Mohon tunggu...
HARDI SANJAYA
HARDI SANJAYA Mohon Tunggu... -

Melihat, merenung, menuturkannya lalu menuliskannya agar kita tetap ada dan dikenang meski raga usai dilahap tanah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Media Bodoh, Massa

1 Juni 2014   23:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:50 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hiruk pikuk pileg sudah melewati masa kulminasinya. Tak ada perubahan signifikan dari suasana pemilu terdahulu. Sama saja. Masuk ke TPS, keluar dengan tinta biru yang menghiasi jari. Padahal yang kuharapkan jika keluar dari TPS, bisa membawa kupon berhadiah yang dapat ditukarkan di Indomaret. Syukurnya, tidak ada yang bergocoh-gocoh agar menang dan duduk tenang di kursi dewan. Oh, banyak juga yang menjadi pencopet suara rekan-rekannya sendiri. Ini sebuah kewajaran dalam politik. Bukankah politikus itu senang mencuri layaknya tikus. Tapi bukan timun, melainkan uang rakyat.

Kini, kita tengah bersiap mengadakan pilpres. Cuma dua pasangan saja. Dan di rumah kami sudah ada dua faham yang berkembang. Kami sudah mempunyai pilihan hati. Kedua-duanya sangat layak memimpin. Kami merindukan pimpinan yang mengerti rakyatnya, bukan golongannya.

Ayah dan bunda memilih pilihan yang berbeda. Aku dan kedua saudara laki-lakiku juga mempunyai ketetapan hati untuk memilih pasangan Tua-Muda dan Keras-Lembut. Pasangan yang cakap dan manis. Serba melengkapi. Ada api, ada air. Ada tanah, ada langit.

Tetapi kami tak suka berdebat dalam menganggap unggul pilihan kami tersebut. Kami mengeluarkan suara di ruang keluarga. Semuanya bersuara tanpa takut akan ditindas. Ayah dan bunda membangun demokrasi mulai dari ruang keluarga. Karena dari organisasi terkecil di dunia inilah seorang pemimpin akan lahir.

Sayangnya, pada saat nama capres-capres ini muncul di media massa, kami melihat banyak pelanggaran. Kami memang tidak memahami politik dan dunia jurnalistik yang mendalam. Pekerjaan dan titel kami pun jauh dari kedua hal ini. Kami mengetahui keduanya ini sangat terkait dalam kancah perebutan kemerdekaan NKRI. Tanpa keduanya, omong kosong Indonesia bisa berdiri. Mereka bagaikan air dan ikannya. Sama-sama membutuhkan.

Pelanggaran itu tentu saja dari media yang mendukung salah satu pasangan. Karena pemiliknya bagian dari mitra koalisi. Metro Tv, dengan Surya Paloh yang notabene mendukung Jokowi-JK, sangat masif dan reguler memberitakan pasangan ini. Sedangkan Prabowo-Hatta, banyak mendapatkan dukungan Grup MNC dan VivaNews. HT dan ARB pendukungnya.

“Ayah, aku lihat pemberitaan di Metro Tv ini lebih banyak menyajikan keunggulan dari Jokowi. Bahkan kampanye negatif dan kampanye hitam yang menjelekkan Jokowi disajikan di sini dengan intensitas cukup tinggi. Tujuannya agar rakyat simpati kepada Jokowi. Seolah-olah itu berasal dari Prabowo. Bagaimana ayah melihat ini?” Aku bertanya bagaikan seorang jurnalis handal kepada pengamat politik.

“Ya, kalau dilihat memang benar adanya. Media lupa akan keberadaannya yang wajib netral, meski ia dimiliki swasta. Mereka punya regulasi yang mengatur itu semua. Tetapi ini politik. Politik itu kan mencari kekuasaan dan membagikannya. Inilah sulitnya mengejahwantahkan jurnalistik yang adil dan berimbang itu di dunia politik bila pemiliknya ikut bermain di ranah politik.”

Bunda bertanya pada ayah. Walaupun mereka beda pilihan. “Kan bisa saja yang melakukan kampanye hitam itu suruhan pihak Jokowi agar terlihat dia dizalimi. Ya, sama seperti SBY dulu, kan?”

Ayah mengangguk. ”Benar, Bun. Semua itu bisa saja terjadi. Diperlukan follow-up jurnalis dari media-media yang ada di sini. Berikut dengan pihak kepolisian. Jangan dibiarkan mengambang. Jadi tidak karuan. Massa bisa dibodoh-bodohi oleh media massa yang bodoh seperti itu.”

“Lalu, bagaimana dengan iklan dan intensitas pemberitaan Prabowo yang banyak mengandeng media massa pendukungnya itu, Yah?” Kakakku yang tertua ikut menanyakan. Karena pasangan favoritnya hanya mendapatkan dukungan dari satu media.

“Tentunya ini lagi-lagi tugas kita semua, terutama pihak parpol yang mencari dukungan dari media massa, dan KPI serta KPU menjalankan amanah tugasnya masing-masing. Dan juga Bawaslu. Bila hal ini terus dibiarkan, maka kita, massa ini akan mendapatkan kerugian besar.”

Aku sependapat dengan pendapat ayahku tersebut. Memang benar, ada kecenderungan sebuah media massa akan berafiliasi dengan salah satu kekuatan politik. Pada awal-awal sebelum dan sesudah kemerdekaan pun, negara ini sangat sering tergiring opini yang dilemparkan oleh kekuatan politik dan media tersebut. Ada yang terang-terangan mendukung kekuatan politik tertentu. Bahkan di tingkat daerah pun turut serta.

Menurutku media massa sangat lihai memainkan peran agenda setting-nya dalam mempropagandakan sebuah doktrin ataupun ketokohan dari seseorang. Mulai dari waktu mempublikasikan iklannya, isi iklannya, isi teks pemberitaannya, hingga teknik pengemasan acara dan berita itu sendiri. Semua pasti ada kerjasama antara pemilik media sebagai pendukung utamanya, petinggi media, tim sukses, hingga kepada para jurnalis dari media pendukungnya tersebut di lapangan sendiri. Mereka dilekatkan oleh kepentingan dan relasi. Seperti kertas dan lem. Sangat rekat dan sukar dilepaskan.

Persebaran kampanye hitam dan negatif pun sangat sukar dibendung. Karena arus informasi di zaman serba cepat dan tak terbatas ini gampang diakses. Bahkan seorang pengamat politik pun bisa ikut bermain di sini. Bisa jadi ada kepentingan di balik kepentingan. Semuanya semakin runyam. Jika pemilik media ikut bermain, maka sangat dipastikan kenetralan mereka tak akan pernah terwujud. Media pun seolah-olah adalah maling yang meneriaki malingnya sendiri. Ia lupa kalau dirinya pun juga maling.

“Bukankah ada pernyataan pengamat politik yang dipenggal dan disitir oleh media tertentu jika ada kalimat-kalimatnya yang mendukung salah satu calon?” Adikku yang terkenal cerdas pun tak mau ketinggalan. Kukira dia cuek. Ternyata dia juga geram dengan andil media massa yang bodoh dan ingin membodohi massanya sendiri.

“Memang benar. Salah satu pengamat politik itu memang ada yang secara gestur dan verbal mengikuti nafsunya dalam mendukung salah satu calon. Calon yang didukungnya itu, calon favorit ayah.”

“Berarti pengamat politik itu juga tidak mampu menjaga netralitasnya sebagai seorang pengamat. Bahkan lembaga riset ini pun banyak yang suka hidup seperti bunglon.” Adikku menambahkannya.

“Itulah kalau nafsu sudah mengerogoti hati dan pikiran. Tak peduli itu seorang pengamat, lembaganya, pemuka agama, orang alim, orang susah, orang berpendidikan, jurnalis, aktivis, siapa pun di Indonesia ini sangat sulit untuk kita percayai. Uang itu mempunyai kuasa tiada batas. Ia bisa menunjukkan wajah setan ataupun wajah nabi, tergantung siapa yang membuka topengnya.”

Aku sangat setuju. Aku geram dan kesal dengan ulah media massa yang bodoh itu. Mereka bergoar-goar agar pemilu berkualitas dengan pemilih yang cerdas. Tapi nyatanya, massa memang digiring dengan berita-berita bodoh. Bagi rakyat yang mau dibodoh-bodohi, maka media massa berhasil. Namun bagi massanya yang cerdas, nama media ini tak akan layak menyemat sebagai Watchdog ataupun wajib melepaskan gelarnya sebagai salah satu pilar negara.

Suasana diskusi semakin hidup di ruang keluarga kami. Beda pendapat, beda pilihan, tetapi tetap satu juga karena kami satu keluarga. Kebhinekaan tunggal ika kami jalarkan mulai dari sini. Begitu kami keluar dan membawa perspektif ini keluar rumah, segala macam perspektif bermunculan. Mereka mempunyai calonnya masing-masing. Tentunya media massa membawa pengaruh besar bagi mereka. Asalkan tidak sampai tumpah darah dan air mata di dalam pesta akbar. Seharusnya ada tawa yang membahana dari Sabang-Merauke.

“Oh, media massa. Cobalah engkau melihat dirimu sendiri. Jangan kau pikir dengan mendukung salah satu calon melalui isi teks berita dan intensitas pemberitaan membuat rakyat membangun negeri ini. Kau salah. Justru agenda setting dan agenda politik pemilikmu, akan menghancurkan negerimu yang kamu bela sendiri. Kau adalah pengamatnya. Sesuatu yang menetralkan suasana.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun