Tepo seliro adalah sebuah nasehat Jawa yang berarti menenggang perasaan orang lain. Meski saya yakin, suku apa pun dan bangsa mana pun juga mengenal budi pekerti tersebut sebagai salah satu modal dasar berhubungan dengan orang lain, bersosialisasi.
Urusan tenggang rasa ini kelihatannya mudah dan sederhana. Apa susahnya sih menghargai perasaan orang lain sebagaimana kita pun ingin diperlakukan demikian? Tapi ternyata pada aplikasinya, urusan tepo seliro ini sering diabaikan oleh seseorang.
Pembahasan ini tentunya bisa memanjang, melebar dan meluas ke berbagai topik terkait tenggang rasa ini. Namun kali ini saya hanya ingin menyoroti hubungan dengan tetangga. Rumah tangga, atau keluarga adalah himpunan masyarakat terkecil dalam tatanan sebuah negara. Kumpulan keluarga-keluarga yang memiliki tenggang rasa tinggi akan menghasilkan sebuah harmoni kehidupan bernegara, dimana ujung-ujungnya adalah terciptanya rasa nyaman dan kedamaian yang lebih luas.
Menjadi ketua RT di lingkungan perkotaan bukanlah sebuah jabatan prestis yang diinginkan banyak orang. Terbukti hingga saat ini, kami juga belum berhasil ‘lengser’ dari jabatan Ketua RT, lebih karena sulitnya mencari orang yang “bersedia” menggantikannya. Umumnya orang enggan dan segan ‘ribet’ berbagai hal dimana masing-masing kita sebenarnya juga tidak kurang kesibukan dalam sehari-harinya. Ya, memegang jabatan RT bisa dikatakan adalah kiprah yang bersifat sosial dimana memerlukan kesediaan berkorban sedikit tenaga, sebagian waktu dan cukup banyak pikiran.
Salah satu hal yang menjadi masalah dalam hubungan antar tetangga di lingkungan RT adalah tenggang rasa yang diabaikan. Berikut ini adalah contoh-contoh kasus yang sering terjadi :
1.Membuang sampah di bak sampah tetangga
2.Memelihara binatang peliharaan, dan kotorannya mencemari udara/tanah/rumput tetangga.
3.Mengemudikan kendaraan dengan kecepatan tinggi ( ngebut ) melintas di lingkungannya
4.Mengklakson mobil setiap kali masuk garasi.
5.Tidak mau menegur / sekadar memberi senyuman/anggukan pada tetangga di lingkungan
6.Melakukan ‘kebisingan’ ketika membangun/merenovasi rumah tanpa permisi ke tetangga terdekat
7.Konstruksi talang air /aliran kran air yang keliru hingga mengakibatkan kebocoran pada dinding tetangga.
8.Tempat penampungan air bermasalah yang meluap hingga rumah tetangga.
9.Parkir kendaraan ‘sembarangan’ di depan rumah tetangga tanpa ijin
10.Dll
Sebagian masalah tersebut kadang menjadi sekadar ‘keluhan/ omongan’ dari mulut ke telinga lainnya, dan akhirnya menyebar di udara hingga perlahan tapi pasti menyematkan berbagai ‘stempel’ buruk pihak yang dinilai tidak tahu tenggang rasa di mata masyarakat luas.
Sebagiannya memilih menyelesaikan, dengan dari dengan memberi teguran ataupun luapan amarah jika sang tetangga dianggap ‘ndablek’. Muaranya adalah terjadi keributan hingga hilangnya rasa nyaman berada di dalam rumah sendiri.
Sebagian lain memilih melaporkan ke ketua RT, karena mereka menganggap urusan demikian sebagai salah satu tugas RT. Mungkin ini pula yang menjadikan orang yang tinggal di daerah perkotaan ‘malas’ menerima kepercayaan sebagai ketua RT.
Terlebih jika mereka berpikir bahwa RT kan juga sudah digaji. Buat apa gajinya jika tidak untuk menunaikan pekerjaannya?
Ya, RT memang mendapat gaji dari pemerintah. Saya kurang tahu di wilayah DKI dan wilayah lain, namun di Bekasi Kota, RT mendapat tunjangan sebesar Rp. 300.000,- per bulan. Dimana biasanya dibayarkan setiap 6 bulan sekali melalui kantor kelurahan. Lalu buat siapakah dana itu kemudian?
Setiap RT memiliki kebijakan sendiri. Ada yang dipakai oleh ketua RT-nya pribadi sebagai ganti pulsa dan sedikit imbal jasa atas pekerjaan sosialnya. Ada yang dibagi-bagi ke seluruh pengurus RT, dari ketua, sekretaris, bendahara, dst. Dan ada juga yang dimasukkan ke kas RT, sebagaimana yang kami lakukan sebagai tambahan kas RT. Dimana dana RT itu digunakan untuk berbagai kegiatan, seperti pembersihan got-got secara periodik beberapa bulan sekali. Penyemprotan nyamuk demam berarah (fogging), perawatan taman, pembayaran petugas keamanan, dan perawatan sarana dan prasarana lainnya.
Laporan pengeluaran dan pemasukan RT yang tersusun rapi, transparan, auditable dan dipublikasikan ke seluruh warga secara periodik akan menjadikan komunikasi terjaga, sehingga warga pun tahu kemana dana mereka dibelanjakan. Termasuk darimana saja RT memperoleh sumber pendapatan.
Kembali ke soal tenggang rasa itu, ternyata faktor tingginya pendidikan juga tidak menihilkan potensi seseorang untuk menjadi lebih baik dari orang lain. Meski di atas kertas, seharusnya tingginya tingkat pendidikan harus sejalan dengan tingginya budi pekerti. Ibarat padi berisi yang kian merunduk. Entahlah, apakah ini ada kaitannya dengan hasil pendidikan kita yang belum maksimal dan menyentuh berbagai bidang kehidupan? Ataukah materi pendidian budi pekerti dan tenggang rasa perlu menjadi satu mata pelajaran utama di bangku-bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi?
Menjunjung tinggi rasa tenggang rasa bukan saja menjadi hal penting dalam mewujudkan harmoni kehidupan, namun juga menjadikan setiap diri mencapai martabat yang baik di hadapan manusia dan Tuhannya. Sebagaimana pepatah Jawa lain mengajarkan ; ajining diri dumunung soko lathi – tingginya martabat seseorang tergantung ( berasal ) dari tingkah laku kesehariannya sendiri.
Maka terlepas dari mengharapkan keseriusan pemerintah dalam menggodok ide materi pendidikan budi pekerti di bangku pendidikan, setiap kita sebagai orang tua harus benar-benar memberi perhatian khusus dalam rangka mengajarkan tepo seliro/tenggang rasa ini dalam bentuk pemahaman maupun keteladanan bagi anak-anaknya sedari dini. Ya, karena setiap keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H