Nasib petani makin memprihatinkan di Indonesia. Jika tak segera regenerasi, kelangsungan pangan di Tanah Air makin merajalela. Impor pangan makin meningkat, petani gurem yang terpaksa menekuni bisnis ini makin melarat.
Jumlah Petani Makin Menyusut
Mengacu data Badan Pusat Statistik tahun 2020, jumlah pemuda yang bekerja di sektor pertanian semakin menurun dalam 10 tahun terakhir. Dari jumlah petani yang mencapai 33,4 juta orang, petani yang berusia 20-39 tahun hanya 2,7 juta orang. Artinya, hanya delapan persen dari jumlah petani tersebut.
Jumlah ini tentu lebih kecil dibandingkan dengan total usia produktif di Indonesia yang mencapai 100 juta jiwa. Otomatis, hanya kaum perempuan dan para lanjut usia yang akan mengawal kedaulatan pangan dan mengurusi pertanian.
Dengan kondisi seperti ini, akankah Indonesia dapat mengulang prestasi besar pada 1984? Tatkala itu, pemerintah mampu swasembada beras. Namun tentu saja, pencapaian itu melibatkan banyak masyarakat yang tak pernah mengeluh capek dan panas.
PHK Kerjaan, Mencoba Menjadi Petani Milenial
"Nak, bapak sudah nggak kuat ke sawah. Kamu harus ngelanjutin sawah milik bapak. Tapi jangan jual sawahnya ya," ujar ayahku yang kini sudah menginjak usia 70 tahun mengingatkanku.
Itu ucapan sang ayah saat aku masih di Jakarta. Sebenarnya ucapan itu sudah diingatkan berulang kali sejak aku merantau setelah sekolah menengah atas (SMA). Namun baru kali ini aku memikirkannya.
Ditambah lagi, pandemi COVID-19 benar-benar meluluhlantakkan impian banyak orang. Banyak pekerja terpaksa menerima hasil pahit berupa pemangkasan hubungan kerja (PHK). Aku termasuk salah satunya.
Jabatan senior manajer di sebuah divisi humas maskapai penerbangan swasta di Jakarta harus aku lepas. Tak menerima pesangon wajar hingga ketidakpastian mendapatkan pekerjaan lain terpaksa aku jalani dengan ikhlas. Saat itu aku hanya mendapatkan tunjangan satu kali gaji pas.