Mohon tunggu...
Dita Widodo
Dita Widodo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

1996 - 2004 Kalbe Nutritional Foods di Finance Division 2004 - 2006 Berwirausaha di Bidang Trading Stationery ( Prasasti Stationery) 2006-sekarang menjalankan usaha di bidang Travel Services, Event Organizer dan Training Consultant (Prasasti Selaras). 2011 Mulai Belajar Menulis sebagai Media Belajar & Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

BKT antara Pembelajaran dan Sejuta Harapan

30 September 2012   10:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:27 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_208921" align="alignleft" width="300" caption="sampan_BKT_DW"][/caption] [caption id="attachment_208925" align="alignleft" width="300" caption="kebun kangkung_BKT"]

1349001766624644710
1349001766624644710
[/caption] [caption id="attachment_208927" align="alignleft" width="300" caption="gubuk tepi BKT"]
13490018902133596127
13490018902133596127
[/caption] [caption id="attachment_208931" align="alignleft" width="300" caption="sayur daun singkong_BKT?"]
1349002150347600673
1349002150347600673
[/caption] Bersepeda keliling komplek, lalu menyusuri perkampungan di sekitar kami, untuk kemudian sejenak duduk-duduk di tepi BKT adalah salah satu cara kami dalam membuka akhir pekan. Olahraga rekreasi murah, bahkan gratis ini cukup memberikan kebugaran dan menciptakan sejumlah kegembiraan dalam team kecil kami. Deretan sekitar 5 gerobak tukang sayur yang sekilas mirip pasar kecil dan  terletak tepat di gerbang belakang perumahan kami itu selalu menjadi jalur favorit yang selalu kami lewati saat bersepeda santai sebagaimana hari-hari sebelumnya. Tawar menawar kecil dan wajah-wajah ceria antar pedagang dan pembelinya semakin menambah kemeriahan suasana pagi. Ibu-ibu yang datang dengan penampilan paling alami tanpa sapuan rias wajah sedikitpun justru menghadirkan suasana keakraban yang benar-benar natural antar mereka. Dan gunungan aneka sayur mayur itu pun turut mengundang naluri ibu-ibu saya untuk kemudian berkata “Pak, nanti pulangnya lewat sini lagi ya....aku mau sekalian belanja deh. Aku mau masak sayur daun singkong siang nanti. Tuh lihat...terlihat muda-muda sekali daunnya......” Ya...begitulah kira-kira. Sepeda yang saya naiki tentu saja bukan sepeda mahal dan bermerk terkenal. Sepeda jengki merah itu kami beli di toko terdekat beberapa tahun lalu. Kualitas sepeda kuperkirakan setara dengan sepeda jengki biru saat saya sekolah SMP dulu. Cukup untuk keliling komplek dan jarak terjauh adalah pasar Bintara yang tak seberapa jauhnya dari tempat kami. Meski mungkin agak terlihat jadul jika dibanding sepeda-sepeda ‘funky” jaman sekarang, tapi lebih dari cukup untuk kebutuhan saya tentunya :) “Ibu....kita istirahat dulu di sini ya....Aku mau minum dulu nih...” teriak putri kami seraya menyandarkan sepeda kecilnya. Tentu saja kami, orangtuanya segera mengikuti saja. Kami duduk-duduk di gubuk kecil terbuat dari bambu yang terletak di tepi BKT itu seraya mengedarkan pandangan ke sekitarnya. “Wah..lihat tuh, ada sampan kecil penyebarangan. Lengkap dengan dermaganya pula ! Cerdas juga itu si Bapak ya....rute sampannya persis menghubungkan dua jalan yang terpisah BKT ini. Kayaknya gubuk ini juga berfungsi sebagai arena bermain dan duduk-duduk di sore hari..!” komentar saya sambil memperhatikan dermaga yang terbuat dari kayu yang tersusun cukup rapi. Dermaga itu dibuat untuk mempermudah lalu lalang penumpang yang rata-rata adalah pejalan kaki. Saya jadi teringat beberapa tahun lalu naik sampan serupa ketika menyeberang sungai di depan kawasan Taman Impian Jaya Ancol. Itu adalah cara praktis menghemat waktu dan energi bagi pejalan kaki untuk sampai ke seberang. “Selamat pagi ibuuuu....wah, asyik banget nih pagi-pagi naik sampan. Ngomong-ngomong, berapa tarifnya Bu?” sapa saya sok akrab ke salah satu ibu-ibu yang baru saja turun dari sampan itu dan melewati gubuk tempat kami singgah. “Iya neng....lumayan praktis. Kalo jalan muter kejauhan, capek. Bayarnya 1.000 rupiah saja” jawab si ibu dengan senyum mengembang sambil berlalu. Gubrak deh dipanggil “neng”....tapi sejujurnya senang juga dikira masih muda...he he he “Wah....aku yakin lebih dari seratus orang setiap hari naik perahu itu. Dan jika Bapak itu tak pernah libur berarti 30 hari x 100 x  1.000 = Rp. 3 juta sebulan minimal! Lebih dari UMR DKI ya....!” komentar suami setelah si Ibu berjalan menjauh. “Inilah yang dimaksud TP Rachmat barangkali... (Theodore Permadi Rachmat, pengusaha sukses yang adalah keponakan Om Liem ( profile dapat dilihat di http://www.orangterkayaindonesia.com/profil-theodore-rachmat-orang-super-kaya-di-indonesia/). Dalam buku yang berjudul Pembelajaran TP Rachmat, tulisan Ekuslie Goestiandi & Yusi Pareanom, banyak hal menarik yang dapat kita simak dan semoga sempat saya tuangkan di lain waktu....red ) Bapak pemilik sampan itu bisa dikategorikan orang sukses. Sukses itu memang relatif bagi setiap orang. Sukses merujuk pada pencapaian. Orang sukses itu memiliki sikap proaktif. Mereka bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri. Mereka tak akan menyalahkan pihak lain atau faktor di luar dirinya jika mengalami kegagalan dan hal yang tak menyenangkan. Mereka tidak akan membiarkan diri dirubah oleh lingkungan sekitarnya, bahkan justru berusaha semaksimal mungkin ikut mengubah keadaan yang mengelilinginya. Perubahan dengan menciptakan “demand” dan menangkap peluang yang dilakukan Bapak pemilik Sampan ini mungkin adalah perubahan kecil bagi orang lain. Tapi sekecil apapun itu, nyatanya telah berdampak pada perbaikan pendapatan dan nasib keluarganya. Ia bahkan sudah memberikan contoh bagi pemprov DKI menuangkan ide dan cita-cita jangka panjang, dalam menjadikan BKT sebagai media transportasi air yang juga menjadi wahana rekreasi.” Demikian saya berceloteh tak kalah panjangnya....:) “Wow...lihat Bu, itu perkebunan sayuran bukan? Tanaman apa saja itu?” putri saya kembali berteriak-teriak minta penjelasan ketika kami melanjutkan perjalanan bersepeda. ”Oh..itu penduduk sekitar BKT yang memanfaatkan bantaran sungai untuk media tanam Nak...Lihatlah, tanamannya subur-subur ya.....Yang itu, kebun kangkung. Sebelahnya bayam, kacang tanah, selada air, kebun singkong, tanaman kenikir. Itu jenis dedaunan yang suka Ibu beli buat lalap lho......Ohya, ada labu juga tuh....” sahut saya dengan sumringah menjelaskan. Selain aneka sayuran, BKT di sekitar kami masih dikelilingi bunga dan rumput liar beserta tanaman semacam jarak, mengkudu, petai cina, turi, dsb. Dan kesempatan itu saya pergunakan sebagai media belajar di alam bebas bagi putri kami. ”Lihat Nak....itu namanya jola jali. Jaman kecil dulu, Ibu dan teman-teman merangkai biji-bijinya untuk dijadikan kalung dan gelang. Dan itu sudah cukup jadi aktifitas yang seru dan menggembirakan, karena pasti kami belum mengenal mote-mote seperti sekarang” demikian saya menerangkan. Berharap putri kami semakin meresapi bahwa kegembiraan itu tak harus mahal. Bahagia adalah sederhana, di saat kita mensyukuri apa yang ada. Dan pagi itu, tidak sekedar keringat yang kami dapatkan. Tapi beberapa pembelajaran hasil obrolan ringan itu semoga menghasilkan sejuta kesan dan pesan bagi junior kami. Belajar berpikir positif, dan menciptakan kegembiraan dengan cara-cara sederhana, semoga menjadi pengisi software handal yang kan berguna di kelak kemudian hari....:)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun