Mohon tunggu...
Ditta Setiandari
Ditta Setiandari Mohon Tunggu... -

Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki - Nyai Ontosoroh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seribu Tanya Tentangmu

23 Februari 2015   01:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:42 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

11 Agustus 1990, kau petaruhkan nyawamu untukku bu. Seoarang anak perempuan yang kau jaga sejak benih hingga adanya nyawa yang bersemayam dalam diriku. Sembilan bulan kau bawa aku bersamamu, kau lindungi aku dari terik panas matahari serta dinginnya air hujan. Tak lelahkah kau ibu?

Setelah kelahiranku pun, tangis ku selalu membangunkanmu tiap malam, tangisku yang selalu merengek tanpa kau tau apa yang ku inginkan. Aku selalu meminta apa yang kau punya bu, tak repotkah kau bu? Kau selalu merawatku dengan kasih sayang bu, kau ganti popokku saat aku pipis maupun buang air besar. Tak jijikkah kau bu?

Aku beranjak besar bu, aku kini sudah masuk SD. Masih saja kau memanjakanku dengan menuruti apa yang aku mau bu. Tapi aku yang sudah SD ini mulai bisa membantahmu, tak kesalkah kau padaku bu? Setiap kali berangkat sekolah, jika aku telat, sembari ku memakai baju sendiri, kau masih saja sibuk menyuapiku. Padahal kau sudah bangun dini hari untuk membuatkanku sarapan. Tak lelahkah kau bu?

Aku sudah masuk SMP bu, saat itu hal yang sama masih kau lakukan. Kau masih menyuapiku dengan tanganmu yang lembut. Tak bosankah kau bu? Saat kelas 3 SMP aku sudah mulai mengenal cinta monyet, dan kau larang itu bu. Tapi aku tetap saja tak peduli omonganmu bu, tak sakit hati kah kau bu?

Aku mulai remaja bu, aku semakin sering membantahmu, seolah-olah aku yang selalu benar dan ibu selalu salah. Aku merasa aku sudah bisa sendiri bu, tapi kau selalu menuntunku dengan kesabaran. tak peduli keras kepalanya aku bu. Ingatkah bu, saat aku membuatmu menangis? Saat aku lebih memilih dia yang baru menyanyangiku dari pada ibu yang sedari awal menyayangiku.
Aku tak mendengar apa yang ibu katakan, kalau dia bukan laki-laki yang baik. Aku selalu percaya dia dari pada ibu, aku di butakan oleh cinta bu. Setelah kejadian itu, aku sadar bu feeling ibu benar. Dia bukan laki-laki yang baik bu, betapa kejamnya dia kepadaku bu, padahal sedikitpun kau tak pernah menyakitiku. Tapi dia memukulku bu, dia menamparku dan dia menyeretku tanpa peduli sakitnya aku. Apa ibu tau, aku sangat menyesal tak hiraukan apa katamu bu. Aku ingin ceritakan semua dengan ibu, tapi aku tak mau membuat ibu lebih sakit mendengarnya. Tak kecewakah kau padaku bu?
Aku beranjak dewasa bu, aku masuk universitas. Aku akan jadi seorang guru, jurusan yang ibu impikan. Apa ibu senang? Aku masih saja sering membantahmu bu, ku anggap aku yang paling tau, ibu tak tau apa-apa? Padahal ibu yang mengajarkanku bagaimana aku berjalan, mengenal huruf dan angka, membaca dan menulis. Tapi aku seolah tak pernah mengingat itu, tak sakit hatikah kau bu? Pertama kali aku tinggal jauh dari rumah, aku merasa aku bisa hidup sendiri. Tapi aku masih saja merepotkanmu bu. Saat aku terkulai lemas dengan selang infus di tangan tak kau tinggalkan aku sendirian, kau menjagaku pagi siang malam, kau tidur di sampingku. tak lelahkah kau dengan sikapku ini bu?

Saat aku harus melakukan operasi, kau menjagaku di Rumah Sakit itu bu, masihkah kau ingat bu? Saat aku hendak di bawa ke ruang operasi, kau menangis terisak tanpa henti, tak sayangkah air matamu yang jatuh itu bu? Entah berapa banyak air mata itu kau sia-siakan untukku bu. Aku tak tau terima kasih bu, tak menyesalkah kau bu?

Kini, aku semakin dewasa bu. Aku yang dulu selalu di rumah dan selalu kau jaga, sekarang aku berada di serambi mekah, aku sendirian tak kenal siapapun. Kini aku baru sadar betapa berharganya kebersamaan kita dulu bu, aku kangen suaramu bu. Aku kangen melihat langsung raut wajah ibu yang tersenyum kepadaku, sekarang aku hanya bisa mendengar suaramu bu, itupun tak langsung. Tapi itu cukup mengobatiku akan kerinduanku padamu bu. Rindukah ibu padaku?

Ingin aku berucap kata rindu saat aku menelponmu bu, tapi kau selalu mendahuluinya. Seakan aku tak pernah rindu padamu bu. Kau tau bu? “ibu kalih bapak kangen, nduk” adalah kalimat yang paling aku sukai saat ini. Aku rindu bu, aku ingin ibu selalu ada untukku sampai aku benar-benar sukses dan bisa membahagiakan ibu. Satu impianku bu, bisa menaikkan haji bapak dan ibu. Semoga Allah mendengar do’aku bu.Aamiin.

Maaf bu, aku selalu membuatmu menangis dan selalu menyusahkanmu. Terimakasih telah menjadi orang tua yang hebat untukku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun