Â
     Ekonomi dan kesehatan mental saling terkait erat. Ketidakstabilan ekonomi, ketidaksetaraan pendapatan, dan pengangguran dapat memiliki dampak besar terhadap kesejahteraan mental individu. Menurut laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), gangguan mental seperti depresi dan kecemasan kini menjadi penyebab utama disabilitas di seluruh dunia. Belakangan ini, kesehatan mental semakin menjadi perhatian utama di masyarakat. Hingga kini, masalah ini masih belum menemukan solusi yang jelas untuk mengatasinya. Berbagai tantangan terkait krisis identitas, yang berhubungan dengan masalah moral dan spiritual, terus mengganggu individu. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana kondisi ekonomi dapat mempengaruhi kesehatan mental masyarakat, dengan fokus pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, serta solusi yang dapat diimplementasikan untuk mengurangi dampak negatifnya.
    Krisis ekonomi sering dihubungkan dengan gangguan kesehatan mental. Ketika kondisi ekonomi negara atau individu memburuk, dampaknya tidak hanya dirasakan dalam bentuk kerugian finansial, tetapi juga mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Tingginya angka pengangguran, kebangkrutan, dan ketidakpastian finansial dapat memicu stres, kecemasan, dan depresi. Di masa-masa sulit, banyak orang merasa tertekan karena ketidakpastian masa depan, yang akhirnya mempengaruhi kesehatan mental mereka. Penurunan pendapatan atau kehilangan pekerjaan menjadi pemicu utama gangguan mental, khususnya di masyarakat yang sudah terpapar ketidaksetaraan sosial. Individu dengan pekerjaan yang tidak stabil atau status sosial ekonomi rendah lebih rentan terhadap masalah kesehatan mental. Hal ini menunjukkan bahwa mereka yang memiliki pendapatan rendah atau pekerjaan yang tidak menentu lebih cenderung mengalami depresi, kecemasan, dan stres. faktor status sosial ekonomi berkorelasi negatif dan memiliki pengaruh secara signifikan terhadap gangguan mental gejala depresi di Indonesia. Hal ini berarti status sosial ekonomi yang dimiliki dalam hal ini mencangkup pendidikan, kekayaan, dan status pekerjaan, memiliki pengaruh terhadap seseorang tersebut mengalami gejala depresi.
    Sebaliknya, kondisi ekonomi yang lebih baik dapat memberikan efek positif terhadap kesehatan mental seseorang. Ketika masyarakat memiliki akses yang lebih baik ke pekerjaan yang stabil, pendidikan, dan layanan kesehatan, tingkat kecemasan dan depresi cenderung menurun. Individu dengan pendapatan lebih tinggi dan pekerjaan yang stabil biasanya merasa lebih aman dan lebih mampu menghadapi stres serta tantangan hidup. Selain itu, negara dengan sistem kesejahteraan sosial yang kuat, seperti jaminan kesehatan, tunjangan pengangguran, dan dukungan sosial, dapat membantu mengurangi dampak buruk krisis ekonomi terhadap kesehatan mental. Program-program tersebut memberikan rasa aman dan stabilitas yang sangat dibutuhkan oleh individu yang terpapar ketidakpastian ekonomi, sehingga dapat menjaga kesehatan mental mereka.
     Menurut WHO, satu dari lima orang di dunia mengalami gangguan mental, dan salah satu penyebabnya adalah rendahnya status sosial ekonomi di negara berkembang. Hal ini menunjukkan bahwa status sosial ekonomi, yang mencakup pendidikan, kekayaan, dan status pekerjaan, memiliki pengaruh yang signifikan dan berhubungan negatif dengan gejala depresi di Indonesia. Hubungan antara kemiskinan dan kesehatan mental sangat jelas, dengan individu berpendapatan rendah cenderung mengalami kecemasan yang lebih tinggi dan kualitas hidup yang lebih rendah akibat stigma sosial terkait masalah kesehatan mental. Selain itu, akses terbatas ke layanan kesehatan mental berhubungan dengan peningkatan tingkat depresi. Hal ini menekankan pentingnya mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi dalam kesehatan mental dan mengadvokasi pengurangan stigma sosial serta peningkatan ketersediaan perawatan kesehatan mental. Dalam konteks ini, kesenjangan pengeluaran untuk kesehatan mental di banyak negara menjadi masalah yang perlu diatasi, mengingat sebagian besar anggaran kesehatan global terkonsentrasi di negara-negara berpenghasilan tinggi, sementara negara-negara dengan penghasilan rendah seringkali tidak memiliki anggaran kesehatan mental yang memadai.
     Ketidakamanan ekonomi juga merupakan faktor sosial-ekonomi yang berpengaruh pada kesehatan mental, meskipun dampaknya bervariasi tergantung pada jenis ketidakamanan yang dialami. Ketidakpastian mengenai masa depan, misalnya, sering kali lebih merusak kesehatan mental dibandingkan dengan volatilitas ekonomi yang sudah diketahui. Ketidakamanan ini juga memiliki dampak yang lebih besar pada pria, dan efek negatifnya dapat dirasakan di seluruh lapisan distribusi pendapatan. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pembangunan global yang berkelanjutan, penting untuk memahami lebih dalam hubungan kausal antara faktor sosial-ekonomi seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, kurangnya pendidikan, dan pengangguran, serta mengidentifikasi aspek kemiskinan yang menjadi pendorong utama gangguan mental.
     WHO (2017) menggambarkan kesehatan mental sebagai kemampuan untuk beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan eksternal dan internal, yang tercermin dalam keselarasan antara perilaku, pemikiran, dan perasaan dengan norma serta budaya yang ada. Sebaliknya, gangguan kesehatan mental adalah kondisi yang muncul akibat tekanan dari faktor eksternal dan internal. Depresi, salah satu gangguan mental utama, menjadi penyumbang terbesar terhadap disabilitas global, dengan gejala seperti penurunan mood, kehilangan minat, perasaan bersalah, gangguan tidur atau nafsu makan, serta penurunan energi dan konsentrasi. Berdasarkan data dari World Federation for Mental Health (WFMH), satu dari lima orang di dunia mengalami gangguan kesehatan mental. Di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental mencapai 6,1%, namun hanya satu dari sebelas penderita yang mendapatkan perawatan.
     Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta di antaranya mengalami depresi (Rokom, 2021). Data ini menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan masalah kesehatan mental secara efektif. Pandemi Covid-19 malah memperburuk kondisi ini, meningkatkan jumlah penderita gangguan jiwa, yang jika tidak ditangani dengan baik, dapat menimbulkan dampak negatif. Pandemi juga menyebabkan penurunan ekonomi, dengan banyak usaha yang tutup dan pengurangan karyawan, yang tidak hanya berdampak pada perekonomian, tetapi juga memengaruhi kesehatan mental masyarakat dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan selama pandemi.
     Ekonomi memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan mental individu dan masyarakat. Krisis ekonomi, ketidaksetaraan sosial, dan ketidakpastian pekerjaan dapat memperbesar risiko gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan stres. Namun, dengan kebijakan yang tepat, seperti program dukungan ekonomi, pelatihan keterampilan, dan peningkatan akses ke layanan kesehatan mental, dampak negatif ini dapat diminimalkan. Oleh karena itu, kesehatan mental harus dianggap sebagai elemen penting dalam kebijakan pembangunan ekonomi untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera baik secara fisik maupun mental. Peran orang tua, masyarakat sekitar, dan lembaga kesehatan sangat penting dalam mendukung dan mendampingi individu yang mengalami gangguan kesehatan mental. Sosialisasi mengenai kesehatan mental perlu dilakukan di berbagai tempat, seperti desa, sekolah, dan fasilitas layanan publik. Pendampingan yang optimal bagi masyarakat yang membutuhkan sangat diperlukan untuk mengurangi jumlah penderita gangguan kesehatan mental. Melalui peran-peran tersebut, diharapkan masyarakat, baik dewasa maupun remaja, dapat memahami pentingnya menjaga kesehatan mental.
      Untuk menjaga kesehatan mental, dapat dilakukan dengan melakukan aktivitas fisik seperti olahraga, yang dapat meningkatkan produksi endorfin, mengurangi stres, dan meredakan kecemasan. Mengelola stres juga krusial, dengan teknik relaksasi seperti meditasi, pernapasan dalam, atau mindfulness yang membantu menenangkan pikiran dan tubuh. Selain itu, menjaga hubungan sosial yang sehat dengan keluarga dan teman dapat memberikan dukungan emosional yang penting.  Mencari bantuan profesional juga sangat dianjurkan jika perasaan cemas atau depresi mengganggu kehidupan sehari-hari. Selain itu, menjaga pola hidup sehat seperti tidur yang cukup, makan bergizi, serta menghindari kebiasaan buruk seperti merokok dan alkohol, juga berkontribusi pada kesehatan mental. Pola hidup yang seimbang membantu tubuh dan pikiran untuk lebih siap menghadapi tantangan hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H