Mentari kian meninggi ketika shalat Idul Adha di tanah lapang digelarkan. Tanah lapang itu bukan benar-benar lapangan basket, lapangan bola, apalagi hamparan rumput hijau tempat bermain layang-layang sebagaimana di daerah pedesaan. Namun adalah halaman masjid kami yang akhirnya diperluas ke jalanan. Tak apalah, memang alas bumi dan atap langit yang dibentangkan itu bisa berujud apa saja.
Dari yang paling asri dan alami, hingga jalanan beraspal sebagaimana yang kami gunakan.
Antusiasme umat muslim di lingkungan kami ternyata amatlah tinggi untuk mengikuti event akbar tahunan yang berlangsung tak lebih dari satu jam saja. Maka ketika kami datang ke lokasi, harus rela mendapat shof ( baris, red) di belakang.
Jika kami tak membawa koran, tetapi malah tikar, itu karena tak ada stok koran bekas yang bisa digunakan. Tapi keadaan terpaksa bawa tikar ini berakhir dengan rasa terpuaskan. Karena tikar kami dapat menampung 3-4 orang jamaah lain, sehingga diam-diam ada rasa bersyukur dan bahagia yang merambat pelan. Ini memang rumus yang tak terbantahkan, ketika menebar kegembiraan bagi orang lain ternyata justru berimbas pada kegembiraan yang melesak dalam diri sendiri.
Sekian ratus jamaah tertib dan khusyuk mendengar khotib berkisah tentang sejarah qurban. Sejarah Bapak moyang kita yaitu Nabi Ibrahim AS dan Ismail putranya. Pastilah setiap kepala terisi dengan imajinasinya ketika itu. Sebagian angan mengembara ke negeri para nabi, dan mendapati dirinya begitu kecil di hadapan TuhanNya. Bukan hanya jarak antar jaman dan jarak antar dataran yang menjadikan hikmah kisah itu bak angin yang berhembus sekali waktu, terlebih karena tekad menuntut ilmuNya memang demikian lemahnya. Atau barangkali arus jaman yang demikian derasnya mengaburkan semuanya. Menjadikan kepala sibuk membangun duniawi dan mengejar masa depan yang digambar sesuai pola dan sketsa yang digoreskannya. Tanpa diimbangi usaha yang sama besarnya dalam merebut simpatiNya. Mengejar kehidupan yang abadi di alam sana, dengan pengabdian yang terus terbarui.
Kepala ini masih saja asyik dengan imajinasi. Tentang bentuk-bentuk pengabdian apa saja yang bisa dilakukan pada PenciptaNya. Perbaikan apa yang bisa dilakukan demi merebut simpatiNya. Lamunan saya buyar ketika do’a penutup dibacakan. Semua jamaah mengangkat tangannya. Beberapa mata terpejam mencoba membangun kekhusyukan dirinya. Dan pasti banyak hati yang bertekad untuk berevolusi. Menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Menjadi hamba yang taat dari sebelum ini.
Namun alangkah mirisnya hati ini ketika melihat mereka berdiri dan meninggalkan tempatnya dengan menyisakan koran-koran yang baru aja digunakannya. Koran-koran itu lalu terinjak jamaah lain, dan makin amburadulnya keadaan. Hanya dalam beberapa saat, sampah-sampah berserakan telah diciptakan.Pasti mereka berpikir bahwa nanti akan ada pihak lain yang membereskan. Budaya mengandalkan rupanya telah meracuni dalam hampir setiap pribadi. Pasti kan ada pihak lain yang membutuhkan yang akan mengemasi
Inikah perbaikan yang sedang engkau mulai saudaraku? Inikah bentuk pengabdian pertama yang ingin kau torehkan dalam sejarahmu di hari ini? Kepalaku berdenyut, dan hatiku menjadi ngilu. Bukankah perbaikan besar tak kan pernah terwujud jika kita tak sedia melakukannya dari hal terkecil? Atau inikah miniatur Indonesiaku ?? Sebelah hatiku berontak menjawab TIDAK. Meski di sisi hati lainnya menjawab MUNGKIN…:(:(
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H