Mohon tunggu...
Dita Utami
Dita Utami Mohon Tunggu... Administrasi - ibu rumah tangga

ibu rumah tangga yang peduli

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Nasionalisme adalah Salah Satu Tantangan Kita ke Depan

25 Oktober 2024   19:10 Diperbarui: 25 Oktober 2024   19:51 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kini kita berada pada era kepemimpinan baru. Suatu era atau masa dimana kita bisa berharap lebih karena suasana yang smooth ketika pergantian itu terjadi. Paling tidak kita berharap bahwa keberlanjutan itu akan terjadi.

Keberlanjutan itu penting untuk menuju Indonesia emas 2045 yang akan datang. Kita tahu kita akan mendapat bonus demografi. Bonus demografi disini adalah jumlah penduduk usia produktif di suatu negara lebih banyak daripada jumlah penduduk yang tidak produktif. Ini merupakan tantangan berat karena jika tidak tersedia lapangan kerja yang cukup atau SDMnya lemah, maka yang ada adalah krisis negara berkepanjangan. Akan banyak pengangguran, daya beli rendah dll.

Pada saat ini saja, kita saat ini dihadapkan pada beragam tantangan. Situasi ekonomi belakangan ini tengah dilanda gelombang deflasi berturut-turut. Harga barang di pasaran anjlok, karena daya beli masyarakat yang menurun. Belum lagi gelombang PHK yang melanda dunia industri kita. Contoh terbaru adalah industry tekstil Sritex yang telah jaya selama 58 tahun, akhirnya kolaps juga karena berbagai hal.  Semua itu adalah tantangan di depan mata yang wajib diselesaikan.

Di sisi lain ada tantangan non ekonomi yaitu tantangan ideologi. Tantangan ideologi ini tidak bisa dianggap remeh. Mengingat tiga dekade ini kita masuk era reformasi termasuk keterbukaan informasi makin dimungkinkan. Koheren dengan itu, kemajuan teknologi informasi juga berlangsung dengan cepat. Bahkan dengan adanya media sosial, media massa seakan mulai tergusur.

Hanya saja, ada kerugiannya. Media sosial banyak yang memberikan informasi yang tidak terkonfirmasi (tidak akurat) karena sifatnya yang bebas. Black campaign, bahkan fitnah berseliweran dari hari ke hari pada masa menjelang Pilpres 2014 sampai 2019. Yang paling kentara adalah Pilkada Jakarta pada tahun 2017, dimana agama menjadi alat politik. Ujaran kebencian ada di mana-mana, intoleransi makin sering ditemukan dll. Sesuatu yang sangat tidak Indonesia.

Dalam situasi itu faham transnasional masuk ke kamar-kamar para generasi muda termasuk para santri . Faham itu  masuk ke kepala bapak-bapak yang bekerja di BUMN. Juga pada ibu-ibu dan para ulama yang banyak memberi kajian-kajian eksklusif. Fenomena intoleransi masuk ke sekolah-sekolah bahkan para guru yang mengajarkan budi pekerti. Sehingga tak jarang seorang anak merasa tidak perlu bertoleransi dengan tetangganya yang beragama berbeda. Bahkan mereka kerap membully anak-anak yang tidak seagama dengan mereka. Bahkan kini banyak perumahan yang hanya boleh dibeli oleh orang seagama .

Fenomena kemerosotan ideologi ini tidak terhindarkan dan butuh perhatian yang khusus dari semua pihak. Semangat nasionalisme harus kembali ditumbuhkan untuk melawan faham transnasional radikal. Ideologi kebangsaan Pancasila harus kembali ditekankan di semua lini. Inilah tantangan kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun