Tangis awan yang mulai terdengar, membuat aktivitasku terhenti sementara. Tidak ada yang bisa aku lakukan jika konsentrasiku diganggu oleh kebisingan. Selain duduk tenang menatap jendela dan mulai bermain dalam ingatan.
Semuanya masih tergambar jelas, tentang rasa yang telah dibawa terjun bebas. Bahkan sampai sekarang, senyumnya masih saja membekas. Meski terlihat hanya sekali lintas.
Berawal di salah satu sudut kota pada hari Sabtu malam itu. Setelah acara makan malam reuni ditunda, aku tidak lagi memiliki agenda untuk menghabiskan waktu. Sehingga aku berakhir dengan duduk sendirian disebuah bangku usang taman kota, sambil membayangkan kebahagiaan dan keseruan yang seharusnya aku rasakan. Untuk kesekian kalinya, harapanku tidak sesuai realita.
Sudah hampir dua jam berlalu, dan selalu saja pemandangan orang-orang berkencan yang tertangkap dalam pandangan. Seakan-akan mereka ingin mengejek diriku yang sedari tadi duduk sendirian tidak ada kerjaan. Dalam dua jam itu pula, aku berharap ada seseorang yang datang. Sebagai teman menatap bintang, menikmati langit yang tidak lagi terang, dan melewati hari yang akan menghilang.
Sepertinya Tuhan mengabulkan satu-satunya harapanku yang tersisa. Suara langkah kaki tiba-tiba saja tertangkap oleh telinga. Angin malam juga tiba-tiba menjadi aroma bunga. Saat membuka mata, sosokmu berdiri tegak berbalut baju jingga.
Setelah menyebutkan sebuah nama, kita pun duduk bersebelahan. Tanpa basa-basi kau mulai melontarkan candaan. Sesekali kita saling bertukar cerita tentang apa saja, untuk mengisi malam yang semakin gulita. Hanya lewat candaan dan cerita, sosokmu tidak bisa lepas dari lensa mata.
Malam benar-benar sudah larut. Taman tidak lagi seramai tiga atau empat jam yang lalu. Waktu untuk pulang sudah terus menuntut, dan diri sendiri enggan untuk menurut. Masih berharap semua yang menyenangkan hati ini terus berlanjut.
Berbeda denganku yang masih ingin berlama-lama menghabiskan waktu, tiba-tiba saja kau berdiri sambil merentangkan tangan. Tersenyum manis saat berbalik badan, mengajakku  ke sebuah perjalanan. Kau bilang akan mengantarkanku pulang dan berjanji akan kembali bertemu saat petang, menghabiskan waktu untuk bersenang-senang. Aku mengangguk sambil tersenyum tanpa rasa sungkan. Asal besok tidak lagi menghabiskan waktu sendirian.
Dalam perjalanan kita masih saja tertawa, sesekali berlari ke tengah jalan yang tidak lagi dilintasi hilir mudik kendaraan. Belum juga sampai setengah perjalanan, tiba-tiba saja badanku terkena rintik-rintik hujan. Namun kau dengan santainya masih berjalan, seakan-akan kau tidak merasakan.
Kita berhenti di dekat sebuah ayunan. Aku pun duduk dan kau hanya berdiri di samping ayunanku. Sambil tersenyum kau pun melambaikan tangan ke arahku. Aku belum sempat membalas lambaianmu, karena angin keras tiba-tiba saja memburamkan penglihatan dan rintik-rintik hujan yang turun pun semakin lama terasa seperti guyuran.
Ketika mataku kembali terbuka, sosokmu tidak lagi terlihat. Yang kulihat hanyalah sebuah boneka dalam genggaman, serta teriakan ibu yang tiada hentinya sambil memercikkan air untuk membangunkanku.