Indonesia adalah negara kepulauan ragam budaya dan bahasa, hampir di setiap daerah memiliki bahasa dan kebudayaan yang berbeda. Kebudayaan tersebut menjadi ciri khas dari setiap daerah yang ada di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri lagi, kebudayaan dari setiap daerah mampu menjadi identitas, daya tarik dan kekayaan dari setiap daerah tersebut. Untuk dapat melestarikan budaya atau kebudayaan, kita harus mampu mempertahankan dan melestarikan kebudayaan yang ada. Karena negara yang besar adalah negara yang menghargai budayanya. Namun, sebelum itu kita juga harus mengerti apa dan bagaimana budaya itu, serta asal muasal kata budaya. Budaya atau kebudayaan sebagaimana istilah ini digunakan dalam antopologi, tentunya tidaklah berarti pengembangan di bidang seni dan keagungan sosial. Budaya lebih diartikan sebagai himpunan pengalaman yang dipelajari.
Setelah kita mengetahui apa dan bagaimana budaya itu, serta asal muasal kata budaya. Selanjutnya adalah kita harus mengetahui apa saja budaya yang ada di daerah kita, misalnya adalah budaya dari daerah Lodoyo, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar yang memiliki budaya Siraman Gong Kyai Pradah yang dilaksanakan setahun sekali pada 12 Rabiul Awal.
Apabila diitinjau dari asal katanya, kata siraman berasal dari Bahasa Jawa yaitu kata siram berarti mengguyur dengan air. Dalam bahasa Indonesia, kata siram berarti mandi. Sedangkan dalam konteks ini kata siraman diartikan sebagai upacara memandikan pusaka. Kyai Pradah adalah sebutan sebuah gong yang dikeramatkan oleh masyarakat Lodoyo sebagai benda pusaka. Gong sendiri merupakan alat musik asli Jawa yang biasanya digunakan bersamaan dengan kenong dan alat musik asli Jawa lainnya untuk mengiringi tari-tarian khas Jawa dalam acara-acara adat, acara-acara keagamaan, maupun ritual-ritual. Jadi yang dimaksud dengan Siraman Kyai Pradah adalah kegiatan memandikan benda pusaka berupa sebuah gong dengan menggunakan air kembang setaman.
ØSejarah adanya Siraman Gong Kyai Pradah
Siraman Gong Kyai Pradah merupakan kebudayaan asli dari Lodoyo, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar.Menurut cerita, Gong Kyai Pradah adalah sebuah senjata milik seorang Prabu bernama Kyai Bicak dari Kerajaan Mataram Surakarta. Beliau dihukum oleh ayahnya Sri Paku Buwono I. Saat Pangeran Prabu datang ke Lodoyo, Lodoyo masih berupa hutan lebat dan angker atau dalam Bahasa Jawa disebut wingit, Bahkan di hutan tersebut juga terdapat banyak hewan buas. Sehingga untuk melindungi perjalanan tersebut Pangeran Prabu membawa salah satu pusaka kerajaan yang berupa gong. Dengan memukul gong sebanyak tujuh kali hewan buas dan keangkeran hutan tersebut dapat ditaklukkan. Dan gong itulah yang saat ini disebut dengan Gong Kyai Pradah.
Gong Kyai Pradah hingga saat ini dipercaya dapat menjaga keselamatan dan kemakmuran desa-desa yang ada di Kecamatan Sutojayan. Sebelum Pangeran Prabu meninggal dunia, Pangeran Prabu berpesan kepada istri keduanya agar senjata pusaka Gong ini dijadikan pelindung untuk warga Lodoyo dari segala bentuk bahaya dan harus dijaga kebersihannya dari segala macam kotoran serta memandikannya setiap 12 Rabiul Awal pada penanggalan Hijriyah. Mulai saat itulah tradisi siraman ini berlangsung. Gong Kyai Pradah dimandikan setiap tanggal 12 Rabil Awal dengan menggunakan bunga tujuh rupa yang diletakkan pada tujuh tempayan atau cawan yang berbeda. Untuk tetap menjalankan amanat dari Kyai Bicak atau Pangeran Prabu, hingga saat ini ritual Siraman Gong Kyai Pradah tetap dilangsungkan. Namun, ritual tersebut dilaksanakan tidak tepat pada 12 Rabiul Awal, terkadang ritual siraman tersebut dilaksanakan sehari setelah atau sebelum 12 Rabiul Awal.
ØProsesi Siraman Gong Kyai Pradah
Indonesia adalah negara kepulauan ragam budaya dan bahasa, hampir di setiap daerah memiliki bahasa dan kebudayaan yang berbeda. Salah satunya adalah Pulau Jawa yang memiliki banyak kebudayaan dan bahasa serta ritual-ritual keagamaan, sebagai contohnya adalah kebudayaan Siraman Gong Kyai Pradah yang hingga saat ini masih dilestarikan. Siraman Gong Kyai Pradah adalah acara rutinan atau kebudayaan dari Kabupaten Blitar yang dilaksanakan di Lodoyo, Kecamatan Sutojayan. Kebudayaan yang sudah lama keberadaannya ini masih dilestarikan hingga sekarang. Hanya saja terkadang acara ini tidak dilaksanakan tepat pada hari yang telah diamanatkan oleh Sang Pangeran Prabu.
Malam sebelum prosesi Siraman Gong Kyai Pradah digelar, warga Lodoyo menggelar acara do`a bersama, doa`a-do`a tersebut ditujukan untuk keselamatan warga Lodoyo. Pada keesokan harinya, persiapan ritual Siraman Gong Kyai Pradah sudah diawali sejak pagi. Sebelum ritual Siraman Gong Kyai Pradah diawali dahulu prosesi penguburan kepala kambing. Penguburan kepala kambing di sebuah bangunan dengan ukuran 2x2 meter. Penguburan kepala kambing ini dibarengi dengan pemberangkatan sesaji dari sanggar (tempat Gong Kyai Pradah disimpan) ke tempat petilasan munculnya Pusaka Gong Kyai Pradah, di Desa Kedung Bunder, Dukuh Dadapan, Kecamatan Sutojayan dengan diiringi prajurit dan putri-putri yang telah dibentuk oleh panitia pelaksanaan Siraman Gong Kyai Pradah, dengan memakai pakaian kejawen (pakaian adat jawa). Selanjutnya sesaji-sesaji yang sengaja dibawa oleh warga sekitar pun diserahkan oleh juru kunci kepada muspika atau penjaga tempat penanaman kepala kambing tersebut.
Setelah acara serah terima sesaji usai, semua muspika, prajurit dan putri-putri yang telah dibentuk oleh panitia pelaksanaan siraman Gong Kyai Pradah, dengan memakai pakaian kejawen membawa kembali Gong Kyai Pradah ke tempat siraman, yaitu tempat permanen seperti panggung setinggi tiga meter dengan luas kira-kira sepuluh meter persegi. Tempat siraman tersebut terletak di alun-alun Lodoyo, masih satu area dengan sanggar penyimpanan Gong Kyai Pradah dan kantor kecamatan Sutojayan.
Acara siraman ini merupakan acara pokok dari semua acara yang ada, pertama-tama semua muspika menuju ke sanggar tempat disemayamkan pusaka Gong Kyai Pradah. Selanjutnya dengan digendong oleh juru kunci, gong diarak mengelilingi alun-alun dengan diiringi Bupati beserta perangkatnya, semua muspika, prajurit dan putri-putri yang berpakaian kejawen sebelum dibawa naik ke tempat siraman. Setelah acara arak-arakkan tersebut usai dan Gong Kyai Pradah dibawa naik ke tempat siraman, Gong Kyai pradah dilepaskan dari gendongan juru kunci dan digantungkan di tempat yang telas disediakan. Di bawah Gong Kyai Pradah tersebut disiapkan tempayan besar yang nantinya akan menampung air bekas memandikan Gong Kyai Pradah.
Sebelum Gong Kyai Pradah dimandikan, terlebih dahulu dibacakan sejarah dari Gong Kyai Pradah oleh petugas yang telah ditunjuk. Selanjutnya, Bupati Blitar atau perwakilannya menabuh Gong Kyai Pradah sebanyak tujuh kali. Setiap kali mepabuh, Bapak Bupati bertanya, “Kados pundi suantenipun?” dijawab para pengunjung “sae”, yang dalam bahasa Indonesianya, “Bagaimana suaranya?” dijawab “bagus” .
Gong Kyai Pradah dimandikan oleh Bupati Blitar, juru kunci dan petugas yang terkait dengan air yang didalamnya terdapat bunga tujuh rupa yang diletakkan di tujuh tempayan. Selanjutnya adalah pembungkusan Gong Kyai Pradah yang dilakukan oleh juru kunci Gong Kyai Pradah. Dan Gong Kyai Pradah digendong kembali oleh juru kunci, dibawa menuju sanggar penyimpanan yang tidak jauh dari panggung tempat siraman. Setelah Gong Kyai Pradah disimpan, Bupati Blitar dan muspika yang bertugas menyiramkankan air bekas memandikan Gong Kyai Pradah ke arah penonton.
Acara inilah yang telah ditunggu-tunggu oleh ribuan warga yang sudah menunggu acara Siraman Gong Kyai Pradah ini. Bahkan tidak hanya warga sekitar yang sengaja datang untuk menyaksikan ritual siraman ini, namun juga banyak warga dari daerah lain yang sengaja datang untuk menyaksikan ritual Siraman Gong Kyai Pradah ini. Warga dari daerah lain ini bahkan mereka rela datang sehari sebelum acara prosesi Siraman Gong Kyai Pradah ini diselenggarakan. Mereka beranggapan, apabila datang lebih awal mereka bisa menyetuh langsung Gong Kyai Pradah saat diarak keliling alun-alun dan peluang untuk mendapatkan air bekas serta perangkat lain yang digunakan untuuk memandikan Gong Kyai Pradah lebih besar. Konon katanya air bekas dan semua perangkat yang digunakan untuk memandikan Gong Kyai Pradah dipercaya warga dapat membuat awet muda dan dapat menyebuhkan penyakit. Selain itu banyak warga yang mempercayai, apabila menyimpan bunga tujuh rupa yang digunakan untuk memandikan Gong Kyai Pradah dapat memberikan rejeki untuk keluarganya.
Salah satu warga yang mempercayai hal tersebut adalah Nurul, 35 tahun warga Kedung Bunder, Kecamatan Sutojayan yang selalu menyaksikan acara Siraman Gong Kyai Pradah ini.
“Punopo mbak panjenengan kok musti ningali acara siraman Gong Kyai Pradah?”
Dalam Bahasa Indonesia, “Kenapa mbak, kamu selalu melihat acara siraman Gong Kyai Pradah?”
“Amargi acarane namung wonten setunggal tahun sepindah dek, acarane nggih rame. Anak-anak kula nggih ngejak ningali”, ungkap Nurul.
Dalam Bahasa Indonesia, “Karena acaranya hanya ada setahun sekali dek, acaranya juga rame. Anak-anak saya juga mengajak.”
“Nopo namung niku mbak ingkang dados alasan panjenengan ningali acara niku?”
Dalam Bahasa Indonesia, “Apa Cuma itu mbak yang jadi alasan kamu melihat acara itu?”
“Sakjane nggih mboten dek.”, ungkap Nurul.
Dalam Bahasa Indonesia, “Sebenarnya tidak dek.”
“Lha terus nopo mbak alasan lintune?”
Dalam Bahasa Indonesia, “Lalu apa mbak alasan lainnya?”
“Kula pados tuyo lan nopo-nopo piranti tilas siraman Gong Kyai Pradah niki, amargi tirose niku tuyo lan sedoyo piranti tilas siraman Gong Kyai Pradah niki saget damel obat lan tentrem`e keluarga.”, ungkap Nurul.
Dalam Bahasa Indonesia, “Saya mencari air dan apa-apa alat bekas siraman Gong Kyai Pradah ini, sebab katanya air dan semua alat bekas siraman Gong Kyai pradah ini bisa dipakai untuk obat dan ketentraman keluarga.”
Selain acara Siraman Gong Kyai Pradah, sebulan sebelumnya alun-alun Lodoyo sudah ramai oleh warga, sebab di alun-alun ini diadakan pasar malam untuk menyambut acara Siraman Gong Kyai Pradah. Tidak hanya usai pada siraman Gong Kyai pradah, malam setelah acara Siraman Gong Kyai Pradah diadakan acara pewayangan semalam suntuk. Pewayangan tersebut menceritakan sejarah Gong Kyai Pradah dan dilaksanakan di pendopo alun-alun dekat sanggar dan tempat Siraman Gong Kyai Pradah.
Dahulu acara rutinan Siraman Gong Kyai Pradah ini sempat tidak dilaksanakan. Alhasil Gong Kyai Pradah pun menghilang dari sanggar penyimpanan dan warga Lodoyo terjangkit penyakit aneh. Setelah para muspika, juru kunci dan para warga mencarinya akhirnya Gong Kyai Pradah ditemukan. Gong Kyai Pradah ditemukan di tempat petilasannya, yaitu di tempat dimana kepala kambing yang biasadipendam. Seperti tutur Pak Wahyu, 40 tahun warga desa Kedung Bunder.
“Biyen ki tau nggak ngenekne acara siraman (Gong Kyai Pradah), tapi ki Gong Kyai Pradah moro-moro ilang, wong-wong iyo akeh seng kenek penyakit aneh. Akeh seng percoyo lek kui goro-goro Gong Kyai Pradah ora di dus.”
Dalam Bahasa Indonesia, “Dulu itu pernah tidak mengadakan acara siraman, tetapi Gong Kyai Pradah tiba-tiba menghilang, orang-orang banyak yang terkena penyakit aneh. Banyak warga yang percaya itu gara-gara Gong Kyai Pradah tidak dimandikan.”
Setelah kejadian itu akhirnya hingga kini warga dan pejabat setempat melaksanakan acara rutin Siraman Gong Kyai Pradah walaupun tidak tepat pada tanggal 12 Rabiul Awal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H