Sebut saja namanya Kang Parjo ( bukan nama sebenarnya, red). Di jaman saya kecil, beliau adalah seorang petani biasa. Petani miskin tepatnya, karena sawah miliknya hanya sedikit saja. Sisa waktunya ia pergunakan menggarap sawah orang lain dengan imbalan upah harian, maupun dengan sistem kerjasama bagi hasil secara tahunan. Saya masih hafal benar menu sarapan istimewa keluarga itu ; nasi dimakan dengan garam yang digoreng dan sambal. Atau nasi dimasak dengan parutan kelapa ditambah garam. Dimakan tanpa tambahan lauk apa pun. Seorang putrinya sering ikut makan bersama keluarga kami, meski menu sederhana, setidaknya lebih variatif dengan lauk pauk yang cukup nutrisi. Karena memang baru hal kecil itu saja yang bisa dilakukan, selain meminta bantuan berbagai hal pada Kang Parjo dengan upah sebagaimana wajarnya masyarakat desa.
Waktu terus berjalan. Kang Parjo mulai belajar memijat. Dari mulai pijat capek, pijat keseleo dan berbagai pijat pengobatan. Hanya butuh beberapa tahun kemudian, namanya sudah amat terkenal di berbagai penjuru desa, hingga lintas kabupaten.
Banyak ‘pasien’ memanggil memijat ke berbagai tempat. Dan sebagiannya lagi memilih datang ke rumahnya untuk dipijat di tempat.
Di kampung kami, Kang Parjo telah dikenal sebagai ahli pijat yang amat disegani. Bahkan dianggap sebagai ‘orangtua’ karena banyak orang terkilir, keselo, dan masuk angin berat terobati.
Di musim lebaran, ia banjir order dari para perantau yang mudik ke desa. Jasanya amat dibutuhkan untuk menghilangkan rasa lelah di perjalanan, atau pun sekadar iseng menikmati liburan sambil ngobrol kesana kemari dengannya. Keluarga kami yang ditakdirkan hidup di perantauan sebagian besarnya menjadi langganan setia pastinya. Sekali datang beberapa pasang kaki, tangan dan punggung-punggung berjejer di lantai siap digarapnya :D Omset yang lumayan bagus untuk beliau pastinya.
Kang Parjo kini tengah pensiun sebagai petani. Ia bahkan mempekerjakan orang lain untuk menggarap sawah ladangnya yang terus bertambah dari rizki memijat tadi.
Demikianlah kehidupan, selama seseorang berusaha menemukan dan mengembangkan talentanya, maka roda kehidupan akan mengangkatnya ke permukaan. Jangan pernah remehkan profesi seseorang, karena bila ketekunan bersenyawa dengan doa-doa yang dilangitkan, maka martabat manusia ada di tangan Sang Penciptanya. Ia mampu mengangkat yang hina menjadi mulia dengan jalan yang tidak pernah disangka sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H