Mohon tunggu...
Dita Widodo
Dita Widodo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

1996 - 2004 Kalbe Nutritional Foods di Finance Division 2004 - 2006 Berwirausaha di Bidang Trading Stationery ( Prasasti Stationery) 2006-sekarang menjalankan usaha di bidang Travel Services, Event Organizer dan Training Consultant (Prasasti Selaras). 2011 Mulai Belajar Menulis sebagai Media Belajar & Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Bersahabat dengan Para Pocong

6 September 2012   01:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:52 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1346896384777109002

Hayo silakan kalo mau masuk Bu....ga usah bayar... Biar bisa lihat-lihat....” demikian tawar sahabat baru kami Mas Viko, salah seorang marketing Rumah Pocong di kawasanTaman Wisata Matahari- Cileumber saya ketika kami duduk-duduk sambil berdiskusi perihal pengembangan SMARTNIVAL, wahana permainan ketangkasan kami yang terletak persis di sebelahnya.

Berteman dengan tenant sebelah kanan-kiri khususnya dan seluruh komponen di lokasi wisata itu adalah sebuah kewajiban dan kebutuhan bagi kami tentunya, sebagai anggota baru dalam keluarga besar bernama TWM.

Waduh....ga deh Mas...maaf  sekali, aku tuh penakut sebenarnya...Jangan-jangan saya malah nggak bisa tidur berhari-hari setelah masuk Rumah Pocong-mu.. he he he... ” . demikian sahut saya sambil tertawa.

Awalnya saya sungguh terheran-heran menyaksikan pengunjung berduyun-duyun datang mengantri di tempat yang sengaja didesain semisterius mungkin, seseram mungkin itu. Bangunan bernuansa hitam dengan gambar aneka pocong di dinding-dinding depannya sudah membangun imajinasi masa akan isinya.

Akhirnya saya memilih mencoba mengamati dan menganalisa dari berbagai sudut pandang. Dari sisi bisnis sebagai salah satu komoditi di industri hiburan/wisata, dari pergeseran nilai antar jaman, dan dari sisi manusia-manusia yang terlibat di dalamnya.

Ide gila juga ini Mas.... Jika di Dunia Fantasi – Ancol, orang datang dan membayar cukup mahal untuk membeli rasa “deg-deg plas...”, di sini orang diundang untuk membeli rasa takut...”

Demikian kelakar saya sambil terus menyaksikan orang yang keluar dari Rumah Pocong dengan aneka ekpresi. Ada yang tertawa-tawa, menjerit dan berteriak histeris, dan lainnya senyum-senyum dengan rona wajah yang segar terhibur.

Di jaman saya kecil di kampung dulu, anak-anak sudah akan takut setengah mati mendengar nama pocong disebut. Jangankan untuk bertemu dan berkenalan, mengingat dan menyebut saja sudah dianggap tabu. Termasuk saya, yang mungkin bisa digolongkan sebagai manusia penakut, lebih memilih untuk tidak pernah tertarik membahas perhantuan. Saya meyakini bahwa orang yang sudah meninggal tidak mungkin dapat mengganggu manusia lain, bahkan untuk sebuah penampakan misalnya. Mereka sudah sibuk juga dengan pengadilan babak-babak awal di alam kubur masing-masing sebelum kiamat tiba.

Jadi jika ada yang bercerita tentang pocong ataupun hantu....sebagai seorang beriman saya tentu mempercayainya sebagai adanya makhluk ghaib, bernama jin atau syaitan. Tapi sudah akan berhenti sampai di situ tanpa berminat membahas lebih jauh, karena buat saya, membangun ketakutan dan hal-hal yang berbau mistis bukan pilihan menarik. Bukankah masih banyak topik lain yang lebih seru ataupun menghibur? Jadi di masa kecil saya, jelas pocong bukanlah masuk klasifikasi produk hiburan, meski “pocong-pocongan” sekalipun. Jadi mustahil ada yang melihat pocong sebagai peluang bisnis yang menghasilkan jutaan rupiah dalam setiap harinya.

Pergeseran sudut pandang telah dibuat manusia setelah jaman berganti. Di masa kini, pocong memang masih dianggap sebuah misteri yang mengundang perhatian dan berjuta tanya. Buktinya, pengunjung merasa penasaran untuk bertemu dan berkenalan dengannya. Tentu karena mereka tahu bahwa ini bukan pocong sungguhan, tapi pocong jadi-jadian.

Di Indonesia yang dekat dengan klenik dan mistis, tontonan kayak gitulah yang disukai.....” demikian saya mendengar seseorang berkomentar tentang keberadaan Rumah Pocong maupun Rumah Hantu.

Pocong atau hantu dari dulu hingga sekarang tetap mengundang rasa penasaran. Jadi bukan perkara mistis dan tidak mistis ya. Itu sih fitrah manusia. Buktinya di luar negeri juga orang bikin film “Ghost” yang dimainkan Demmi Moore. Dan itu juga laris manis bukan?” sahut lawan diskusinya, yang mempunyai pola pikir berbeda.

Terlepas dari berbagai penilaian dan komentar itu, saya melihat Rumah Pocong dan Rumah Hantu adalah produk permainan manusia-manusia kreatif dan menyukai tantangan.

Mas Yudi pemilik Rumah Pocong itu adalah pemilik usaha outbond. Ia memiliki beberapa landy yang biasa digunakan untuk wisata petualangan ke alam atau hutan-hutan, yang sering dinamakan Fun Offroad.

Jadi tidak heran jika ia menjalankan usaha yang cukup unik tersebut, dengan segala taruhan investasi yang tak sedikit tentunya. Sama dengan karakter sebuah usaha baru lainnya, study kelayakan hanya salah satu faktor landasan saat pengambilan sebuah keputusan. Masih banyak faktor X lainnya yang kan menentukan di depan nanti, apakah akan berjalan lancar dan menguntungkan seperti harapan, atau sebaliknya, kandas dan merugi, dan meninggalkan sebuah catatan pembelajaran.

Namun jika dilihat pengunjung di akhir pekan yang melebihi angka 1.000 pengunjung per hari dan rata-rata pengunjung di hari biasa 200-300 orang, saya prediksikan investasi sudah mencapai Break Event Point dalam beberapa bulan saja.

Bu Ayi....siapa tuh pake jaket mirip Harry Potter itu?” saya bertanya pada sahabat yang berjalan di samping saya ketika melewati Rumah Hantu, sebuah pertunjukan yang mirip Rumah Pocong di area yang lain.

Si pemakai jaket itu kepalanya ditutup cadar yang dipegangi oleh rekannya yang menggunakan pakaian biasa.

Oooh....itu pasti yang jadi hantu Bu....Mungkin baru aja ke toilet atau baru aja cari makan” sahut sahabat saya.

He..he...he....lucu juga ya.....lucu melihat mereka lari-larian takut wajah aslinya di luar ruang terlihat pengunjung. Tapi sekaligus salut juga...Mereka mau mengerjakan pekerjaan apa saja yang penting halal. Warna hitam tembok dan hampir seluruh property di dalam sana tentu menyerap panas yang lumayan. Saat menahan pengap dan panas, ia masih dituntut untuk bisa berperan jadi hantu/pocong...menakut-nakuti pengunjung...” celoteh saya sambil berjalan menuju front office untuk menghadiri rapat kecil.

Rumah Pocong berhasil menjadi daya tarik tersendiri sebagai pilihan wisata karena berhasil menyajikan tontonan atau pertunjukan dengan sentuhan 3 aspek yaitu visual, auditorial dan kinestetik.

Secara visual atau tampak di mata, ia berhasil membangun image horor, misterius, mengundang rasa penasaran, dst

Bunyi-bunyian yang sengaja di-create dan ditimbulkan untuk menciptakan suasana mencekam pun turut berperan dalam keberhasilan mempengaruhi imajinasi pengunjung. Dan akhirnya, ia mampu menyentuh rasa.....

Kemampuan memainkan rasa inilah menurut saya adalah puncak dari keberhasilan sebuah pertunjukan/hiburan atau apalah namanya....

Rasa sedih, marah, takut, tertantang, terhibur, gembira.....adalah deretan efek yang merupakan hasil karya sebuah kreatifitas dalam konteks ini.

Ya,....pekerjaan MENGOLAH RASA, ternyata itulah PR dan pelajaran kami berikutnya. Tidak mudah memang, tapi bukan sebuah hal yang mustahil untuk dipelajari....termasuk belajar pada sahabat-sahabat baru kami, para pocong dan teman-temannya...:):):)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun