Pada dasarnya dalam Islam tujuan utama penentuan kewenangan orang tua setelah perceraian adalah untuk kepentingan terbaik bagi anak. Pengadilan Islam atau otoritas lain yang berwenang mempertimbangkan keadaan individu dan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan tersebut.
Perwalian
Secara etimologis perwalian berasal dari kata "wali" yang berarti menolong yang mencintai. Dalam fiqih Islam disebut dengan "al-walayah" atau seseorang yang menjaga/mengurus harta benda dan melindungi orang-orang yang belum mampu berbuat hukum. Al-walayah disebut juga wali yang berhak menikahi seorang wanita. Dalam hukum Islam, orang tua bertanggung jawab atas perwalian anak-anaknya, baik mengasuh anak sejak masih bayi maupun ketika sudah cukup umur.
Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ayat (3) Pasal 330 menyatakan bahwa :
"mereka yang belum dewasa dan tidak berasa dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima dan keenam bab ini."Â
- Ketentuan Perwalian Menurut KUHPerdata
Asas yang tidak dapat dibagi
Pasal 331 KUH Perdata mengatur bahwa hanya mempunyai satu orang wali dalam setiap perwalian, kecuali:
1. Bila perwalian ada pada ibu dan kemudian ia kawin lagi, suaminya juga menjadi wali. (pasal 351 KUHPerdata)
2. Apabila anak tersebut berada di Indonesia namun mempunyai harta  di luar Indonesia, maka atas permintaan akan ditunjuk perwakilan administrasi untuk menjaga harta tersebut. (Pasal 361 KUH Perdata).
- Asas persetujuan keluarga Pasal 524 KUH Perdata mengatur bahwa perwalian harus dengan persetujuan keluarga. Jika keluarga tidak ada, persetujuan tersebut tidak diperlukan dan kalau ada pemanggilan tapi pihak keluarga tidak datang, bisa dituntut.
- Syarat-Syarat Perwalian
Berdasarkan ayat (1) UU Perkawinan, Pasal 50 Tahun 1974 mengatur bahwa syarat-syarat untuk memperoleh perwalian adalah sebagai berikut:
1. Anak-anak yang belum dewasa atau anak-anak di bawah usia 18 Tahun