Mohon tunggu...
Dita Permatasari
Dita Permatasari Mohon Tunggu... -

Mahasiswi jurusan pendidikan dokter suatu universitas di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

How I Miss O-Level and Hate National Exam!

19 April 2013   22:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:55 2030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mumpung topik UN lagi panas, saya mau share sedikit pengalaman ujian SMA. Mungkin akan berbau ngebanding-bandingin tapi I just mean to tell you what’s inside my mind.

Saya alumni dari suatu SMA yang saat itu merupakan RSBI. Saat kelas 1 dan 2, saya dan teman-teman sekelas fokus mempelajari kurikulum luar negeri dan mempersiapkan diri mengikuti IGCSE (setara O-Level, targetnya pelajar usia 14-16 tahun), AS-Level, dan A-2 Level (FYI, sertifikat A-Level bisa diperoleh melalui 1x ujian yaitu A-Level saja atau 2x ujian, yaitu AS-Level, dan A-2 Level; targetnya pelajar usia 17-19 tahun alias pre-university). Memasuki kelas 3, saya dan teman-teman mengejar kurikulum nasional dan mulai belajar untuk UN dan berbagai tes masuk perguruan tinggi.

Ujian IGCSE dan A-Level menyediakan cukup banyak kebebasan:

1.Kebebasan pertama adalah waktu ujian yang akan diikuti. Dalam 1 tahun, ada 2x periode ujian, summer atau winter. Calon peserta ujian boleh memilih mau ujian pada periode yang mana. Oh iya, satu mata pelajaran biasanya terdiri dari 3 ujian dengan bentuk soal masing-masing yaitu pilihan ganda (hanya pelajaran tertentu), esai, dan praktikum.

2.Saya menemukan kebebasan kedua ketika mengikuti ujian Mathematics: Daftar rumus dilampirkan di paket ujian dan peserta diperbolehkan menggunakan kalkulator! Daftar rumus dan kalkulator ini membuat saya merasa lebih bebas berpikir dan mengeksplorasi karena tidak perlu khawatir akan lupa hafalan rumus.

3.Kebebasan ketiga adalah soal esai dan sistem penilaiannya. Pada soal esai, pertanyaannya benar-benar membuat peserta ujian berpikir kreatif. Tidak perlu takut menjawab konyol karena yang dicari penilai adalah jawaban yang benar. Jawaban salah tidak mengurangi nilai. Malah, kadang-kadang ada jawaban yang sepertinya konyol tapi ternyata benar. Pokoknya, yang penting diisi dulu. Saya bisa cukup tahu tentang penilaian esai ini karena soal ujian tahun-tahun sebelumnya dan kunci jawaban bagi penilainya mudah didapatkan di internet.

Yang saya ingat setidaknya tiga kebebasan itu.

Begitu switch ke persiapan ujian nasional dan masuk PT, saya kaget. Tiba-tiba banyak sekali yang harus dihafalkan. Ujiannya hanya berbentuk pilihan ganda, maka peserta tidak perlu berpikir kreatif untuk menjawab. Pokoknya yang penting hafal, atau setidaknya ingat jika disodori huruf pertama dan huruf terakhir dari istilah-istilah yang harusnya dihafal itu. Rumus matematika juga dihafal, tentunya.

Saya sangat setuju jika dikatakan bahwa pola pikir dan cara belajar sangat dipengaruhi oleh bentuk soal ujian. Bentuk soal ujian pilihan ganda saja, tanpa esai atau yang lainnya, akan membatasi eksplorasi pelajar. Apalagi jika bahan yang harus dihafal terlalu banyak. Analoginya adalah memberikan banyak perintah namun membatasi pendapat. Ini juga akan membuat para pelajar jadinya tidak menikmati proses belajar. Kalau sudah tidak suka belajar, tidak kreatif, apalagi ditambah hafalannya akan menguap semua seusai ujian... Ujung-ujungnya ya nggak dapat apa-apa.

Pendidikan di Indonesia harusnya mulai mencoba mengurangi formalitas dan membiarkan pelajarnya lebih bebas berpikir. Orang-orang bekerja menggunakan kalkulator, maka apa salahnya ujian matematika menggunakan kalkulator? Pada dunia kerja pun orang harus mengambil tindakan berdasarkan penalaran dan pertimbangan aspek-aspek lainnya, tindakan yang bisa dibenarkan pun seringkali tidak hanya satu macam. Oleh karena itu, pendidikan harusnya mengarahkan pelajar supaya menjadi kreatif, supaya the real problem solving skill mereka bisa lebih bagus. Berpikir kreatif juga akan lebih menyenangkan dan diharapkan pelajar yang menjalaninya bisa lebih semangat belajar.

IGCSE/O-Level/A-Level memang punya kekurangan dibandingkan ujian nasional. Misalnya, ujian-ujian luar negeri tersebut membutuhkan tenaga dan waktu yang lebih banyak untuk penilaian, tidak seperti UN yang praktis hanya perlu menggunakan komputer. Tulisan peserta yang kurang bagus dan tidak bisa terbaca oleh penilai juga bisa membuat poin batal didapat. Peserta juga mungkin menjadi kurang kuat dalam menghafal. Semua punya risks and benefits, namun risk/benefit ratio itu berbeda-beda, tergantung nilai-nilai pribadi dan masyarakat.

Ringkasan: Ada beberapa kebebasan di ujian IGCSE/O-Level/A-Level yang belum diterapkan di ujian nasional. Soal-soalnya juga berbeda, kalo IGCSE/O-Level/A-Level lebih menuntut peserta ujian mengeksplor dan berpikir kreatif, kalau ujian nasional lebih mengutamakan peserta tahu dan hafal banyak informasi. Penulis (saya) merasa sepertinya pelajar Indonesia harus mulai menerima pendidikan ke arah pemikiran kreatif daripada menghafal.

Thanks to everyone yang baca sampe habis :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun