Masa lalu adalah kenangan, hari ini adalah kenyataan, dan esok adalah harapan..Bagi sebagian orang, masa lalu adalah sebuah peristiwa yang selalu indah untuk dikenang. Meski saat menjalaninya terasa sepahit temu lawak sekalipun...:)
”Bakso ini dijaman aku sekolah harganya Rp.500,-. Dan itupun aku tidak sanggup membelinya. Sekarang aku lagi ndak lapar, tapi aku mau makan bakso ini...” demikian seloroh seorang wanita muda bernama Mbak Sy, kepada 3 orang sahabatnya dengan tertawa. Tawa yang dikemudian disambut tawa sahabat-sahabatnya tanpa penjelasan lebih lanjut.
Warung bakso kecil itu terletak tak jauh dari rumah ibu kost saat Mbak Sy menempuh pendidikan SMEA. Dan sore itu, ia bersama 3 sahabatnya sengaja mampir makan bakso setelah menemui seorang rekan bisnis di sebuah hotel di kota itu.
”Ada teman yang kebetulan dari Jogja, minta ketemu di hotel X di Kebumen, temani aku ya! Hitung-hitung sambil jalan-jalan dan kutraktir mbakso ya!”
Ajak Sy pada 3 sahabatnya sejenak setelah menutup pembicaraan di handphone di tangannya. Saat itu, ia sedang asyik bertemu kangen dengan sahabat-sahabat lamanya.
Sy dan tiga sahabat yang sangat memahami perjuangan panjangnya di masa kecil hingga remaja bercengrama dengan sangat riuhnya. Semangkok bakso panas yang lebih lezat dari rasa sesungguhnya menjadi teman obrolan antar sahabat sore itu.
Sy adalah potret anak desa yang telah lolos dalam mengarungi badai ujian hidup di masa lalu. Ia tak ciut dihadang berbagai halang rintangan saat harus mempertahankan keyakinannya bahwa ia harus sekolah, meski orang tuanya sendiri adalah penghalang cita-citanya.
Ia masih ingat, ketika meminta uang SPP di masa SMP, sang ayah yang adalah pedagang kecil lagi miskin menatapnya tajam dengan kata-kata menghujam hingga jantungnya.
”Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalo akhirnya harus ke dapur juga! Apa kamu tak lihat, bagaimana Bapak mencari nafkah untuk kebutuhan makan pun belum genap tercukupi? Wis mandheg bae sekolahmu ( baca : wae ) Berhenti saja sekolahmu!!”
Sy remaja tak sanggup menahan air bening yang mengalir deras di kedua ujung matanya. Cukup lama ia menangis. Tangisan yang kemudian ia sadari adalah sia-sia. Apakah cukup dengan tangisan bisa menolong hidupnya? Tidak. Bagaimanapun, ia harus melepaskan diri dari belenggu kemiskinan keluarganya. Ia harus menemukan jalan menggapai masa depan yang lebih baik. Dan tidak ada pintu lain yang ia lihat selain ; terus sekolah.
Maka sejak itu, Sy tidak hanya rajin membantu orang tuanya yang pedagang kecil itu berjualan di pasar. Berharap ada ilmu perdagangan yang bisa ia serap dan berguna di masa mendatang. Dan upayanya semoga sedikit meringankan beban berat di pundak mereka. Ia tahu orang tuanya pasti bukan tidak menyayangi putrinya. Namun situasi sulitlah yang menjadikan semua berjalan tak semestinya.