Mohon tunggu...
Dita Ardiansyah
Dita Ardiansyah Mohon Tunggu... -

Life is never flat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akhirnya Lelaki Kecilku Hadir di Dunia...

26 Juni 2013   22:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:22 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13722604381114224031

[caption id="attachment_251503" align="aligncenter" width="604" caption="lelaki kecilku..."][/caption]

Saat itu kandunganku berusia 30 minggu. Aku melakukan pekerjaanku seperti biasa... Hari itu aku sangat bersemangat bekerja, meliput sebuah acara hingga larut, ditemani sopirku, aku pulang dini hari, kurang lebih pukul 02.00 pagi. Sampainya dirumah aku langsung merebahkan tubuhku dikasur kesayanganku. Tiba-tiba aku merasa ingin buang air kecil yang sangat tak tertahankan. Saat aku beranjak dari tempat tidur aku merasa ada yang basah di kakiku. Betapa terkejutnya aku ketika aku melihat lautan darah disekitar kamarku. Aku perdarahan, tapi sama sekali aku tidak merasakan sakit. Saat itu aku panik, tapi aku mencoba tenang. Aku bangunkan pembantuku, Aku minta dia jaga kedua anakku. Aku bermaksud menghubungi taksi untuk kerumah sakit karena sopirku tadi ijin pulang kerumahnya. Sontak pembantuku kaget melihat lautan darah dikamarku dan disepanjang jalan aku menuju kamarnya. Namun aku berusaha menenangkannya, aku bilang aku tidak apa-apa. Untuk mencegah darah agar tidak tercecer ditaksi nantinya, aku menggunakan pembalut yang sudah aku persiapkan untuk masa nifasku nanti. 30 menit kemudian... Satu armada taksi datang menjemputku. Aku merasa ada yang aneh dengan kandunganku, Aku sama sekali tidak merasakan janinku bergerak atau kontraksi seperti biasanya. Lalu aku berfikir untuk kebidan terdekat untuk mengawalku menuju rumah sakit karena aku tidak ingin terjadi sesuatu dengan janinku selama perjalanan, mengingat jarak dari rumahku kerumah sakit cukup jauh. Sesampainya di tempat praktek bidan terdekat dirumahku, aku mencoba mengetuk-ngetuk rumah bidan itu dan alhamdulillah bidan tersebut bangun. Aku ceritakan kondisiku lalu dia memintaku berbaring. Setelah bidan itu memeriksa kandunganku dia terlihat begitu cemas, karena menurut dia detak jantung janinku sangat lemah. Lalu dia menyuruh taksi itu pergi, tentu saja sebelumnya bidan itu membayar ongkos taksinya. Kemudian dia memasangkan selang infus ketubuhku, lalu suaminya menyiapkan mobilnya untuk segera mengantarkanku kerumah sakit secepatnya. Sungguh baik bidan itu. Namanya bidan Ani. Padahal sama sekali aku belum pernah periksa ke bidan itu. Aku bukanlah pasiennya. Benar-benar bidan siaga. Selama perjalanan aku merasa tubuhku ringan, seperti mau pingsan, kesadaranku hampir hilang. Bidan Ani berusaha mengajakku bercerita, bercanda, dan melakukan gurauan-gurauan agar kesadaranku gak hilang. Aku sendirian malam itu, tapi bidan Ani dan suaminya setia mendampingiku. Sesampainya dirumah sakit besar dikotaku, dengan sigap bidan Ani langsung meminta bantuan petugas rumah sakit dan membawaku ke ruang Unit Gawat Darurat. Sesampainya diUGD para perawat bilang ruangan penuh, aku diminta untuk pindah rumah sakit saja. Sontak bidan Ani marah-marah. "Ini pasien saya, dia perdarahan, dia harus mendapat pertolongan segera, gak mungkin dibawa kerumah sakit lain, bagaimana kalo janinnya gak tertolong?!!" Mendengar suara emosi bidan Ani memperjuangkan aku, dengan tiba-tiba kesadaranku kembali power full, aku langsung terduduk dan berteriak, "Saya akan laporkan rumah sakit ini, karena menolak pasien yang membutuhkan pertolongan, saya akan tulis surat pembaca, saya pastikan itu!!" Sontak seluruh perawat dan pasien lainnya memandang ke arahku, kemudian meminta maaf, dan segera menanganiku. Lalu perawat itu membawa catatan pasien dan menanyaiku banyak hal seperti namaku, nama suamiku, usiaku, aku mengandung anak yang keberapa, dan siapa dokter yang biasa menangani aku. Setelah aku jawab semua pertanyaanku, aku semakin sayup-sayup mendengar suster-suster itu berbicara. Suster itu bilang janinku sangat lemah, dan aku terlalu banyak mengeluarkan darah, aku harus segera dioperasi saat itu juga, dan meminta salah satu keluarga untuk menandatangani surat pernyataan ijin mengambil tindakan. Ditengah kesadaranku yang semakin menurun, aku sempat menghubungi Papa, karena aku tahu suamiku tidak akan bisa datang cepat karena posisinya diluar kota. Sesaat setelah aku menghubungi Papa, aku sudah gak ingat apa-apa lagi. Aku pingsan. Namun dalam pingsanku aku mendengar sayup-sayup suara Papa, membisikkan ke telingaku, bahwa aku harus kuat, aku harus berjuang, bukankah ini yang kamu inginkan, seorang anak laki-laki. Dalam perjalanan menuju meja operasi aku justru sadar dari pingsanku... Begitu masuk ruang operasi aku melihat sekumpulan dokter sedang menungguku. Ada dokter anestesi, internis, dokter anak, perawat-perawat, dan mungkin koas-koas. Aku melihat dokter Budi belum datang. Lalu aku beranikan diri untuk bertanya pada salah satu dokter yang ada. "Dokter Budinya mana?" Lalu dokter itu menjawab,"Ibu tenang saja, dokter Budi sedang dalam perjalanan, Ibu kami bius dulu ya?" Didalam benakku, selama dioperasi cesar aku akan dibius total, sehingga aku tidak sadarkan diri, karena saat dulu melahirkan 2 anakku yang sebelumnya aku melahirkan mereka dengan persalinan normal, jadi aku tidak tahu, dan gak pernah cari tahu. Tapi karena penasaran, akupun bertanya pada suster,"Suster apa saya nanti pingsan?" Suster itu menjawab,"Nggak Bu, cuma dibius lokal kok, kalo disekitar perut dan pinggul nanti Ibu merasa tebal dan dicubit gak sakit Ibu bilang ya, itu berarti biusnya sudah bekerja." Aku manggut-manggut sambil tersenyum. Selama menunggu dokter Budi datang, para dokter, dan suster itu menyalakan musik dangdut lumayan keras diruang operasi, aku jadi heran, hmmm, ternyata ruang operasi tak seseram yang aku bayangkan selama ini, aku jadi nyaman dan rileks dibuatnya. Sesaat kemudian dokter Budi datang dengan wajah sumringah:"Kenapa ini baru 30 minggu dah mau keluar? Dah gak betah didalem ya? Pasti mamahnya bandel dibilangin untuk gak capek-capek kerja." Aku cengar-cengir mendengar ucapan dokter itu. Secepat kilat dokter Budi melakukan tugasnya, aku sama sekali gak merasakan sakit, tapi... setelah anakku lahir aku melihat tubuh anakku dibalik oleh salah satu dokternya, karena dia sama sekali tidak menangis. Aku langsung panik, dan menitikkan air mata."Tuhan, selamatkan anakku." Seusai dokter Budi menjahit perutku, aku sama sekali tidak berani bertanya tentang apa yang terjadi dengan anakku. Namun beberapa saat kemudian salah seorang suster masuk keruang operasi dan membawa anak laki-lakiku yang ganteng, dan aku mendengar suara tangisnya yang memecah mentari pagi ini, "Syukurlah..,"aku dapat melihat dan memeluk anakku serta mendengar suara merdu tangisnya. Semua suster dan dokter-dokter menyalamiku, mereka bilang aku dan anakku selamat dan kami sehat. Luar biasa kuasa Illahi padaku hari ini... Terima kasih Tuhan... Aku punya anak laki-laki kini... Aku bersyukur hasil USG tidak keliru... Kini anakku sudah berusia satu tahun. Dia mulai belajar berjalan dan mengucapkan beberapa patah kata. Bahagianya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun