Mohon tunggu...
Raditya Mahendra Putra
Raditya Mahendra Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - coret-coret media untuk berisik

Trah manungsa kang #beranibeda!

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ngomongin Tanah

28 Mei 2024   09:08 Diperbarui: 28 Mei 2024   09:27 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Basis kehidupan atau inti dari kehidupan adalah tanah, yang erat kaitannya dengan ekologis. Maksudnya, kehidupan tidak hanya berhubungan dengan hukum-subjek, melainkan manusia-lingkungan alam (ekosistem) yang ada. Adanya interaksi yang berdampak pada rasa timbal balik satu sama lain.

Berbicara tanah, mungkin ketika mati sama statusnya dengan cacing, yaitu sama-sama nantinya diolah dengan tanah. Namun terdapat pembeda atas unsur legallitas yang ada, manusia meniliki klaim atas penggunaan hak atas tanah, sedangkan cacing tidak.

Secara natural tanah diatur oleh manusia dan secara legal dilindungi melalui unsur hukum, baik dalam kajian yuridis yaitu UUD 1945 ataupun UUPA, misalnya.

kemudian mana yang terpenting/primer, keterkaitan legal atau natural?

Pertanyaan tentang alasan keberadaan hukum mengingatkan kita pada jargon Latin yang menyatakan, “Ubi Societas Ibu ius” yaitu ketika ada masyarakat maka disitu terdapat asas legalitas yang muncul atau timbul hubungan hukum.

Kedua pilihan antara aspek legalitas dan naturalitas pada kebutuhan hidup manusia  atas tanah, nampaknya tidak dapat dipisahkan akan keterpentingan keduanya.

Hukum harus terjadi hubungan secara natural dengan tanah (manusia), maksudnya ada pewarisan yang muncul dari dulu kala yang tidak diatur dengan perjanjian perdata antara negara dan manusia didalamnya, sehingga disini negara tidak dapat semena-mena mengintrupsikan kedudukan antara manusia dengan tanah itu sendiri melalui hukum.

Sebagai pengingat, jika ada plang peringatan “Tanah milik negara, dilarang masuk” adalah bentuk perumusan yang keliru karena secara tegas sudah dijelaskan bahwa tidak boleh sekecilpun negara memiliki tanah. Negara berperan hanya sekedar mendistribusikan dan mengakui ketika tidak adanya hubungan natural, dimiliki oleh orang ataupun sedang digarap oleh orang, sebagaimana dalam Hukum Agraria menyebutkannya.

Kini, realitas sosial memperlihatkan jika yang terjadi di tengah masyarakat (das sein) terkadang tidak sesuai dengan yang diharapkan seharusnya terjadi (das sollen). Banyak penghirauan atas hukum negara yang tidak memperhatiakan aturan natural yang sudah berkembang sebelumnya.

Demikian dengan hukum yang disebutkan sebagai norma, yaitu adanya keterhatusan untuk diikuti dan dilaksanakan. Ironisnya, itu semua tidak bisa dijalankan sesuai dengan apa yang menjadi harapan, baik disebabkan norma yang diterapkan sudah tidak relevan dengan harapan hidup ataupun ajaran pewarisan yang menjadi basis kehidupan masyarakat bertolak belakang, hingga dapat juga disebabkan atas perilaku masyarakat yang membuat hukum tersebut tidak ditaati.

Ketidakrelevanan ini terjadi akibat hukum yang kenyataannya kerap dibentuk secara  top-down, yakni berasal dari kehendak penguasa (kaum elit), sedangkan masyarakat dalam hal ini sebagai obyek sasaran. Padahal, sebagaimana kita tahu bahwa agar hukum bisa diberlakukan secara relevan maka hukum tersebut harus responsif, yaitu dilakukan secara bottom-up yang berlandasakan pada kenyataan atau kebutuhan yang berlandasakan pemikiran hidup manusia dalam masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun