Munculnya situasi konflik seringkali terjadi pada level internasional ataupun non internasional. Adapun penyebab terjadinya konflik ini dapat ditinjau melalui perbedaan latar belakang sosial budaya, nilai, ataupun kepentingan. Ketika beragam perbedaan tersebut muncul dalam lingkup hubungan internasional, maka mendorong suatu pihak untuk menciptakan strategi demi mencapai kepentingan yang diinginkan.
Konflik Rohingya yang terjadi di Myanmar merupakan konflik etnis antara etnis Rohingya sebagai minoritas masyarakat beragama Islam dan etnis Rakhine sebagai mayoritas masyarakat beragama Buddha. Salah satu faktor yang menyebabkan terciptanya suatu konflik ini adalah etnis Rohingya dianggap sebagai ancaman oleh etnis Rakhine. Hal ini disebabkan karena, kedudukan etnis Rohingya mengalami peningkatan sosial baik dari segi pekerjaan ataupun pendidikan sehingga dapat mengganggu stabilitas perekonomian etnis Rakhine.Â
Oleh karena itu, semasa rezim Ne Win, etnis Rohingya mengalami diskriminasi akibat adanya kebijakan Burmanisasi (Burma Citizenship Law) dimana etnis Rohingya tidak mendapatkan pengakuan kewarganegaraan, hak atas kepemilikan tanah, hak akses untuk memperoleh pendidikan ataupun pekerjaan yang layak.
Disamping itu, konflik yang terjadi antara etnis Rakhine dan Rohingya semakin serius sehingga menyebabkan terciptanya pelanggaran hak asasi manusia baik dari pembakaran rumah hingga pembunuhan. Pasalnya, kejahatan kemanusiaan ini dilakukan untuk mengamankan posisi etnis Rakhine sebagai etnis mayoritas di Myanmar yang bercita-cita untuk memusnahkan etnis Rohingya di Myanmar.
Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah Myanmar pada dasarnya telah mendapatkan kecaman dari komunitas internasional layaknya PBB, OKI, dan ASEAN agar menghentikan pelanggaran HAM yang menimpa etnis Rohingya. Namun, terdapat hambatan untuk menghentikan konflik tersebut yaitu dengan adanya prinsip non intervensi yang menyatakan bahwa pihak negara lain tidak berhak untuk turut ikut mencampuri urusan dalam negeri pada suatu negara.
Organisasi Kerjasama Islam atau seringkali disingkat dengan singkatan OKI merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari negara-negara Islam. Organisasi ini, berfokus pada 18 bidang prioritas dengan 107 tujuan yang dituangkan dalam program OKI 2021. Beberapa bidang prioritas tersebut mencakup isu perdamaian dan keamanan, pengentasan kemiskinan, terorisme, ketahanan pangan, dan sebagainya. Pasalnya, pembentukan OKI antara lain bertujuan untuk meningkatkan solidaritas Islam diantara negara anggota, mendukung perdamaian dan kemanan internasional, melindungi tempat-tempat suci Islam, dan masih banyak lagi.
Berbicara tentang konteks diplomasi, OKI berperan sebagai inisiator, fasilitator dan mediator dalam konflik yang menimpa etnis Rohingya. Ketika OKI mendapatkan berita terkait konflik Rohingya, OKI bertindak sebagai insiator dengan mengajak negara-negara anggota untuk melakukan soft diplomacy dengan pemerintahan Myanmar dalam upaya menghentikan konflik yang terjadi.
Selanjutnya, peranan OKI sebagai fasilitator dapat dilihat melalui upaya OKI dalam menyelenggarakan pertemuan-pertemuan rutin yang bertujuan sebagai upaya pengumpulan dana demi membantu korban konflik Rohingya di Myanmar. Pasalnya, pengumpulan dana itu nantinya akan dialokasikan untuk pembangunan fasilitas medis, bantuan pendidikan, serta bantuan kesehatan.
Peranan OKI dalam menengahi konflik antara etnis Rakhine-Rohingya, pada sejatinya belum sepenuhnya tercapai secara maksimal. Karena terdapat beberapa hambatan dalam penyelesaian konflik ini, salah satunya prinsip non intervensi. Namun, kontribusi OKI dalam mengatasi konflik ini patut dihargai karena upayanya dalam bertindak cukup baik sebagai inisiator, fasilitator dan mediator.
Referensi