Mohon tunggu...
ditha sutan
ditha sutan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Kristen Duta Wacana

Mahasiswa jurusan Bioteknologi UKDW

Selanjutnya

Tutup

Joglosemar

Leptospirosis di Sleman: Fakta, Mitos, dan Langkah Pencegahan

22 Juni 2024   11:33 Diperbarui: 22 Juni 2024   11:34 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joglosemar. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com

Apa itu Leptospirosis? 

Leptospirosis merupakan penyakit menular dari hewan (zoonosis) bernama Leptospirosis yang dapat ditemukan di berbagai penjuru dunia. Penyebabnya adalah bakteri spiral dari genus Leptospira pathogen, yang ditularkan secara langsung dan tidak langsung dari hewan ke manusia. Penyakit ini ditularkan melalui air atau tanah yang terkontaminasi oleh urine hewan yang terinfeksi, terutama tikus. Penyakit ini lebih sering ditemukan di negara beriklim tropis dan subtropis, khususnya yang memiliki curah hujan tinggi (Kemenkes, 2017). Kejadian leptospirosis di negara tropis 1.000 kali lebih banyak dibandingkan di negara subtropis dengan tingkat risiko penyakit lebih tinggi. Angka kematian leptospirosis di Indonesia termasuk tinggi, bisa mencapai 2,5-16,45%. Menurut data Kementerian Kesehatan, kasus leptospirosis di Indonesia cenderung meningkat sejak tahun 2004. Pada tahun 2017 CFR leptospirosis di Indonesia mencapai 16,88 per 100.000 penduduk. Hasil penelitian Nurbeti (2016) di perbatasan Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kulonprogo menunjukkan bahwa sebaran kasus leptospirosis sebagian besar terjadi di lahan sawah. Sebanyak 52,05% kasus berada pada jarak 0-100 meter dari sawah, 16,09% kasus pada jarak 100-200 meter dari sawah, dan 31,86% kasus pada jarak lebih dari 200 meter dari sawah.

Bagaimana gejala leptospirosis?

Gejala awal leptospirosis sering kali mirip dengan flu, termasuk demam tinggi, sakit kepala, menggigil, dan nyeri otot, terutama di daerah betis dan punggung. Selain itu, gejala lain yang mungkin muncul adalah mata merah, mual, muntah, dan diare. Pada kasus yang lebih parah, leptospirosis dapat menyebabkan jaundice (kulit dan mata menguning), penurunan fungsi ginjal, dan perdarahan. Apabila tidak segera ditangani, penyakit ini dapat berkembang menjadi kondisi yang lebih serius seperti meningitis, gagal ginjal, dan bahkan kematian. 

Beberapa mitos terkait penyebaran leptospirosis diantaranya adalah 

1. Leptospirosis hanya ditularkan melalui air. Faktanya, leptospirosis juga dapat ditularkan melalui tanah yang terkontaminasi oleh urine tikus. Oleh karena itu, penting untuk menghindari kontak langsung dengan air dan tanah yang mungkin terkontaminasi

2. Hanya tikus yang membawa bakteri Leptospira. Faktanya, hewan lain seperti anjing, babi, dan sapi juga dapat menjadi pembawa bakteri ini. Oleh karena itu, penting untuk menghindari kontak dengan hewan yang berpotensi terinfeksi.

3. Hanya orang yang tinggal di daerah banjir yang berisiko tertular leptospirosis. Faktanya, siapa pun yang tinggal atau bepergian di daerah yang terkontaminasi oleh urine hewan yang terinfeksi berisiko tertular penyakit ini.

Bagaimana penyebaran Leptospirosis di Sleman? 

Melansir pada RRI.co.id, pada bulan Mei 2024, tercatat 20 kasus leptospirosis dengan 21 suspek di sejumlah Kapanewon, antara lain Moyudan, Seyegan, Cangkringan, dan  Prambanan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pencegahan terkait leptospirosis belum digalakkan secara efektif. Maka, perlu langkah pencegahan yang lebih untuk mengurangi kasus akibat leptospirosis. Hal yang paling utama dalam menentukan tindakan pencegahan bagaimana cara meningkatkan kesadaran masyarakat untuk waspada terhadap penyakit leptospirosis. 

Tindak pencegahan menurut WHO dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu melalui hewan (vektor), jalur penularannya, dan manusia:

  • Pencegahan leptospirosis pada hewan sebagai sumber infeksi dilakukan dengan memberikan vaksin kepada hewan yang berpotensi tertular serta menjaga kebersihan kandang hewan peliharaan.
  • Dalam memutus jalur penularan yang merupakan lingkungan tempat berkembang biak dan hidup bakteri Leptospira, diperlukan untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan dan sanitasi yang baik untuk mencegah terjadinya leptospirosis. Langkah-langkah yang dapat dilakukan meliputi menjaga kebersihan lingkungan sekitar tempat tinggal, mengelola tempat penyimpanan air dengan baik, dan menangani sampah dengan benar agar tidak menjadi sarang tikus.
  • Pada manusia, pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan individu setelah beraktivitas di tempat yang dirasa kotor, menggunakan alat pelindung diri bagi pekerja di lingkungan berisiko, menjaga kebersihan kandang hewan peliharaan, dan membersihkan lingkungan agar tidak menjadi habitat tikus. Bahkan, jika memungkinkan dilakukan pemberantasan hewan pengerat Selain itu, peningkatan kesadaran masyarakat akan bahaya leptospirosis sangat penting yang dapat dilakukan dengan dilakukan edukasi dimasyarakat yang dikemas dengan sedemikian rupa untuk menarik masyarakat dalam kegiatan penyuluhannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Joglosemar Selengkapnya
Lihat Joglosemar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun