Mohon tunggu...
Dita Tri Indiani
Dita Tri Indiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Perkawinan Islam Indonesia

7 Maret 2024   21:39 Diperbarui: 7 Maret 2024   22:22 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hukum Perkawinan Islam Indonesia

Dr. Asman, M. Ag, dkk. 

Dita Tri Indiani

222121146

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Abstract: 

Perkawinan merupakan salah satu bentuk usaha manusia untuk menciptakan suatu ikatan berkelompok yang dinamakan keluarga. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Pasal 1 UU Perkawinan dan tujuannya adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal.

Hukum perkawinan di Indonesia sendiri pada awalnya mempunyai banyak peraturan mengenai perkawinan. Hal ini terjadi bahkan setelah Indonesia merdeka. Terdapat lima kategori ketentuan hukum yang khusus mengatur permasalahan perkawinan bagi warga negara Indonesia. Kategori tersebut didasarkan pada tiga kelompok populasi: Eropa, kelompok asing timur, dan kelompok pribumi. Pluralisme hukum tersebut di atas menjadi persoalan bagi masyarakat adat yang mengupayakan perubahan terhadap peraturan perkawinan. Hal ini penting untuk mencegah tindakan orang asing yang menyerbu penduduk lokal dan mempengaruhi budaya pernikahan penduduk lokal, khususnya umat Islam.

Keywords: perkawinan; masyarakat; undang-undang; hukum

Introduction

Setiap makhluk hidup memiliki hak asasi untuk melanjutkan keturunannya melalui perkawinan, yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan di Indonesia. Ada perbedaan-perbedaannya dalam pelaksanaan yang disebabkan karena keberagaman kebudayaan atau kultur terhadap agama yang dipeluk. Bagi pasangan pria dan wanita yang sudah melakukan perkawinan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.

Menurut Hukum Islam, apapun bentuk dan model perkawinan, sepanjang telah memenuhi rukun dan syaratnya maka perkawinan itu dianggap sah, sementara menurut Hukum Perkawinan Indonesia selain sah menurut agama dan kepercayaannya, suatu perkawinan memiliki kekuatan hukum bila dicatat berdasarkan peraturan perundang-undangan yaitu di Kantor Urusan Agama.

Pembahasan

Hukum Perkawinan Islam Indonesia

Hukum perkawinan islam memberikan tantangan khusus bagi para ulama dalam menangani permasalahan keluarga. Dalam hal ini UU Perkawinan akan menyelesaikan permasalahan, memikirkan dan mencari jalan keluar jika terjadi perselisihan terkait perkawinan. Dengan adanya ini maka keberadaan syariat Islam tentang perkawinan menjadi jawaban untuk menyelesaikan konflik dalam keluarga dengan cara yang tidak menimbulkan dampak negatif dan membawa kemaslahatan bagi keluarga.

Dalam Undang-Undang No. Pasal 1 Tahun 1974 juga mengatur dasar hukum perkawinan yang mengatur perkawinan pada Bab I, khususnya tentang dasar perkawinan dan memuat 5 pasal, yaitu Pasal 1 sampai dengan Pasal 5. Bagian pertama undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menyatakan "Hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sebagai suami istri, bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa". Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan syarat-syarat hukum perkawinan mengatur: "Jika pelaksanaan menurut peraturan agama dan kepercayaan masing-masing, maka perkawinan itu sah."

Undang-Undang Nomor 1, Pasal 2 sampai dengan Pasal 10. Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan landasan hukum perkawinan, ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974. "Perkawinan menurut hukum Islam adalah perkawinan yang melibatkan akad yang sangat kuat untuk menjalankan perintah Allah dan pemenuhannya adalah ibadah", bunyi pasal 2 KHI. Tujuan perkawinan tercantum dalam Pasal 3 KHI : "Perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah dan warahmah.

Syarat Sah Perkawinan

Rukun dan syarat perkawinan menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan. Namun yang membedakannya adalah rukun bagian dari ritual ibadah, meskipun syarat tidak langsung dimasukkan dalam rangkaian ibadah, namun sebelum ritual ibadah dimulai harus dipenuhi. Pernikahan merupakan janji suci, oleh karena itu Islam menjelaskan secara rinci ketentuan hukum syariat yang harus dipenuhi sebelum merealisasikan ikatan pernikahan.

  • Adanya Calon Pengantin Pria dan Wanita 

Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi kedua calon pengantin:

1. Beragama islam

2. Bukan mahram

3. Tidak dalam kondisi haji ataupun umroh

4. Tidak dalam masa iddah

5. Tidak beristeri 4 atupun lebih bagi laki-laki

6. Tidak adanya unsur paksaan dari pihak manapun

  • Adanya Dua Orang Saksi

Sayarat bgi kedua orang saksi:

1. Beragama islam

2. Berakal sehat dan sudah baligh

3. Paham maksud akad yang dilakukan

4. Saksi diambil dari pihak pengantin wanita dan pria

  • Adanya Wali Nikah Dari Pihak Perempuan

Syarat bagi seorang wali nikah:

1. Bragama islam

2. Baligh berakal

3. Merdeka

4. Dewasa

5. Punya hak ats perwalian pada penikahan

  • Adanya Mahar Dari Pengantin Pria

Syarat yang dintetukan sebagai mahar:

1. Harta yang bernilai Sesuatu yang tidak bernilai tidak bisa dijadikan sebagai mahar perkawinan

2. Bendanya suci serta memiliki manfaat

3. Barangnya milik sendiri

4. Barangnya harus jelas

  • Adanya Ijab Qabul

Asas-Asas Hukum Perkawinan 

  • Menurut UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Menurut undang-undang, perkawinan hanya sah jika dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing dan harus didaftarkan menurut peraturan yang berlaku. Mencatat perkawinan sama pentingnya dengan mencatat peristiwa-peristiwa penting lainnya dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran dan kematian yang dicatat dalam akta resmi. Tujuan utama pernikahan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan langgeng. Oleh karena itu, suami istri harus saling membantu dan melengkapi untuk mencapai kesejahteraan lahir dan batin.

  • Menurut Kompilasi Hukum Islam

1. Prinsip kesepakatan

Pernikahan harus berdasarkan persetujuan calon pengantin. Perjanjian tersebut dapat berbentuk pernyataan tertulis atau lisan atau isyarat yang jelas dan dapat dimengerti. Sebelum perkawinan dilangsungkan, pemohon harus meminta izin kepada calon pengantin di hadapan dua orang saksi perkawinan. Apabila salah satu calon pengantin tidak sepakat maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan.

2. Prinsip kemitraan sumi istri

Inilah asas kekerabatan atau persamaan hak, kepentingan dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Suami adalah kepala keluarga, istri adalah kepala keluarga, bertanggung jawab mengatur pekerjaan rumah.

3. Asas kebersamaan

Pasal 2 KHI merupakan kesatuan yang sangat ketat dalam melaksanakan ibadah sesuai perintah Allah.

4. Asas kepastian hukum

Pasal 5 s/d 10 Kumpulan Hukum Islam. Perkawinan harus didaftarkan dan dirayakan oleh petugas pencatatan perkawinan. Pernikahan Isbath di Pengadilan Agama. Putusnya perkawinan karena perceraian dicatat dengan putusan pengadilan.

Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan Dalam Fiqh Islam

Al-Jaziry menganggap pernikahan Fasid adalah pernikahan yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Sedangkan nikah batil akan terjadi jika rukun nikah tidak terpenuhi. Status hukum yang dihasilkan menjadi tidak sah.

Ketentuan nikah al-fasid dan nikah al-batil dalam UU Perkawinan bukan dimaksudkan untuk mencegah perkawinan melainkan untuk membatalkannya. Sedangkan pencegahan hanya dapat dilakukan sebelum perkawinan, dan pembatalan hanya dapat dilakukan apabila perkawinan telah terlanjur dilangsungkan dan melanggar rukun dan syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan hukum agama.

Beberapa ulama mewajibkan perkawinan dilangsungkan dengan sepengetahuan wali dan orang yang menikahkan, maka mereka harus sepakat. Oleh karena itu, wali dan calon mempelai berhak meminta untuk dicegahnya perkawinan tersebut dengan syarat menolak atau belum menemukan titik temu mengenai masalah kafa'ah dan mahar. Namun, jika kedua belah pihak masih belum bisa mencapai kata sepakat mengenai masalah tersebut, maka masalah tersebut harus diputuskan oleh hakim agama.

Prosedur Pencegahan Perkawinan dan Pencabutannya

Untuk mengajukan permohonan pencegahan perkawinan, wajib mendaftarkan diri pada pengadilan di lingkungan hukum tempat perkawinan itu dilaksanakan. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 17 Ayat 1 Undang-undang Perkawinan: "pencegahan perkawinan merupakan kewenangan pengadilan tempat perkawinan itu dilangsungkan dan memberitahukan kepada lembaga pencatatan perkawinan. Ayat 2: "Calon pengantin baru diberitahukan oleh lembaga pencatatan perkawinan mengenai permohonan untuk mencegah perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 pasal ini." Pernikahan tidak dapat dilangsungkan jika tindakan pencegahan tidak dicabut. Keputusan pencabutan pencegahan perkawinan hanya dapat diambil setelah ada keputusan pengadilan agama atau pihak yang mengajukan permohonan untuk mencabut permohonan pencegahan perkawinan.

Pembatalan Perkawinan

Masalah perkawinan selain menimbulkan perceraian, rentan juga dengan pembatalan atas suatu perkawinan. Dari segi hukum, pembatalan perkawinan mempunyai dasar hukum yang kuat pada Pasal 22 UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan bahwa "perkawinan dapat batal apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan".

Dalam UU Perkawinan ditentukan bahwa perkawinan hanya dapat berakhir atau putus karena 3 (tiga) hal yaitu:

  • Kematian
  • Perceraian
  • Berdasarkan putusan pengadilan

Perkawinan yang putus karena putusan pengadilan terjadi apabila salah satu pihak menggugat atau mengajukan cerai dan/atau pembatalan.

Alasan-alasan permohonan pembatalan perkawinan Menurut Pasal 71 Kitab Undang-undang Islam suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

  • Suami melakukan poligami tanpa izin pengadilan agama
  • Wanita yang dinikahinya ternyata adalah istri dari pria lain yang hilang
  • Wanita yang dinikahinya kebetulan masih berada di waktu masa iddah
  • Perkawinan melanggar batasan-batasan umum mengenai perkawinan yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
  • Perkawinan tersebut dilakukan tanpa wali atau dilakukan oleh wali yang tidak behak
  • Pernikahan diatur dengan paksaan

Tahapan Pembatalan Perkawinan Sebagai Berikut:

  • Pengajuan gugatan
  • Pihak yang menghendaki pembatalan perkawinan mempunyai hak untuk mengajukan permohonan kepengadilan.
  • Pemanggilan

Panggilan pengadilan kepada para pihak atau wakilnya selalu dikeluarkan sebagai bagian dari persidangan. Pemanggilan dilakukan oleh juru sita PN dan PA oleh petugas yang ditunjuk oleh ketua pengadilan agama. Panggilan tersebut harus disampaikan kepada pihak yang bersangkutan.

  • Persidangan

Pengadilan akan menyelenggarakan sidang untuk mempertimbangkan permohonan pembatalan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah menerima permohonan pegawai negeri sipil pada badan publik. Dalam menetapkan tanggal sidang, sangat penting untuk memperhatikan waktu antara somasi dan diterimanya somasi. Khusus dalam rangka persidangan dimana terdakwa berdomisili di luar negeri, persidangan dijadwalkan paling lambat 6 (enam) bulan setelah diajukannya permohonan pembatalan perkawinan

  • Perdamaian

Sebelumnya dan sampai perselisihan tersebut terselesaikan, pengadilan harus berupaya untuk mendamaikan pihak-pihak yang berkonflik. Apabila tercapai kesepakatan, maka tidak dapat diajukan gugatan baru pembatalan perkawinan karena sebab-sebab yang sudah ada sebelum musyawarah dan diketahui pemohon pada waktu musyawarah.

  • Keputusan

Sekalipun sidang pembatalan dilakukan secara tertutup, pengumuman keputusan harus dilakukan pada sidang umum. Putusnya suatu perkawinan dimulai pada saat keputusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan mulai berlaku pada saat perkawinan itu dilangsungkan.

Sebab Putusnya Perkawinan

Dalam Islam, ada beberapa alasan mengapa setiap pasangan dapat memutuskan ikatan perkawinan di antara mereka, yang berarti hubungan tersebut dapat putus dan berakhir karena beberapa alasan. Penting untuk memahami proses berakhirnya suatu hubungan perkawinan karena berakhirnya suatu perkawinan akan mempunyai akibat yang berbeda-beda. Konsekuensi tersebut adalah membolehkan atau melarang mantan suami istri yang ingin melanjutkan hubungan perkawinan yang terputus karena perceraian. Alasan perceraian dalam Islam adalah sebagai berikut:

  • Khulu

Para Fuqaha sepakat untuk mengartikan khulu' dalam pengertian umum, yaitu perceraian dengan sejumlah harta harta sebagai 'iwadh yang diberikan istri kepada suami sebagai penebusan agar ia terbebas dari ikatan perkawinan. Imam Syafi'i, Abu Hanifah dan sebagian besar ahli ilmu pengetahuan berpendapat bahwa khulu' sah dilakukan oleh seorang wanita, meskipun dia tidak dalam keadaan nusyuz. Artinya, khulu' sah dilakukan atas persetujuan kedua pasangan. Keadaan perceraian karena khulu' termasuk talaq bain bagi istri, sehingga ketika suami bersedia mengembalikan ganti rugi yang diterimanya, ia tetap tidak berhak merujuk istrinya. Keduanya hanya dapat bersatu kembali dengan cara menikah kembali secara rukun dan sesuai dengan syarat-syarat dalam akad nikah.

  • Zhihar

Kata zhihar merupakan ungkapan seorang suami kepada istri yang mempersamakan punggung istrinya dengan punggung ibunya.

  • Ila'

Menurut hukum Islam, ila' adalah sumpah yang diucapkan oleh suami dengan menyebut nama Tuhan atau sifat-sifat-Nya yang diperuntukan kepada istrinya agar tidak mendekati secara mutlak atau terbatas dengan sumpah tersebut. . Misalnya, sang suami berkata, "Demi Tuhan, saya tidak akan tidur dengan istri saya." Jika sang suami kemudian menyesal dan ingin memperbaiki hubungan keduanya mempunyai kewajiban untuk menebus kaffarah sumpah tersebut. Penebusan sumpah saat ila' adalah memberi makan 10 orang miskin, atau membebaskan seorang budak dan jika dia tidak dapat melakukan salah satu dari ketiganya, maka penebusannya adalah dengan berpuasa selama tiga hari berturut-turut.

  • Li'an

li'an adalah sumpah yang diucapkan seorang suami kepada istrinya ketika ia menuduh istrinya berzina, ia bersumpah sebanyak empat kali, termasuk yang benar tuduhannya.

  • Syiqaq

Dalam terminologi Syiqaq, fiqh berarti perselisihan antara suami dan istri yang harus didamaikan oleh dua orang mediator, satu untuk suami dan satu lagi untuk istri. Status perceraian akibat perkara syiqaq adalah ba'in, artinya suami tidak bisa lagi merujuk pada istrinya. Jika keduanya ingin bersatu kembali, harus dilakukan melalui akad nikah baru.

Akibat Putusnya Perkawinan Dalam Masa Iddah

Muhammad al-Jaziri menjelaskan bahwa iddah adalah masa penantian seorang wanita yang tidak hanya didasarkan pada siklus menstruasinya atau kesuciannya tetapi jugavmasa melahirkan dan pada masa tersebut wanita dilarang menikah dengan laki-laki. Menurut mazhab Syafi'iyyah, masa menunggu adalah masa penantian yang di dalamnya seorang wanita harus mengetahui apakah dirinya hamil dari suaminya atau tidak. Hukum Islam juga mengidentifikasi tiga larangan yang tidak boleh dilanggar oleh perempuan selama iddah. Ketiga larangan tersebut tidak berlaku lagi setelah masa iddah berakhir. Tiga larangan tersebut adalah :

  • Menikah dengan laki-laki lain haram.
  • Meminang dengan sindiran kepada seorang wanita dalam iddahnya (haram), sekalipun kata sindiran itu datangnya dari pihak wanita serta pria lainnya. Namun perlu diingat ketentuan ini hanya berlaku bagi wanita yang menjalani Iddah karena perceraian atau fasakh dan bukan karena kematian suaminya.
  • Tidak diperbolehkan keluar rumah kecuali untuk alasan mendesak seperti membeli kebutuhan atau obat-obatan.

Ada pula dua macam iddah karena kematian dan perceraian. Iddah karena perceraian. Iddah perceraian ada dua jenis yang masing-masing mempunyai hukum tersendiri. Yang pertama adalah perempuan yang bercerai dan belum disentuh oleh suaminya. Dalam hal ini, ia tidak diwajibkan menjalani masa iddah. Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-Ahzab 49. Iddah karena kematian. Dalam hal ini, timbul dua kemungkinan, yaitu; seorang wanita yang ditinggal suaminya dalam kondisi tidak hamil. Masa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari baik dalam kondisi berhubungan sebelum atau sesudah suaminya meninggal.

Kekuasaan Orang Tua Terhadap Anak

Dalam konteks Indonesia, kewenangan orang tua dalam hukum Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang merupakan salah satu ketentuan yang mengatur hukum perdata Islam di Indonesia. Meskipun KHI bukanlah satu undang-undang yang mengatur seluruh hak orang tua, namun KHI memuat sejumlah ketentuan terkait dengan orang tua. Berikut beberapa poin terkait hak orang tua:

  • Wali: KHI mengatur tentang wali yang bertugas melindungi kepentingan anak di bawah umur (anak di bawah umur) atau yang belum mampu secara hukum.
  • Perwalian: KHI juga mengatur tentang perwalian, yaitu hak orang tua atau wali untuk mengambil keputusan mengenai anak di bawah umur atau yang belum mampu secara hukum. Perwalian mencakup tanggung jawab atas dukungan, pendidikan, perawatan dan perlindungan anak.
  • Hak asuh: Meski KHI tidak mengatur secara spesifik tentang hak asuh, namun konsepnya berdasarkan ajaran Islam.

Dalam Islam, kendali orang tua terhadap anak tetap ada setelah perceraian, namun situasinya dapat bervariasi tergantung pada faktor-faktor seperti usia anak dan keputusan hak asuh. Berikut yang dapat terjadi setelah perceraian atas wewenang orang tua dengan anak:

  • Hak asuh bersama: Mereka harus bekerja sama mengambil keputusan yang berkaitan dengan anak, seperti pendidikan, kesehatan, dan agama. Anak tersebut dapat tinggal bersama kedua orang tuanya secara bergiliran.
  • Hak asuh tunggal: dalam beberapa kasus, hak asuh tunggal dapat diberikan kepada orang tua lainnya, biasanya ibu, jika hal tersebut dianggap demi kepentingan terbaik anak. Dalam hal ini orang tua yang mendapat hak asuh tunggal mempunyai hak dasar untuk memutuskan dan mengasuh anak.

Pada dasarnya dalam Islam tujuan utama penentuan kewenangan orang tua setelah perceraian adalah untuk kepentingan terbaik bagi anak. Pengadilan Islam atau otoritas lain yang berwenang mempertimbangkan keadaan individu dan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan tersebut.

Perwalian

Secara etimologis perwalian berasal dari kata "wali" yang berarti menolong yang mencintai. Dalam fiqih Islam disebut dengan "al-walayah" atau seseorang yang menjaga/mengurus harta benda dan melindungi orang-orang yang belum mampu berbuat hukum. Al-walayah disebut juga wali yang berhak menikahi seorang wanita. Dalam hukum Islam, orang tua bertanggung jawab atas perwalian anak-anaknya, baik mengasuh anak sejak masih bayi maupun ketika sudah cukup umur.

Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ayat (3) Pasal 330 menyatakan bahwa :

"mereka yang belum dewasa dan tidak berasa dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini." 

  • Ketentuan Perwalian Menurut KUHPerdata

Asas yang tidak dapat dibagi

Pasal 331 KUH Perdata mengatur bahwa hanya mempunyai satu orang wali dalam setiap perwalian, kecuali:

1. Bila perwalian ada pada ibu dan kemudian ia kawin lagi, suaminya juga menjadi wali. (pasal 351 KUHPerdata)

2. Apabila anak tersebut berada di Indonesia namun mempunyai harta  di luar Indonesia, maka atas permintaan akan ditunjuk perwakilan administrasi untuk menjaga harta tersebut. (Pasal 361 KUH Perdata).

  • Asas persetujuan keluarga Pasal 524 KUH Perdata mengatur bahwa perwalian harus dengan persetujuan keluarga. Jika keluarga tidak ada, persetujuan tersebut tidak diperlukan dan kalau ada pemanggilan tapi pihak keluarga tidak datang, bisa dituntut.
  • Syarat-Syarat Perwalian

Berdasarkan ayat (1) UU Perkawinan, Pasal 50 Tahun 1974 mengatur bahwa syarat-syarat untuk memperoleh perwalian adalah sebagai berikut:

1. Anak-anak yang belum dewasa atau anak-anak di bawah usia 18 Tahun

2. Anak-anak yang belum kawin

3. Anak tersebut tidak berada di bawah kendali orang tuanya

4. Anak tersebut tidak berada di bawah kekuasaan wali

5. Perwalian meliputi perlindungan terhadap anak dan harta benda anak.

Pasal 51 UU Perkawinan mengatur bahwa perwalian terjadi jika:

1. Sebelum orang tua anak tersebut meninggal, telah menunjuk seseorang sebagai wali anak tersebut dalam bentuk wasiat (surat) atau secara lisan di hadapan dari dua orang saksi.

2. Wali berasal dari anggota keluarga anak itu atau orang lain yang sudah dewasa berakal, jujur, adil dan berakhlak baik.

  • Kewajiban Wali dan Orang Yang Dapat Ditunjuk Sebagai Wali

Menurut Pasal 51 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur :

1. Wajib mengurus dan melindungi anak-anak yang dikuasainya dan harta bendanya dengan menghormati keyakinannya.

2. Wali wajib mendaftarkan harta benda anak yang dirasanya berada dalam penguasaannya sejak ia diberikan perwalian dan mencatatkan segala perubahan atas harta milik anak tersebut. Wali bertanggung jawab atas harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya, baik atas keuntungannya maupun atas kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian wali itu.

Yang dapat diangkat menjadi wali adalah sebagai berikut :

1. Pasal 345 KUH Perdata mengatur, bila salah satu orang tua anak meninggal dunia, maka perwalian diserahkan kepada orang tua yang hidup lebih lama bagi anak yang belum dewasa. Namun jika ayah anak tersebut meninggal dunia setelah perceraian (hak asuh jatuh ke tangan ayah), maka ibu dapat menjadi wali anak tersebut.

2. Perwalian yang diperoleh berdasarkan wasiat atau akta. KUHPerdata Pasal (1) Pasal 355 menjelaskan bahwa orang tua berhak mengangkat wali bagi anaknya.

3. Perwalian yang ditunjuk oleh hakim. Anak di bawah umur tidak dalam pengawasan orang tua dan belum mendapat wali yang sah, maka pengadilan dapat menunjuk wali bagi anak tersebut. (Pasal 359 KUHPerdata)

Kedudukan Anak Dalam Pekawinan

Tujuan perkawinan seorang laki-laki dengan seorang perempuan atau lebih pada hakikatnya adalah untuk membangun rumah baru dan keluarga baru yang kekal, harmonis atas dasar kasih sayang dan cinta secara materi dan semangat untuk mempunyai anak untuk menjadikan generasi penerus. Salah satu kewajiban  orang tua terhadap anaknya adalah menjamin hak anak untuk diasuh, dilindungi, dan diberikan pendidikan yang optimal sebagai hak yang wajib diterima anak dari orang tuanya. Situasi anak dapat dipahami dari berbagai sudut pandang agama, ekonomi, sosiologi dan hukum. Masing-masing perspektif tersebut menimbulkan pemaknaan yang berbeda-beda mengenai peran, kedudukan, status, fungsi, tujuan, hak dan kewajiban anak. Sebagaimana dipahami dalam keagaaman bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk beribadah dan berbakti kepada Penciptanya, kepada orang tuanya serta kepada bangsa dan negara. Keadaan seorang anak menurut hukum dapat dinilai dari tempat kelahirannya, apakah ia menikah secara sah, atau semata-mata berdasarkan agama atau kepercayaannya. Menurut hukum positif, anak sah adalah anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan atau setelah perkawinan yang sah menurut hukum positif. Hukum islam, menganggap seorang anak yang sah adalah apabila anak itu mempunyai hubungan darah atau keturunan dengan bapaknya bila pada waktu perkawinan perempuan itu hamil pada usia masa kehamilannya kurang dari 6 (enam) bulan dihitung saat sahnya perkawinan.

Conclusion

Pernikahan adalah sunnatullah, yang mengacu pada perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, dan bukan hanya keinginan manusia karena pasangan menikah telah mematuhi beberapa aturan islam. Pernikahan adalah langkah pertama untuk membangun sebuah keluarga dalam islam. Menurut Hukum Islam, apapun bentuk dan model perkawinan, sepanjang telah memenuhi rukun dan syaratnya maka perkawinan itu dianggap sah.

Sebagaimana yang tertulis pada Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 dalam pasal 1 menyatakan " Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berikutnya dijelaskan pada pasal 2 ayat 2 yang menyatakan "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku".

Sebelum melalukan suatu perkawinan ada beberapa syarat yang harus terpenuhi, apabila dari salah satu syarat tidak terpenuhi, maka perkawinan tersebut dianggap batal dan tidak sah. Oleh karena, itu sangatlah penting untuk mengetahui apa saja syarat yang harus diketahui dalam perkawinan. Berikut syarat-syarat perkawinan menurut syariat islam yaitu :

  • Adanya kedua calon pengantin (laki-laki dan perempuan)
  • Terdapat kedua orang saksi
  • Adanya wali nikah
  • Adanya mahar dari pihak laki-laki
  • Ijab dan qabul

Bibliography

Asman, dkk. 2023. Hukum Perkawinan Islam Indonesia. Yogyakarta : PT Penamuda Media

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun