SMP, aku bertanya pada guruku, "Bu, kenapa korupsi di Indonesia banyak, ya?"
Guruku lalu menjawab, "Karena korupsi itu budaya yang diturunkan kolonial pada kita dulu."
Lalu, sejak saat itu, selama bertahun-tahun, aku menerima jawaban ini begitu saja. Aku menjadi seseorang yang menerima fakta bahwa korupsi itu adalah kebusukkan yang sudah berakar dalam dan menjadi satu dengan budaya bangsa kita. Aku melihat korupsi dengan hina, namun pada saat yang sama aku juga berpikir, "Sudahlah, mau bagaimana lagi."
Tapi akhir-akhir ini aku berpikir---
"Apakah sifat seseorang adalah sebuah warisan?"
Mungkin jawaban dari pertanyaan ini adalah "Iya.". Akan tetapi, sifat seseorang juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Sekalipun seseorang memang membawa sifat keturunan dari orang tuanya, tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan dan cara mendidik seseorang tersebut berpengaruh paling besar. Seorang anak pencuri tidak akan pernah menjadi pencuri apabila dibesarkan secara baik dan benar.
Jadi, aku sampai pada sebuah kesimpulan bahwa korupsi yang ada sekarang harusnya tidak berhubungan dengan korupsi di zaman kolonial.
Selama ini kita beralasan bahwa era di masa lampaulah yang membawa kita pada era di mana korupsi merajalela seperti ini. Tapi bukankah itu seperti sebuah alasan? Kita sebagai makhluk berakal budi dan bermoral yang disebut manusia jelas sadar bahwa korupsi ialah sebuah tindakan yang setara dengan mencuri. Kita tahu bahwa mencuri itu buruk, namun pada akhirnya kita membiarkannya terjadi.
Kita mencoba mencari kambing hitam. Dan kali ini kita menyalahkan sejarah kita. Padahal, semuanya tergantung pada kita. Apabila kita menolak dengan keras budaya korupsi, maka korupsi tidak akan pernah menginjakan kaki di atas bangsa kita.
Membaca ini, aku yakin ada beberapa dari kalian yang berpikiran, "Tapi, 'kan, sudah mendarah daging. Apa masih bisa ditolak?"
Aku yakin bisa, tapi pertanyaannya adalah, "Apa kamu mau?"