Puji syukur Alhamdulillah, rumah kami bebas asap rokok. Dan setiap tamu perokok juga sudah dengan sendirinya menjaga /menghargai sepetak hunian ini dengan mematikan rokok sebelum masuk rumah. Atau jika pun hendak merokok memilih di luar di posisi asap rokok tidak sempat masuk melalui jendela atau lubang angin serta pintu kami. Untuk hal ini, kami pun mengapresiasi dengan segenap penghargaan mendalam atasnya.
Meski suami tidak merokok, dan ke 7 saudaranya pun sama bukan perokok, namun sesungguhnya mereka terlahir dari suami-istri perokok. Ya, Bapak-Ibu atau embah kakung putri keduanya perokok kategori kelas berat. Ibarat kereta, asapnya sambung menyambung sepanjang hari :)
Ditinjau dari ancaman kesehatan sebagaimana hasil penelitian ilmiah yang dilakukan dokter-dokter di dunia, mungkin beliau-beliau ini termasuk kategori penyimpangan teori. Karena meski perokok, namun mereka tergolong sehat wal afiat hingga memasuki usia senja. Kalau pun sakit pun bukan sakit berat yang perlu penanganan dokter. Apakah karena meskipun merokok, namun aktifitas pekerjaan di pedesaan dan siraman vitamin D yang berlimpah sepanjang hari yang menjadikan racun-racun dalam tubuh luruh dengan sendirinya sebagian besarnya? Entahlah….
Namun sebagai generasi yang merasa lebih sadar akan kesehatan, resiko/bahaya merokok, awalnya terlintas dalam hati kami untuk ‘menyadarkan keduanya’ untuk berhenti merokok.
Seperti misalnya ketika berkesempatan menjenguk beliau di kampung dan dengan cara halus menceritakan berbagai kejadian kenalan/tetangga/ teman yang pensiun merokok akibat sakit paru-paru, jantung, dan seterusnya. Paling-paling malah dijawab bahwa masing-masing orang berbeda cara menjaga kesehatannya. Dengan merokok, mereka lebih segar rasanya. Justru tanpa merokok, hilang semangat hidup dan lungkrah lesu menghampirinya.
Jika anak-anak yang mengingatkan tak berefek apa pun, mungkin cucu beraksi hasilnya berbeda. Si cucu ini juga kebetulan tengah mengenyam pendidikan Medical Science dan cukup menjadi kebanggaan para embahnya. Namun ketika cucunya mencoba menjelaskan cara kerja racun dalam rokok dalam menyerang tubuh manusia, si embah tenang saja mendengarkan. Beliau-beliau malah menjawab, bahwa teman-teman beliau sudah dipanggil oleh Sang Pencipta. Mbah Kakung terutama menyampaikan bahwa dunia sudah terasa sepi tanpa kawan dan sahabat setia tempat berbagi cerita dan canda. Jadi saat ini yang dibutuhkan adalah menikmati masa senja dengan menjaga kesehatan yang tentunya bertolak belakang dengan teori para dokter dan ahli kesehatan, yaitu ; merokok itu tetap sehat karena kesehatan berawal dari keyakinan dan pikiran.
Hening. Sejak itu, kami pun tidak lagi berupaya menghentikan Bapak-Ibu merokok. Kekhawatiran akan terganggunya kesehatan merekah telah terkubur oleh sebentuk haru atau kesedihan yang tak mampu kami ungkapkan. Bahwa manusia jika diberikan panjang usia, kesyukuran atas karunia Allah untuk mendapatkan kesempatan beribadah, menyaksikan cucu bertumbuh menjadi manusia-manusia ‘hebat’ di matanya, ternyata berdampingan dengan rasa hampa. Hampa karena anak-anak telah memiliki kehidupannya sendiri di berbagai tanah rantau, dan sesekali saja bisa meluangkan waktu menengok. Hampa karena para sahabatnya satu persatu telah mendahului menghadapNya.
Dan akankah kami merebut kebebasan mereka merokok dengan sejuta alasan yang tak ingin mereka dengar?
Maka, silakan Bapak-Ibu merokok! Karena kebahagiaan mengisi sisa usia adalah satu hal yang jauh lebih pantas kami hargai dan semestinya turut kami upayakan.
Mungkin memang berhenti merokok serupa hidayah. Bagi para orang tua yang tidak menginginkan anaknya merokok, sebaiknya memberikan teladan tanpa banyak bicara. Bagi anak muda yang belum pernah mencoba merokok, tidak usahlah ikut-ikutan ingin mencoba merokok. Dan bagi yang masih merokok, silakan cari ‘hidayah’ itu jika memang Anda sesungguhnya menyadari bahwa merokok itu tidak baik…:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H