Mohon tunggu...
HARDI SANJAYA
HARDI SANJAYA Mohon Tunggu... -

Melihat, merenung, menuturkannya lalu menuliskannya agar kita tetap ada dan dikenang meski raga usai dilahap tanah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Janji Dulu, Ya?

1 Juni 2014   14:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:51 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lagi, panas menyengat menaungi rumah-rumah di siang hari akibat cuaca panas mencapai batas 40 derajat Celcius yang tidak saja membakar kulit, tetapi juga mampu mengeringkan cairan otak, karena pendingin ruangan ataupun sekadar kipas angin pun tiada bisa mengeluarkan anginnya. Jika malam berkunjung, gelap gulita yang mengambil alih. Sudah tentu hal ini disebabkan oleh padamnya listrik. Komplitlah.

“Lagi-lagi mati. Dasar PLN bangsat.” Celotehan kasar itu datang dari dalam kamar. Abangku kesal dan mulai berkhotbah layaknya politikus warung kopi yang selalu memahami segala hal tentang pemerintahan dan sabotase politik.

Boring, kata anak-anak era sekarang. Memuakkan, menurutku. Berulang kali berjanji agar tidak lagi ada aksi gelap-gelapan, tampaknya PLN sengaja melupakan janjinya tersebut atau barangkali sudah amnesia. Beberapa bulan lalu petinggi-petingginya masuk bui akibat merugikan negara. Kini, sepertinya akan ada yang selanjutnya ikut-ikutan menyusul. Latah berkorupsi dan penyalahgunaan otoritas.

Menurut jubirnya, Medan tidak akan gelap lagi. Itu janji sebelum kampanye pileg lalu. Di berbagai media massa banyak caleg yang terus mencerca dan mencecar PLN saat kampanye lalu agar tampak berwibawa, dan cinta, serta perhatian dengan rakyat.

Sayangnya, cercaan dan cecaran tersebut pun pada gilirannya juga akan rakyat alamatkan pada mereka. Sayangnya lagi, kuping tebal dan wajah tanpa malu mereka benar-benar sudah pernah dimasukkan ke bengkel las ketok mejik, agar jika jadi anggota dewan dan tak menepati janji, sudah siap sedia pura-pura tidak tahu dengan rakyat.

Sayangnya sekali lagi, masih banyak rakyat yang terus-terusan bertindak tolol yang mau memilih mereka, tentu saja dengan uang. Uang rupanya mengubah kekesalan menjadi kecintaan. Benar-benarlah banyak orang Indonesia masih menyuburkan sifat hipokritik. Baik di depan, buruk di belakang. Marah dulu, reda kemudian jika disiram uang.

******

“Jadi, partai Conggor Putih itu juga yang menang, ya?” Tanya Joko, teman kerjaku di kantor saat aku dan Bowo lagi berselancar dengan laptop via gelombang internet di kantin.

“Ya, gitulah.” Sahut Bowo dengan nada agak kesal. Ia kesal terhadap Joko karena partai yang digadang-gadang Joko menjadi pemenang pemilu. Sementara partai yang diusung oleh Bowo, Garuda Raya, kalah.

Sepekan sebelum pileg mereka bertaruh partai siapa yang akan memperoleh suara terbanyak. Taruhan bagi yang benar adalah pihak yang kalah harus mengajak pihak yang menang jalan-jalan ke Monas. Mumpung belum ada yang akan digantung. Full dibiayai ongkos pergi-pulang plus biaya penginapan.

Siang ini, Joko menagih janji Bowo. Aku sebagai pihak yang tak memihak keduanya, menjadi penengah yang sok bijak. Rasanya aku mau membentuk poros tengah agar bisa merelai mereka. Bodohnya, aku berlagak sok hebat. Padahal aku sebenarnya golput. Bukannya aku tak peduli, tapi aku takut dikhianati.

“Nah, lihat partai kesayanganku, juara kan?” Joko mulai memanaskan telinga Bowo.

Bowo mulai angkat suara. “Hei, gembrot, jangan sok kali kau. Menang pun di pileg, tapi belum tentu juga menang di pilpres.”

Joko yang gembrot pun dengan senyum sinis memainkan cuap-cuap politiknya.

“Woi, kau lihat sendiri dukungan dari rakyat, banyak kan? Punya kau, mana? Menang dukungan parpol saja.”

“Enak saja. Memang nggak nampak manuvernya. Kau lihat nanti, pelan tapi pasti. Nggak perlu sibuk jualan kesana kemarilah.” Bowo yang cungkring mengangkat gelas kosongnya dan menatap mata kami berdua dengan yakin.

Aku yang terjebak tak mau ketinggalan aksi.

“Duh, kalian ngapaain bela yang ini yang itu. Nanti kalau sudah naik, lupa sama janjinya itu. Macam gak tahu saja tabiat politikus.”

“Memang benar, cuma janji-janji saja mereka. Tapi ini asyik, Bro, penuh adrenalin.” Kalimat itu meluncur dari Joko.

Bowo menambahkan lagi. Ia seumpama kader partai yang cinta sama organisasi idolanya itu.

“Ya, aku juga setuju itu. Tapi kan kalau tak ada yang dipilih, gedung dewan bisa jadi gedung kosong. Kalau sudah kelamaan kosong, berhantulah tempatnya itu.”

Kami tertawa.

“Iya..iya.. betul itu. Berisi pun juga banyak yang kayak hantu.” Aku menambahkan.

Kembali tawa kami pecah. Orang-orang di sekitar kami melirik. Ada yang mesem dan juga ada yang ikut tertawa. Ada juga yang terang-terangan kesal dengan kami. Sebenarnya kesal sama topik politik. Ia Ijal. Senior kami di kantor yang tak pernah mau berurusan dengan yang namanya politik.

“Jadi kalau gitu kalian takut ya kalau gedung dewan berhantu jika banyak yang golput?” Tanyaku.

“Iyalah. Kan seram. Kantor kita disebelah gedung dewan. Nah, kalau pas lembur sampai malam bisa lihat penampakan.” Bowo menimpali dengan selera humornya.

Lagi, kami pun tertawa.

Joko pun tak mau kalah. Ia lanjutkan.

“Gini, selain itu, kalau banyak yang golput kan bakalan banyak caleg yang gagal. Nanti kalau pergi kerja atau kemana-mana, di jalan bisa banyak orang gila baru dari kalangan caleg. Kan lebih seram lagi.”

Tertawa keras tak terbendung lagi. Semua yang di kantin, minus Ijal, ikut terbahak-bahak. Poloh, supervisor kami sampai terbatuk-batuk mendengar celotehan kami. Ia tak sengaja menyemprotkan minumannya ke arah wajah teman di depannya, Surya.

Aku ikut menimpalkan.”Kalau gitu, nanti kau minta foto sama caleg gila. Masuki FB pasti banyak yang request sama kau. Jarang-jarang ada orang minta foto sama caleg gila, dimana-mana minta foto sama orang terkenal.”

Seluruh area kantin semakin semarak. Tawa lepas kami bertiga disambung dan diamini pengunjung lainnya.

Begitulah politik itu. Manis berjanji, terasa pahit dalam bukti. Dana banyak habis. Tahun pertama dan kedua sibuk mengumpuli modal dan membayar utang. Tentu dari hasil yang banyak menyelewengkan uang kita. Tahun ketiga memperkaya diri. Tahun keempat, mengumpuli modal untuk kampanye pemilu depan. Dan tahun terakhir sibuk mengurusi partai, dirinya, serta pergi ke tempat pemuka agama yang mau menolong secara gaib ataupun sesepuh klenik biar bisa menang.

Sepertinya mereka yang sudah masuk gedung dewan ingin berkata, “Janji dulu, ya. Lain kali saja buktinya.”

“Ah, lagi-lagi kan,” Reaksiku seperti biasanya.

Lampu pun padam, sekaligus memadamkan perbincangan dan tawa kami dan bergegas kembali ke dunia kami. Dunia para pekerja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun