[caption id="attachment_222360" align="alignleft" width="300" caption="Pelajaran T.P Rachmat "][/caption] “Saya ingin meninggalkan dunia dengan kondisi lebih baik daripada ketika memasukinya” demikian salah satu motto dari Theodore Permadi Rachmat di buku Pembelajaran T.P Rachmat.
Menelusuri jejak pikiran dan pembelajaran para tokoh dan mereka yang telah mengukir jutaan prestasi adalah bak menelan supplemen yang menyegarkan jiwa dan membangkitkan energi tersendiri.
Sekali lagi, buku itu menjadi teman saya menyambut pagi, dengan secangkir white coffee sambil sesekali melemparkan pandangan ke luar jendela. Menikmati indahnya semburat jingga di ufuk timur sana.
“Succes is having what you want; happiness is wanting what you have” demikian Dale Carnegie merumuskannya. Bisa saja kesuksesan dan kebahagiaan berjalan beriringan, namun kenyataannya tidak selalu demikian.
Kesuksesan mengacu pada pencapaian, sementara kebahagiaan ada dalam pikiran dan hati kita. Dalam tuntunan Islam, kita sering mengungkapkan, kebahagiaan terletak pada rasa syukur kita atas apa yang dimiliki. Dan sumbernya ada pada hati dan pikiran manusia.
Ada manusia yang memiliki pencapaian luar biasa, tapi pikirannya gelisah. Dan sebaliknya, ada orang yang tak banyak mengukir prestasi , tapi perasaannya tenang dan penuh keceriaan. Sehingga kita sering melihat seorang pegawai perusahaan, bahkan lebih ceria dan bahagia dari si pemilik perusahaan itu sendiri.. :)
Kebahagiaan juga tidak terkait dengan berlimpahnya atau minimnya harta. Guru Cheng Yen, seorang rahib Budha pendiri komunitas kemanusiaan Tsu Chi, dalam buk Still Thoughts, vol 1 ( 2009), mengatakan, bahwa semua orang mempunyai masalah.
Mereka yang kaya dan berkuasa takut kehilangan apa yang mereka punyai. Sementara mereka yang miskin dan lemah pusing setengah mati memikirkan cara memperoleh apa yang tak mereka punyai.
Jadi persoalan muncul bukan karena kondisi kekayaan dan kemiskinan seseorang, lebih karena apa yang ia pikirkan.
Sama seperti yang dituangkan oleh John Milton dalam puisi epik ternama Paradise Lost (1667), “The mind is its own place, and itself....can make a heaven out of hell is a hell out of heaven”. Pikiran manusia memiliki dunianya sendiri, dan kondisi di dalamnya bisa membuat neraka terasa surga, ataupun sebaliknya.
Teddy Rachmat menyebut bahwa kebahagiaan seseorang bersifat amat personal. Ketika pikirannya begitu positif dan suasana hati begitu gembira, itulah saatnya seseorang merasakan kebahagiaan.
Tokoh-tokoh besar di muka bumi ini bahkan memaknai kebahagiaan hidup dalam lingkup yang lebih luas. Kebahagiaan yang tak hanya menghadirkan rasa suka cita pada dirinya sendiri, tapi juga masyarakat luas di sekitarnya.
Pengalaman Dr. Jonas Salk, penemu vaksin polio layak menjadi salah satu inspirasi. Bahwa kebahagiaan itu melampaui batas dirinya sendiri.
Pada pertengahan tahun 1950-an, polio masih dianggap penyakit paling menakutkan di Amerika Serikat. Puluhan juta dollar sudah dikeluarkan pemerintah federal, namun para peneliti belum juga menemukan penangkalnya. Bahkan dalam sebuah eksperimen yang mengunakan virus hidup, enam anak meninggal dunia dan lainnya lumpuh. Kengerian berakhir ketika Dr. Jonas Salk, kepala laboratorium virologi di Universitas of Pittsburgh menghadirkan vaksin polio pada 1955.
Sebenarnya Dr. Jonas Salk muda sudah mengumumkan kepada publik bahwa ia menemukan vaksin yang aman diujicobakan kepada binatang pada tahun-tahun sebelumnya. Kurangnya sambutan dari masyarakat sempat mengurungkan niatnya. Tapi semangatnya bangkit kembali setelah melihat anak-anak bermain di taman. Ia tak ingin melihat anak-anak yang gembira itu lumpuh, karena banyaknya kasus kelumpuhan membuat hatinya teriris.
Dr. Salk menggunakan dirinya sendiri, istri, dan anak-anaknya sebagai sukarelawan pertama untuk ujicoba vaksin baru. Cerita selebihnya, sejarah mengukir namanya dengan tinta emas karena kesuksesan penemuannya.
Peneliti tersebut tak memperkaya diri melalui pematenan vaksinnya. Ia justru membagikannya secara gratis dan menyelamatkan jutaan umat manusia dari kelumpuhan dan kematian.
Inilah kebahagiaan yang dimaksud. Ia bisa berujud sebuah kepuasan batin dan ketenangan jiwa ketika seseorang dapat berbuat sesuatu untuk orang lain.
Dan di sini saya pun ingin berbagi salah satu cerita kebahagiaan saya sendiri. Kebahagiaan yang disebut Pak Teddy bersifat personal. Inilah salah satu kebahagiaan versi saya.
Saya mulai memasuki dunia tulis menulis sekitar 1,5 tahun yang lalu. Tentu tarafnya masih belajar menjaga kesinambungan dalam hal semangat untuk membuat tulisan setiap hari. Sambil terus mengamati bagaimana orang lain membuat tulisan yang enak dinikmati. Terasa ringan, sederhana, tapi ada sebuah pembelajaran bagi diri sendiri dan siapa pun yang sempat membacanya. Tulisan yang pendek saja, dengan misi terbesar adalah mengisi waktu untuk hal yang semoga bermanfaat sehingga mendatangkan nilai ibadah di hadapanNya.
Saya pun kemudian menuangkan sedikit pengetahuan, pengalaman dan pikiran-pikiran saya. Harapan lainnya, hasil buah pikiran saya yang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa ini pun bisa turut menggiring opini dunia, ke arah yang kembali, menurut saya baik. Yang adalah opini bahwa : ENERGI POSITIF, SEMANGAT JUANG, HARAPAN, KESABARAN MENGHADAPI COBAAN, adalah HAL-HAL AMAT PENTING BAGI MANUSIA sehingga semestinya tak pernah lelah kita menjaga dan memperjuangkannya sepanjang waktu. Sampai ia bekerja bak tarikan nafas dalam diri kita. Seberapa kecil pengaruh itu, saya tak ambil peduli...! :)
Minggu siang, handphone saya membunyikan ’notification email’. Dari kompasiana rupanya. Sebuah tanggapan pada tulisan yang pernah saya tayangkan di media yang menjadi favorit saya tersebut, dimana merupakan ”blog keroyokan” di tulisan yang berjudul : Chairul Tanjung si Anak Singkong.
Bunyi email tersebut adalah sebagai berikut :
Artikel Anda yang berjudul "" mendapat tanggapan dari Setyo Margono (http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/07/11/chairul-tanjung-si-anak-singkong-476273.html)
Tanggapan: Sudah lama buku ini beredar & lama ingin punya, tapi tertunda. Beberapa kali lihat di perempatan jalan2 besar di Denpasar, ada yg menjual buku ini keliling dari mobil ke mobil. Hari ini, dengan niat bagi rejeki ke mereka yg jualan di pinggir jalan, akhirnya terbeli juga buku ini. Sempat tawar menawar, dari harga 65rb akhirnya deal 55rb (wong bandrol harganya kan hanya 58rb). Eh, ketika saya buka di rumah, ternyata bukunya AS-PAL, asli tapi palsu! Kulit bukunya persis aslinya, tapi isi dalamnya: hitam putih doang! alias hasil copy-an. Astaghfirullah, sebegini parahnya pemalsuan di Indonesia! Tinggal niat untuk sedekah aja yg tersisa. Mudah2an tidak terulang dengan calon pembeli yg lain. Lebih baik beli di tempat toko2 buku resmi saja!
Dan seketika saya menengok lembaran tulisan yang saya tayangkan pada tanggal 11 Juli 2012 lalu, serta merta saya berseru pada Pwd ( suami,..red ) ”Subhanallah....Ini pembacanya sudah hampir 24,500 orang Pak. 660 orang menyukai, dan 9 orang membagikannya ke twitter mereka. Haduhh...Bahagianya aku!!!. Semoga di antara sekian ribu orang yang membaca, ada di antaranya yang kan terbakar semangatnya sehingga kelak tumbuh menjadi CT-CT di masa depan ya... Amien..amien... ”
Dari sharing pengalaman dan pengakuan Pak Setyo, rekan kompasiana yang ‘terjebak’ membeli buku ASPAL, dengan ini saya juga ingin mengajak pada rekan-rekan untuk tidak terperosok di lubang yang sama. Mungkin memang ada yang keliru dengan sistem yang ada, sehinga pembajakan buku-buku ataupun CD-CD terus saja berlangsung dan terjadi.
Namun, karena menurut saya, bagaimana pun semua perbaikan dan perubahan harus selalu diawali dari diri sendiri. Jika orang lain melakukannya, bukan berarti hal itu bisa dianggap sebagai tolok ukur sebuah kebenaran bukan? Boleh dan tidak boleh, itu menjadi semakin relatif dan menjadi pasal karet bilamana kita melihat ‘mayoritas’ menjadi sebuah ukuran untuk boleh melakukan sesuatu.
Atau jika kita pun pernah berpartisipasi dalam pembajakan itu di masa lalu, masih ada jalan untuk kembali meluruskan niat dan tindakan. Karena apa artinya sebuah ilmu jika mendapatkannya dengan cara yang keliru bukan?
Sebagai penulis, sebaiknya memang ‘no mind’ atau tak usah memikirkan, sebanyak apa pembaca tulisan kita. Seberapa baik respon orang lain terhadap ide yang kita gelindingkan. Pun seberapa besar pengaruhnya pada pikiran orang lain yang membacanya.
Tips itulah yang membuat kita menulis tanpa beban. Saya pun terus berjalan ke arah sana.
Tapi sebagai penulis pemula pun, secara jujur pun saya akui bahwa hadirnya pembaca di ruang-ruang saya di dunia maya, telah menyemarakkan hari-hari saya. Dan saya bahagia karenanya....:):)
Kebahagiaan itu bersifat AMAT PERSONAL, saya setuju 100% Pak Teddy Rachmat...!! hehehe
Semoga setiap kita mampu memunguti peristiwa-peristiwa kecil yang kan membuat hari-hari penuh warna-warni dan mendapati diri diliputi perasaan BAHAGIA....! Karena sesungguhnya kitalah nahkoda dari pikiran dan hati. Dimana keduanya menjadi kendali atas sebuah tindakan, di perjalanan hidup yang masih terus kan kita lalui :):)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H