Pandemi Covid-19 telah mengubah banyak kebiasaan manusia. Salah satunya adalah penutupan bioskop guna menghindari penularan virus corona. Namun hal itu tak menyurutkan penggemar film untuk menonton. Platform daring kini jadi pilihan, kita bisa menikmati hiburan dengan menonton film streaming.
Sejauh ini pun masyarakat mungkin telah banyak mengapresiasi film streaming dan non streaming. Namun sedikit diantaranya mungkin masih belum paham asal muasal dan pengertian film itu sendiri.
Menurut UU 8/1992, film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan yang lainnya.Sejarah menunjukkan film tumbuh sebagai kebutuhan kaum urban yang terbentuk dari kolonialisme dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Film di satu sisi, merupakan fenomena internasionalisasi dan perluasan wawasan, namun di sisi lain, dalam rangka pencarian identitas-etnis-politis-religius film dianggap sebagai sebuah ancaman (Sugiharto, B. dalam Nugroho, G., dan Herlina, D., 2015).
Eksplorasi Film Indonesia setiap eranya dikategorikan menjadi Era Penjajahan Belanda, Era Penjajahan Jepang, Pasca Kemerdekaan 1 (1945-1960), Pasca Kemerdekaan II (1945-1980), Film Indonesia di Era Orde Baru (1981-1997), dan yang terakhir Film Indonesia Pasca 1998 (1998-sekarang).
Yuk, mari kita sedikit membahas mengenai eksplorasi film Indonesia setiap eranya dimulai dari era penjajahan Belanda.
Pada eksplorasi film Indonesia di era penjajahan Belanda, industri film dikuasai oleh penguasa keturuna Eropa dan Tionghoa. Film yang diproduksi di era penjajahan Belanda yaitu Loetoeng Kasaroeng yang diproduksi oleh ―NV Java Film Company, disutradarai oleh L. Heuveldorp, film ini merupakan film bisu pertama (silent) yang diproduksi di Hindia Belanda yang berlatar legenda Sunda. Di Indonesia, film pertama kali diperkenalkan pada tanggal 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta). Pada masa itu film disebut Gambar Idoep‖. Pertunjukkan film pertama digelar di Tanah Abang,sebuah film dokumenter yang menggambarkan perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Untuk menonton film yang ditayangkan di bioskop, saat itu penonton harus membayar karcis.Pertunjukan pertama ini kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal.
Penjualan tiket dibagi menjadi 3 kelas:
Kelas 1 (Keturunan Eropa),
Kelas 2 (bangsa asing selain Eropa),
Kelas 3 (masyarakat pribumi)
Eksplorasi Film di era penjajahan Jepang memberikan perspektif baru tentang kesadaran dan pentingnya pengetahuan tentang film-film. Di era ini film berfungsi sebagai alat propaganda perang, politik.komoditi, produk seni, alat untuk menumbuh kembangkan awareness (kesadaran) masyarakat, dan sebagai alat pendidik masyarakat. Di era ini pribumi mulai aktif terlibat dalam industri perfilman. Produksi film yang didapat pada era ini meningkat dari yang awalnya memproduksi 5 film pada tahun 1939 menjadi 14 film di tahun 1940, kemudian pada tahun 1940 bertambah menjadi 30 film.
Pada tahun 1949 kemerdekaan Indonesia secara internasional diakui, pertumbuhan ekonomi pun semakin meningkat. Berbagai momentum perfilman nasional terjadi, mulai dari lahirnya Perusahaan Film Nasional (Perfini) dan Persatuan Indonesia (Persari) di tahun 1950.
Untuk lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaluddin Malik mendorong adanya Festival Film Indonesia (FFI) pertama pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya duet Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik mendirikan PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia).Pemenang terbaik dalam festivl film ini diraih oleh Usmar Ismail dengan judul film “Lewat Jam Malam”. Adapun film-film penting di era ini diantaranya ada film The Long March (Darah dan Doa, Umar Ismail, 1950), ―Si Pintjang garapan Kotot Suwardi (1951), dan ―Turang garapan Bachtiar Siagian (1957).