Mohon tunggu...
Dita Widodo
Dita Widodo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

1996 - 2004 Kalbe Nutritional Foods di Finance Division 2004 - 2006 Berwirausaha di Bidang Trading Stationery ( Prasasti Stationery) 2006-sekarang menjalankan usaha di bidang Travel Services, Event Organizer dan Training Consultant (Prasasti Selaras). 2011 Mulai Belajar Menulis sebagai Media Belajar & Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tanjung Sepat, Malaysia dan Refleksi Kami

12 Juli 2013   21:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:38 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_266265" align="aligncenter" width="300" caption="Jalan di Tengah Perkebunan Sawit Tanjung Sepat"][/caption] [caption id="attachment_266270" align="aligncenter" width="300" caption="Daerah pesisir nan permai"]

13736404462004609065
13736404462004609065
[/caption] [caption id="attachment_266275" align="aligncenter" width="300" caption="Rambutan di belakang rumah"]
1373640597418968891
1373640597418968891
[/caption] [caption id="attachment_266283" align="aligncenter" width="300" caption="Masjid Bandara KLIA"]
1373641676658935848
1373641676658935848
[/caption] [caption id="attachment_266284" align="aligncenter" width="300" caption="Masjid di Selangor"]
1373641741196591474
1373641741196591474
[/caption]

Hari telah menjelang malam ketika wanita muda berhijab pink nan anggun dan bersahaja itu membawa kami melaju dengan Honda City putih berkecepatan rata-rata 100km per jam menuju Tanjung Sepat, Malaysia pada 4 Juli 2013 lalu. Sungguh penyambutan ini jauh di atas harapan kami, karena beberapa hari sebelumnya saya mengirimkan sebuah pesan singkat : “Jika sempat, tolong carikan mobil rental ya Ran... Dan kabari saya, berapa harga per harinya…”

Dan setelah beberapa kali ia tak menanggapi dan malah menanyakan hal lain, seperti tiba di terminal apa, flight jam berapa, dst akhirnya ia menjawab pertanyaan terakhirku dengan sebuah pesan yang kuartikan, “lebih baik naik transportasi umum saja”.  Pesan singkat itu berbunyi  “Rental mobil di sini mahal Mbak. Tapi banyak bas …” telah cukup menjelaskan, bahwa saya harus siap-siap bawa 3 kopor besar kemana-mana. Maka, ketika di bandara KLIA Terminal M kulihat ia memasukkan lembaran ringgit ke mesin parkir otomatis, aku segera bertanya “Ran, kok kau bayar parkir? Memang sudah dapat mobil rental?”

Dengan kalem dan senyum mengembang ia menjawab “Saya ( lafal Melayu = saye) bawa sendiri…” Dan tanpa banyak cakap, kami sudah di parkiran dan segera memasukkan barang-barang ke bagasi.  Di luar dugaan ternyata ia malah telah menyiapkan 2 hari cuti untuk mengantar kami kemana-mana dengan kendaraannya sendiri. Subhanallah, kesempatan dan  anugerah yang tak terbilang untuk kami pastinya.

Waduh…gawat deh. Ga kebayar kalo seperti ini caranya sih….hehehehe”

Tak apa, saya senang Mbak berkunjung kesini…” logat Melayunya amat kental di telinga.

Percakapan ringan berlangsung sepanjang jalan. Sebagian melayang tanpa dapat kutangkap artinya dengan baik karena meski mirip bahasa Indonesia, perlu beberapa saat untuk mencerna bahasa Melayu. Dan sebagian saya biarkan terbang tertimpa topik baru, karena yang penting adalah garis besarnya.

Setelah berkeliling Kuala Lumpur siang itu, kami diantar ke tempat ibunya, yang adalah saudara sepupu saya. Tak banyak kisah yang bisa kuingat dengan baik ketika dua puluh lima tahun silam ia meninggalkan desa kami mengikuti suaminya yang terbilang masih keluarga jauh kami, asal Malaysia. Catatanku, ia pergi begitu saja, dan kabarnya ia menjadi petani perkebunan di negeri Jiran itu. Tak ada dia yang mengantarkan masakan ketika ada acara selamatan atau tahlilan, sebagaimana antar saudara dan tetangga yang saling berbagi di kampung kami. Tak ada dia di setiap lebaran tahun-tahun berikutnya ketika saya pun telah meninggalkan desa kami. Tapi kabar yang kudapatkan, ia beruntung mendapatkan pria yang baik. Bahkan suaminya hampir setiap tahun mengunjungi keluarga besar di desa kami, sementara ia tak pernah turut serta karena alasan menjaga rumah dan mengurus anak-anak yang masih kecil. Belum ada pesawat telepon atau handphone ketika itu, sehingga ia bak lenyap di telan bumi.

Sesungguhnya terbersit sebuah harapan di hati, suatu ketika mungkin aku bisa mengunjunginya ke sana. Entah bagaimana caranya. Ke negeri yang ketika itu terasa di ujung dunia, meski semakin bergulirnya waktu dan usia, ternyata negeri itu dekat saja, tetangga saja. Dan mungkin antar tetangga kadangkala terjadi ketegangan karena beberapa hal. Tapi bagaimanapun, sesungguhnya tetaplah kami adalah satu rumpun, satu saudara sebagaimana teman yang saling membutuhkan. Ternyata cukup beberapa jam saja mencapai tanah rantaunya, tak sejauh yang kubayangkan di masa lalu.

Perjalanan KLCC ke Tanjung Sepat memakan waktu sekitar 2 jam perjalanan, karena kami berhenti  shalat Maghrib di masjid besar pinggir jalan. Sudah 2 masjid hari itu saya singgahi, dan keduanya besar, mukena bersih bergantung atau tertumpuk rapi serta wangi. Sehingga kusimpulkan bahwa, tak perlu bawa mukena setiap kali ke masjid di Malaysia karena kita dapat menggunakan sarana dan prasarana yang telah tersedia. Pun tak satupun kotak amal tersedia di sana.

Sejak pertama kali menginjakkan kaki di kota itu hingga ke pesisir pantainya, sejauh mata memandang, perkebunan kelapa sawit nan hijau luas membentang. Mengingatkan pada  daerah di Kalimatan dan luar Jawa lainnya. Perkebunan kelapa sawit di perkotaan, ternyata efektif menyuplai oksigen. Pantas suhu kota itu rata-rata 27 derajat celcius.

Jarum jam hampir hampir menunjuk angka 20.00 ketika kami memasuki pekarangan luas tak berpagar khas pemukiman di pedesaan. Bedanya, jalanan sungguh mulus dan bersih. Pepohonan seperti tertata dengan apiknya. Belum pernah kusaksikan alam perkebunan senyaman itu sebelumnya. Dan 2 buah motor tua yang diparkir bebas di halaman seperti menjelaskan bahwa keamanan di lokasi itu cukup baik.

Sang tuan rumah telah menunggu di depan pintu. Yang segera kukenali wajahnya dengan sangat baik. Masih ada sisa-sisa kecantikan di usianya yang telah terus bertambah. Ada rasa rindu, haru, dan gembira yang membuncah di dada kami ketika ia menyambut dengan pelukan eratnya. Untuk sejenak mata terasa mamanas seiring dengan tepukan tangan bertubi-tubi yang mengguncangkan pundakku. “Dik, aku tidak menyangka kau bisa mencariku kesini. Aku tidak mungkin bisa menemukanmu. Betapa Allah telah memberiku rizki dan anugerah dengan mempertemukanku dengan saudara perempuanku… Lihatlah!! Aku sudah tua sekarang kan?....”

Kalimat yang dilontarkan dengan bahasa ibu kami ( Jawa, red) yang kental itu hanya menambah haru. Yang segera kujawab “Allah telah memberikan jalan untuk itu. Dan tanpa dunia internet, pasti aku tak kan dapat mengunjungi keluarga di sini”.

Dan malam itu, kami bersantap masakan rumahnya, sambil bercerita ke sana dan kemari.

“Aku sungguh tak mengira kalau di tengah perkebunan kelapa sawit seperti ini jalanan begitu bagus. Terlihat pembangunan merata dengan sangat baik…. “ saya memuji dengan tulus.

Lha waktu aku datang kesini 25 tahun lalu, jalanan masih tanah merah semua Dik. Kebun-kebun penuh ilalang tinggi-tinggi  dan rapat. Kalau kita jongkok tak akan terlihat lah… Ya kami benar-benar membuka hutan menjadi kebun kelapa sawit seperti sekarang ini….” Demikian kenangnya.

Namun ada rona bahagia yang jelas terbaca di matanya karena kini ia telah memanen hasil jerih payah di masa muda. Kini aktifitasnya hanya mengontrol para pekerja perkebunan yang semua adalah TKI dari beberapa daerah di Indonesia. Kebun kelapa sawit yang berhektar-hektar luasnya itu cukup dipanen dalam 2 kali sebulan. Sisanya kopi yang dipanen normalnya 3 bulan sekali. Tapi bisa jadi setiap bulan untuk beberapa bulan tertentu. Di sela-sela waktu panen, tanaman palawija juga dikerjakan, sehingga nyaris tak ada hari tanpa kerja.

Air bersih dari perusahaan air ( semacam PAM ) telah menyuplai seluruh warga. Tak satu pun rumah yang masih menggunakan sumur tanah. Untuk warga yang tagihan airnya RM30 kebawah, digratiskan oleh kerajaan. Subsidi pada rakyat bawah yang sangat bermanfaat pastinya.

Bahagia tentu saja melihat saudaraku mendapatkan kemakmuran di negeri orang. Sekaligus miris menengok negeri sendiri. Jika saja para pemimpin dan penguasa di tanah air ini tidak keterlaluan korupsinya. Dan jika saja hukum di Indonesia bisa ditegakkan sehingga menjadi landasan utama kejayaan sebuah negeri, pastilah ceritanya akan berbeda kini.

Saya lalu teringat sebuah undangan seminar UMKM dari Bank DKI yang kami hadiri beberapa minggu lalu di kawasan Jakarta Pusat. Salah satu pembicaranya adalah Pak Ahok alias Basuki Cahya Purnama.

“Kita harus memaksimalkan potensi Jakarta sebagai ibukota republik ini dengan maksimal. Saya dan Pak Gubernur Jokowi mungkin tidak akan terpilih kembali di periode berikutnya. Tidak apa, yang penting sekarang kami harus memulai memberikan landasan dan menetapkan arah pembangunan yang seharusnya. Cobalah tengok…. Singapore hanya bisa membangun Sentosa Island dengan lahan segitu-gitunya aja. Satu meter lagi menguruk laut, mereka sudah masuk wilayah kita. Nah, bayangkan dengan Jakarta. Untuk menguruk berkilo-kilo meter sampai kepulauan seribu pun, masih wilayah kita!! Jadi kita ini sebenarnya kaya! Kita harus menjadikan Jakarta sebagai pintu gerbang Indonesia dan memanfaatkan potensi wisatanya semaksimal mungkin. Monas sebagai satu icon bangsa akan kami maksimalkan pemanfaatan lahannya dan sekarang semua program perencanaan telah mulai dijalankan!!...”

Sungguh adem hati dan telinga ini mendengar pidato singkat Pak Ahok. Sebuah penghiburan dimana jutaan harapan dititipkan pada pasangan pemimpin ibukota saat ini. Semoga akan banyak muncul tokoh baru sekaliber mereka.  Hingga kelak kan mengikis rasa miris melihat perkembangan pesat negara lain dimana mau tak mau menyelipkan iri yang sungguh menyakitkan hati.

Ya, Tanjung Sepat, sebuah desa di kawasan pesisir Malaysia, telah memberi  kesan mendalam dengan aneka rasa yang berbaur di hati kami. Berkeliling kebun luas nan permai tentu membersitkan bahagia karena di situlah saudara kami menjalani hidup dan meraih masa depan serta kemakmurannya. Di sisi lain, kami pun berfikir dan lalu menggantungkan kalimat tanya : “Perlu berapa tahun investasi waktu untuk membangun negeriku mengejar ketertinggalan ini? Sedia dan mampukah setiap kami menyadari dan peduli??”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun