Di saat kelelahan mendera dan rutinitas pekerjaan yang sambung menyambung nyaris tiada putusnya, hanya satu yang saya harapkan dan tunggu-tunggu kedatangannya yaitu : tukang pijat. Telapak kaki, tangan, dan kepala adalah titik-titik utama yang menjadi target tangan si therapist dalam memulihkan kebugaran jiwa dan raga.
Sekedar mengulas kembali tentang dunia “tukang pijat”, sekitar enam bulan lalu saya telah menayangkan dua buah tulisan di
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/04/29/tukang-pijat-media-belajar-berbagi-1/ dan http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/04/30/tukang-pijat-media-belajar-berbagi-2/
Tulisan tersebut adalah salah satu upaya saya untuk menunjukkan fakta-fakta menarik seputar tukang pijat. Bahwa jangan pernah meremehkannya, karena tukang pijat adalah sebuah profesi mulia. Dimana ia hidup mandiri dengan perolehan pendapatan per bulan yang bahkan bisa menyaingi gaji seorang manajer di sebuah perusahaan.
Adanya penilaian miring atas oknum-oknum yang melakukan hal-hal di luar etika ( seperti sering disebut pijat ++...red), adalah serupa dengan profesi lainnya juga. Bukankah di semua profesi juga memungkinkan terdapat oknumnya? Ada hakim yang berjualan perkara, polisi yang menjadi tukang palak pihak yang berperkara, dosen yang berjualan nilai pada mahasiswanya. Juga pengusaha yang menawarkan sejumlah uang agar memenangkan tendernya, dokter yang hanya mementingkan jualan resep/obat daripada menolong pasiennya. Dimana kita tahu, di semua profesi itu pun juga ada juara-juaranya. Hakim dan polisi juara. Dosen, dokter dan pengusaha juara.
Selanjutnya, mari kita amati sebuah profesi lainnya. Satu profesi yang kadang cukup mengundang keprihatinan dari sudut pandang penilaian yaitu pemulung. Padahal jelas profesi itu pun adalah mulia, ditinjau dari peranannya di lingkungan kita.
Keberadaannya adalah serupa bakteri pengurai dalam jagad raya ini. Tanpa pemulung, sulit dibayangkan pemerintah dapat mengolah sampahnya sendirian.
Kejengkelan orang terkait hilangnya jemuran, atau sandal dan barang-barang lainnya karena turut masuk ke karung pemulung menjadi generalisasi penilaian terhadap profesi itu. Padahal jelas, tidak semua pemulung menghalalkan segala macam cara.
Jika semua pemulung otomatis juga adalah penilep atau maling, entah sudah berapa kaya mereka semua, sebagaimana para koruptor bukan?
Namun kenapa gelar oknum itu tidak pernah dikenakan pada profesi pemulung? Apakah oknum hanya pantas disematkan pada para pelanggar etika profesi pada deretan profesi terhormat seperti dokter, hakim, polisi, pengacara, dsb? Jangan-jangan itu semua adalah cerminan sikap karena ketakutan kita pada yang kuat saja. Yang sekaligus bentuk penindasan pada yang lemah. Sungguh tidak adil rasanya.
Maka, semenjak menyadari kekeliruan yang mungkin ”massal” itu, saya sudah lebih bersahabat dengan para pemulung. Jika perlu, saya berusaha mempermudah pekerjaannya dengan memilah-milah sampah terlebih dahulu. Agar Bapak/Ibu pemulung tak perlu kerepotan mengacak-acak bak sampah tersebut setiap kali menjalankan pekerjaannya.
Kembali mengenai tukang pijat, rupanya banyak dari mereka adalah para pendatang. Seorang therapist pijat dari Lampung yang pernah ’menangani saya’ mengakui bahwa ia tak mau menjalankan pekerjaan itu di kampungnya. Lebih karena penilaian masyarakat yang miring terhadap profesi pijat. Sebagai pekerjaan kelas rendahan.
Tentu saja saya prihatin mendengarnya. Berharap semakin hari, edukasi tentang pijat mulai bergeser dan menempati porsi yang seharusnya.
Maka, begitu gembiranya saya, bahwa salah satu pematah opini itu adalah sahabat saya sendiri. Teman SMP, yang bernama Mbak Ks.
Bukan teman sekelas memang, tapi kami cukup mengenal dengan baik. Kaget juga pas lebaran tahun lalu kami bertemu sebagai ’pasien’ dan ’therapist’ tanpa sengaja.
Tukang pijat yang diundang oleh salah satu saudara ke tempat kami ke rumah saya di kampung, ternyata adalah teman lama saya.
Perawakannya yang tambun namun kokoh itu sangat jauh berbeda dengan Ks saat SMP dulu. Kecil, kurus dan pemalu. Kini Ks adalah ibu-ibu yang ’grambyak’/ramah, meski gemuk tapi lincah dan tenaga luar biasa kuatnya sudah tercermin dari pijatan tangannya.
Kedatangannya dikawal oleh anak gadisnya yang kini sudah duduk di bangku SMK. Pada kawan lama, yang apalagi membawa anak, saya memberikan penghormatan dengan sebutan ”Mbak” saja. Rasanya lebih pantas didengar putrinya, dibanding saya menyebut nama saja. Dia pun juga membalas dengan memanggil ’Mbak” ke saya. Padahal saya juga ikhlas-ikhlas saja dipanggil nama. Apalagi bagi saya yang bersuamikan teman sekelas yang adalah sahabat lama yang biasa saya panggil nama saja, juga sampai detik ini tidak bisa memanggil ”Mas” dengan alasan apa pun. Maka panggilan ”Pak” buat mewakili putri kami adalah lebih dari cukup sebagai bentuk penghormatan pengganti yang bisa saya lakukan...:)
Setelah pertemuan tak sengaja hari itu, saya semakin menaruh hormat dan penghargaan yang tinggi pada Mbak Ks. Ia menjadi teman pertama yang kucari saat mudik tiba...:) Berbagi cerita dan kegembiraan dengannya adalah terapi lain yang saya dapatkan.
Beberapa tahun ia sempat bekerja di sebuah perusahaan multi nasional di daerah Tangerang. Namun hidup di kota besar memang kadang tak semudah yang dibayangkan. Keputusannya pulang ke kampung telah bulat untuk memberikan pendidikan maksimal bagi putrinya. Memberikan lingkungan yang menurutnya lebih kondusif untuk menjalani hari sesuai peta hidup yang telah ia buat.
Berbekal kursus pijat bayi, ia mulai memproklamirkan diri menjadi therapist pijat. Kemampuannya bertambah seiring dengan jam terbang serta keilmuan yang didapat dari belajar dengan beberapa pakar hingga ke ibu kota provinsi kami, Semarang.
Sejalan dengan itu, Mbak Ks menjalani kursus bekam sambil menjadi marketing di sebuah perusahaan pengobatan herbal.