Tulisan ini bukan berarti saya terkait dengan partai politik atau bagian politik manapun. Tulisan ini hanya cermin gundah seorang anak bangsa melihat negaranya. Tulisan ini berawal dari kedatangan seorang anak kampung ini untuk menuntut sekolah di Jerman. 1 diantara sedikit manusia beruntung dari warga Indonesia lain. Hanya dengan 1 kalimat saja semua tulisan ini dimulai, “Mengapa di Jerman , professor sangat dihargai?”
Di negara kami, seorang artis sinetron akan lebih dihargai dibandingkan seorang akademisi. Hanya dengan 1 kata menurut saya. “influence”. Seorang artis sinetron jauh memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan akademisi, karena akademisi tidak mempunyai media yang menjangkau cukup luas lapisan masyarakat dibandingkan artis sinetron. Sehingga pengaruhnya tidak terlalu dirasa dan terlihat.
Saat ini seorang figur akademisi mencoba maju untuk mendapat media itu, namanya Anies Baswedan. Kariernya begitu cemerlang, bisa anda mencari sendiri di google. Seseorang yang bisa dibanggakan, seseorang yang membuat program dimana pendidikan harus menyebar dan sampai ke daerah-daerah terpencil. Semoga dari situ terjadi penalaran pola piker sehingga politik pencitraan semakin berkurang, dan rakyat akan memilih di tahun 2014 ini dengan nalar dan pengetahuannya.
Selama ini terlalu banyak yang menggerutu memang bisa seorang akademisi menjadi pemimpin? Selama itu pula kita akan tertahan dan tidak memberi kesempatan mereka untuk mencoba, setelah dahulu para pahlawan penggerak kemerdekaan juga banyak dari kalangan akademisi. Menurut saya ada 3 faktor yang membedakan seseorang sebelum ia maju untuk pentas politik.
1. Berkompeten
2. Populer
3. Banyak uang
Saya tidak menyinggung jika ada faktor irisan diantara faktor-faktor itu, tapi sederhananya seperti ini, orang yang popular tidak perlu banyak uang lagi agar namanya diingat masyarakat (contoh para artis tumpul di Senayan), Seorang kaya rasa akan membeli dan membuat apapun agar namanya diingat dan diterima masyarakat. Seorang yang berkompeten dan tidak popular? Semoga kita yang bisa menjadi alasan ia maju.
Seorang akademisi akan lebih banyak mengambil keputusan berdasarkan riset karena itu memang menjadi dunianya. Sehingga alasannya menjadi lebih logis ketika keputusan yang diambil cenderung bersifat long run dan akan akan merugikan dalam short run. Yang penting dia diberi media untuk menjelaskan mengapa keputusan tersebut diambil. Sebagai contoh Jokowi Ahok, banyak keputusan long run yang mereka perintahkan ditentang oleh DPRD, kenapa mereka tetap yakin pada keputusannya? Jawaban bodoh saya adalah karena rakyat DKI secara riset kasarnya lebih pintar dan Jokowi Ahok yakin bahwa rakyat ada di belakang mereka.
Lalu mengapa Pak Anies memilih maju dari partai demokrat? Ya jujur memang partai tersebut saja yang memberi kesempatan untuk maju, karena Pak Anies berkata, ia tak akan menunggu sampai semuanya benar-benar bersih baru ia akan maju. Saya tak ambil pusing dengan partainya, saya hanya memilih figur dan karakternya. Karena jujur untuk melawan orang-orang yang akan menentang kepintaran pemilih, yang sekarang duduk di senayan itu pasti akan melakukan segala cara, karena jika pemilih semakin pintar, mereka sadar, bukan mereka yang duduk di situ. Sistem pemerintahan presidensial yang lebih berwarna parlementer ini menurut saya juga diilhami pemimpin negara yang bukan memilih berada di atas semua golongan tapi memilih menjadi ketua “golongannya sendiri.”
Sebagai kesimpulan satu quote yang sangat mengena buat saya dari sosok Anies Baswedan adalah “Menurut saya, justru harus lebih banyak orang bersih, beintegritas, kompeten yang berada di pemerintahan dan politik. Karena di sana keputusan yang menyangkut publik dibuat.”