Mohon tunggu...
Ditta Widya Utami
Ditta Widya Utami Mohon Tunggu... Guru - Pendidik dan Pembelajar

A mom, blogger, and teacher || Penulis buku Lelaki di Ladang Tebu (2020) ||

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Begini Toh, Rasanya Jadi Santri!

22 Oktober 2022   02:22 Diperbarui: 22 Oktober 2022   04:25 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tak pernah menjadi santri. Hal ini berlaku jika santrinya dimaknai secara umum, yaitu orang yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren (wikipedia). Meski begitu, saya sempat berkenalan dengan dunia santri hingga saya bisa mengatakan "Begini toh, rasanya jadi santri!"

***

Sejak kecil saya hanya ikut mengaji di musala dekat rumah. Memasuki usia sekolah dasar hingga kuliah, saya tak pernah merasakan tinggal di pesantren apalagi mendapat pendidikan the real pesantren, baik jenis formal maupun nonformalnya. Kecuali ... jika "short course" mendalami ilmu agama seperti pesantren kilat Ramadan dihitung. Hehe.

Rutinitas mengaji, menghafal, menggunakan bahasa Arab, dan hal-hal lain terkait pesantren (yang saya tahu dari buku atau film) membuat orang yang awam ini merasa belum mampu jika harus menjadi santri. 

Belum mampu atau tak mau, entahlah. Mungkin karena belum siap juga bila harus belajar sambil tinggal di asrama (belakangan saya akhirnya mengenal istilah santri kalong, yaitu santri yang tidak menetap di asrama).

***

Bisa dibilang saya itu cemburu. Cemburu kepada para santri yang mendalami agama dengan baik. Mendapat didikan langsung dari ustaz ustazah, bahkan Kyai maupun Ibu Nyai (sebutan untuk istri Kyai). 

Setahu saya, banyak Kyai yang pengalaman belajarnya tak hanya di satu tempat. Beberapa di antaranya bahkan ada yang menjadi murid dari ulama-ulama besar maupun terdahulu, baik ulama di dalam maupun luar negeri. Sanad keilmuan yang panjang bahkan hingga ke Rasulullah saw. 

Meski ilmu bisa dicari dengan membaca buku, belajar langsung pada gurunya tentu memiliki nilai lebih. 

M. Ishom el-Saha (Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Serang) pernah menulis pentingnya sanad dalam artikel berjudul "Sanad Keilmuan" di kolom opini kemenag.go.id. Beliau menyampaikan bahwa sanad (jaringan mata rantai) keilmuan sangat penting bagi seorang muslim. Mengapa? Karena di hari akhir nanti, bukan saja dimintai pertanggungjawaban, kita pun akan ditanyai dari mana kita mengamalkan sesuatu. (Artikel lengkapnya bisa Anda baca di sini).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun