Mohon tunggu...
Ditdit Nugeraha Utama
Ditdit Nugeraha Utama Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Educationalists, lecturer, IS researcher, writer, proofreader, reviewer

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Iblis pun Tertawa

17 Maret 2014   12:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:51 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kalau – saja – kita diberi kekuasaan untuk dapat melihat alam lain, mungkin ada satu fenomena yang sedang dilakukan iblis sekarang, tertawa. Ya tertawa. Karena, tugas utama iblis – dengan seluruh perangkat perangnya untuk menggoda manusia – telah berhasil dilakukan dengan sangat sukses, tanpa kesulitan sama sekali. Bahkan, iblis – pun – mungkin tidak pernah membayangkan bahwa godaanya terhadap manusia – sekarang ini – dapat membuat manusia menjadi benar-benar rusak. Kerusakannya sampai menembus nalar kelogisan, termasuk logika si iblis. Tidak usahlah saya menyebutkan dan menunjukkan kerusakan apa yang telah manusia perbuat akhir-akhir ini, karena terlalu banyak. Lagi pula, kadang kita tidak mampu menyebutkan – walau hanya sekedar satu – contoh, ketika jumlah contoh itu begitu banyak untuk disebutkan. Jadi cukuplah sebuah kalimat itu saja sebagai gambarannya, bahwa kerusakan yang telah dilakukan manusia sudah ‘telalu banyak’, kalau memang tidak mau dikatakan ‘sangat banyak’.

Secara teori maupun praktek – seperti yang telah kita ketahui bersama – bahwa kerusakan akibat kejahatan yang dilakukan manusia itu terjadi dikarenakan adanya dua faktor, yaitu faktor niat dan kesempatan. Nilai-nilai dan norma-norma keteladanan yang dihembuskan oleh para pemuka agama dan pendidik, hanyalah akan mengikis ‘faktor niat’ buruk manusia untuk melakukan kerusakan (kejahatan) saja, hanya akan mencoba memberikan vitamin baik atas ‘faktor niat’ manusia saja; sehingga – diharapkan – niat setiap manusia menjadi baik, dan tentu – diharapkan pula – aksi yang dilakukan manusia pun akan bajik.

Lalu, bagaimana dengan ‘faktor kesempatan’? Ya tentunya, ‘faktor kesempatan’ disini adalah kesempatan yang memungkinkan manusia melakukan kesalahan, kerusakan, keburukan dan kejahatan; yang berimbas buruk pada manusia lain bahkan alam dan dunia. Saya pikir, himbauan atas nilai-nilai dan norma-norma, tidak akan pernah mampu menghapus faktor yang satu ini. Karena ‘faktor kesempatan’ dapat dihilangkan, bukan – hanya sekedar – melalui himbauan dan retorika di atas panggung, namun harus melalui penegakan hukum dan keadilan. Jelas, disini tugas sistem-lah untuk mengawalnya. Disini peran sistem sangat dibutuhkan, untuk mempersempit ruang gerak ‘faktor kesempatan’ ini untuk muncul ke permukaan. Maka dari itu, di kompasiana edisi 10 Maret 2014 lalu, saya menyampaikan, bahwa contoh benar harus terejawantahkan dan terealisasikan secara sistematis, bukan hanya sekedar himbauan dan teori tanpa pernah berpijak nyata.

Menjadi sangat logis, ketika negara menjadi sebuah sistem yang – diharapkan – mampu untuk menjadikan ‘faktor kesempatan’ mati kutu tak berdaya. Karena negara – jelas – memiliki wewenang yang sah untuk melakukan itu, bahkan wewenangnya sangat berasa sampai merengsek masuk ke level individu. Negara harus mengambil alih peran para pemuka agama dan pendidik di dalam menjadikan ‘faktor kesempatan’ ini hilang tanpa bekas, terbang tanpa pernah kembali. Dan biarkan mereka bekerja di level rumput, sebagai realisasi metode bottom-up yang langsung terasakan oleh umat. Himbauan yang selalu didengungkan, diharapkan akan mampu menciptakan ‘faktor niat’ menjadi baik. Dan negara dengan powernya mengambil peran untuk menegakkan hukum dan keadilan – sebagai implementasi pendekatan top-down – dalam rangka mempersempit ruang gerak ‘faktor kesempatan’.

Sehingga – peran kedua belah pihak – yang terealisasikan, tanpa harus menjadi overlap, akan memperbaiki dua sisi mata uang faktor tersebut. Peran para pemuka agama dan pendidik memberi vitamin tanpa henti kepada ‘faktor niat’ setiap individu, lewat contoh dan keteladanan pada sistem lokalnya; lalu, negara pun – tanpa lelah – menegakkan hukum dan keadilan untuk mempersempit ruang gerak ‘faktor kesempatan’ pada tataran sistem global. Tentu, jika kondisi ini terjadi secara ideal dan berkesinambungan; saya sangat yakin – seyakin-yakinnya – bahwa si iblis akan menghentikan tawanya, dan berubah menjadi menangis bombay... [dnu]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun