Mohon tunggu...
Ditdit Nugeraha Utama
Ditdit Nugeraha Utama Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Educationalists, lecturer, IS researcher, writer, proofreader, reviewer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sistem Pendidikan Indonesia: Berkacalah!

3 Mei 2014   00:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:56 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sengaja, saya menuliskan semua artikel di Kompasiana ini pada lingkup tema pendidikan, apa pun bahasannya. Karena, hakikat dari keberhasilan atau kegagalan manusia di dalam mengelola dunia beserta isinya ini – pun – sangat tergantung kepada keberhasilan atau kegagalan transfer ilmu lewat proses pendidikan itu sendiri. Kegelisahan, kesemrawutan, kegundahgulanaan, ketidakbenaran, kesalahkaprahan, kebodohan, dan semua aspek serta parameter dan cara buruk yang dilakukan manusia, pastilah beranjak dari proses pendidikan yang tidak benar; yaitu sebuah proses yang seharusnya dipandang secara menyeluruh pada satu kesatuan sistem.

Pada artikel terdahulu (apa yang salah dengan bangsa ini?), saya mencoba untuk menyampaikan beberapa contoh kejadian buruk, dalam rangka agar supaya dapat kita gunakan untuk membuat kita sadar dan mengakui, dan selanjutnya berubah menjadi lebih baik dan tidak mengulanginya.  Semua contoh buruk yang saya sebutkan itu sangat erat sekali hubungannya dengan implementasi sistem pendidikan.  Dan kita harus menjadi legowo, karena – memang – semua keburukan yang terjadi  – sejatinya – adalah kegagalan sistem pendidikan.  Tentunya, karena negara – pun – sebagai sebuah sistem dan tatanan tertinggi dan penanggung jawab penuh, sudah tidak mampu – atau tidak peduli lagi – untuk merealisasikan dan menyuguhkan sebuah sistem pendidikan yang sempurna.  Tidaklah harus menuntut kesempurnaan pada hasil, namun guidance atau acuan sistem pendidikan Indonesia, seharusnya merujuk pada sistem pendidikan yang sempurna; bukan titipan, apa lagi pesanan atau intervensi pihak lain; sehingga proses berpendidikan bisa dipertanggungjawabkan pada skala kebenaran.

Contoh keteladanan.  Itu kunci utamanya.  Kembali saya ingin ingatkan permasalahan contoh keteladanan ini, seperti yang telah saya kupas secara singkat di kompasiana edisi Maret lalu (contoh benar, nah ini baru penting); bahwa contoh keteladanan (kebenaran) memang menjadi hal sangat prinsip dan luar biasa penting.  Karena keburukan yang dilihat dan didengar manusia setiap harinya, tanpa kita sadar, akan merusak lapisan membran otak kecil manusia.  Sehingga kemampuan kontrol, kemampuan mangatur dan kemampuan memutuskan hal-hal penting, lama-kelamaan akan rusak dan terusakkan pula.  Karena, otak manusia itu sendiri telah tercuci terus-menerus oleh air kotor contoh buruk.  Aksi kekerasan, berita pembunuhan, perlakukan penyimpangan seks dan aksi pornografi, kata-kata makian, orang tua perokok, orang dewasa membuang sampah sembarangan, dan masih banyak lainnya; setiap harinya terus dipertontonkan di depan kepala kita; sehingga mata dan telinga – yang menjadi alat input otak – terus-menerus menyampaikan hal-hal buruk tersebut ke otak kita (brain wash).  Jika, kondisi ini terus-menerus terjadi selama bertahun-tahun (bahkan puluhan tahun), otak manusia – akhirnya – akan menjadi rusak pada level daya kontrol, daya mengatur dan daya membuat keputusan tadi.  Dan satu hal yang sangat perlu selalu diingat, bahwa yang membedakan manusia dengan binatang adalah akal, dimana pusat olah akal manusia terletak di dalam otak.  Kita bisa bayangkan, apa yang terjadi berpuluh-puluh tahun ke depan, ketika sajian buruk tadi setiap harinya menerpa anak-anak bangsa ini; menjadi bangsa bar-bar, mungkin menjadi sebuah kekhawatiran yang patut dipetimbangkan.

Sehingga, contoh teladan dan kebenaran ini pun – sebenarnya – harus mampu men-cuci otak manusia juga; karena pada hakikatnya otak manusia memang dicuci atau tercuci setiap harinya.  Namun akan menjadi masalah besar, ketika setiap harinya otak manusia ini dicuci atau tercuci oleh air kotor yang disuguhkan oleh contoh-contoh kotor dan buruk, bukan dicuci atau tercuci dengan air bersih yang disajikan dengan sangat indah oleh contoh-contoh keteladanan dan kebajikan.

Contoh keteladanan, tidak cukup hanya menempel pada setiap individu.  Contoh keteladanan harus mampu direalisasikan pada level sistem.  Keteladanan dan kebenaran harus dilakukan secara berjamaah dan bersama-sama yang termediasi oleh sistem.  Keteladanan dan kebenaran harus ditegakkan.  Manusia sendiri – secara individu – memiliki sifat pelupa, tidak sabar dan mudah berkeluh kesah; maka fungsi sistem benar menjadi sangat penting sebagai pengawalnya.  Para pemangku dan pemimpin negara harus paham hakikat sistem ini, sehingga contoh teladan dan benar ini harus mampu disajikan dan diformalkan secara sistem, bukan – hanya sebagai – tuntutan pada pribadi masing-masing.  Karena, manusia – secara individu – tidak mungkin mampu menegakkan contoh benar sendiri; karena akan dianggap gila dan terasingkan.  Seperti yang saya sampaikan dengan teori sistem di tulisan saya terdahulu (apa yang salah dengan bangsa ini?); bahwa, kebenaran akan menjadi salah atau tertolak jika berada pada sistem yang salah; juga dengan keburukan, dia akan menjadi baik atau tertolak jika berada pada sistem benar.  Maka dari itu, sistem pendidikan Indonesia; berkacalah!... [dnu]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun