Kampanye pilkada serentak telah dimulai. Tidak hanya pasangan calon yang sibuk mencari simpati calon pemilih, tapi tim sukses yang berada di belakang layar juga sibu mencari strategi, agar paslon yang diusung bisa sukses duduk di kursi kekuasaan. Berbagai cara akan dilakukan, demi meningkatkan elektabilitas pasangan calon yang diusung. Tidak sedikit publik yang khawatir, ada oknum yang mencoba memanfaatkan kesampatan dalam kesempitan. Provokasi SARA seperti yang pernah dilakukan pada pilkada DKI Jakarta, akan diterapkan pada pilkada serentak ini. Apalagi, indikasi-indikasinya sudah mulai terlihat.
Sejak awal 2018 yang lalu, terus terjadi di tindakan intoleran. Mulai dari penyerangan ulama dan tokoh agama, hingga penyerangan gereja di Yogyakarta. Hal-hal semacam ini rawan sekali dipolitisasi dan bisa membuat bibit kebencian di tahun politik ini. Tentu kita tidak berharap hal ini terjadi. Masyarakat Indonesia tentunya sudah paham, mana informasi yang benar-benar bermanfaat untuk rakyat dan mana yang tidak. Namun perkmebangan teknologi telah memudahkan propaganda radikalisme ini menyebar di tengah masyarakat.
Kita semua harus menjadi pengingat. Kita harus saling mengingatkan, agar tidak banyak lagi yang menjadi korban provokasi SARA. Sentimen SARA ini bisa berpotensi melahirkan perpecahan di tengah masyarakat. Dan ketika perpecahan itu terjadi, dikhawatirkan bisa dimanfaatkan kelompok radikal untuk melakukan serangkaian aksinya.Â
Salah satu contohnya adalah ancaman teror yang muncul ditengah masyarakat. Pekan kemarin, salah satu gereja di Sleman, Yogyakarta mendapat ancaman dari orang yang tidak dikenal. Sebelumnya, ada ulama dan tokoh agama juga mendapatkan tindak kekerasan dari orang yang tidak dikenal. Hal semacam ini tentu bisa menjadi senjata bagi pihak yang tidak bertanggungjawab, untuk menghembuskan provokasi SARA.
Mari kita jaga pilkada serentak ini, dengan suka cita. Biarlah pesta demokrasi ini berjalan secara jujur dan adil. Biarkanlah masyarakat memilih pemimpin yang diinginkan. Dan para pasangan calon yang bertarung dalam pilkada serentak ini, diharapkan juga mempunyai komitmen yang tinggi, untuk tidak menggunakan provokasi SARA dalam masa kampanye ini.Â
Paslon harus memberikan contoh yang baik, agar pilkada ini bisa menjadi pembelajaran buat kita semua. Salah satu pelajaran yang penting adalah, bagaimana mengedalikan ego sektoral. Dan bagaimana belajar bertarung di tingkat gagasan dan ide, bukan pada upaya untuk saling menjatuhkan.
Provokasi SARA terbukti bisa membuat negeri ini hancur. Dan kita, sebagai warga negara Indonesia, pernah mengalami bagaimana konflik SARA telah berdampak pada hilangnya nyawa, hilangnya kedamaian, dan hilangnya kerukunan antar umat beragama. Begitu banyak yang harus ditanggung akibat konflik ini. Untuk itulah, jangan sulut sentimen SARA dalam masa pilkada. Dan masyarakat diharapkan juga mampu berpikir logis. Mulai biasakanlah melakukan literasi media, agar tidak mudah termakan oleh informasi hoax ataupun provokasi SARA. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H