Mohon tunggu...
Dita Widodo
Dita Widodo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha. Praktisi urban garden dari 2016-sekarang. Kompasiana sebagai media belajar dan berbagi.

1996 - 2004 Kalbe Nutritional Foods di Finance Division 2004 - 2006 Berwirausaha di Bidang Trading Stationery ( Prasasti Stationery) 2006-sekarang menjalankan usaha di bidang Travel Services, Event Organizer dan Training Consultant (Prasasti Selaras). 2011 Mulai Belajar Menulis sebagai Media Belajar & Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Dodol dan Ketan antara Rasa Syukur dan Harapanku

23 September 2012   03:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:53 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_207344" align="alignleft" width="300" caption="Dodol & Ketan_DW2012"][/caption] “Seluruhnya tentang kota,  cuma mengajariku untuk melihat kampung ini secara lebih berharga!” Buat orang yang berasal dari desa seperti saya, tentu kalimat Ipung di atas seperti mempunyai ruh karena memang demikianlah kenyataannya. Berhari-hari cerita tentang Ipung, dalam buku Hidup Ini Keras maka Gebuklah karya Prie GS mengantarkan sejumlah kegembiraan dan refleksi bagi saya dan keluarga. Tidak hanya suami dan anak, hingga asisten rumah tangga pun saya ajak serta untuk tertawa bersama, belajar bersama. Maka, saat pagi ini aktifitas belajar menulis saya ditemani dengan secangkir kopi dan dodol + ketan ( di Jakarta atau Betawi biasa disebut uli, red ) pemberian seorang famili dari kampung yang berkunjung, seperti mengangkat kembali episode hidup di masa lalu. Ia muncul begitu saja bagai film-film yang diputar kembali. Cerita jadul yang teramat biasa, namun selalu mendatangkan kegembiraan setiap kali mengenangnya. Apakah cerita bernilai kesejarahan adalah juga kegembiraan? Bisa jadi. Masih teringat di jaman saya kecil, di mana kakak-kakak hampir seluruhnya hidup dan tinggal di Jakarta, sekali-sekali saya ikut Bapak menengok mereka. Tentu tidak sering, selain saya sekolah, sesungguhnya pertimbangan utamanya pastilah soal “hemat biaya”. Karena jika saya ikut, pastinya akan ada tambahan satu tiket kereta ekonomi yang terasa cukup mahal harganya di jaman itu. Kereta api yang kami naiki dari stasiun Prembun, kota kecil terdekat kami sudah pasti berjubel penumpang. Berbagai aroma yang bercampur aduk, tak sampai mendatangkan rasa sebal. Pedagang asongan yang hilir mudik sama sekali tidak kami permasalahkan, namun menjadi semacam hiburan yang kedatangannya hanya akan mendatangkan kegembiraan. Malah sempat terbersit kebanggaan dan penghargaan : hebat sekali mereka itu....tak pernah lelah sepanjang waktu. Tak mengeluh sedikitpun meski waktu tidurnya jelas tidak menentu. Bertahun-tahun kemudian saya pun baru menyadari.... Itukah indahnya kesederhanaan? Kesederhanaan akan sebuah kemauan dan keinginan, sejalan dengan kesederhanaan tuntutan hidup. Bahagia itu sederhana, saya terus meyakininya hingga kini. Ketan dan jenang alot ( dodol Jawa ) itulah makanan andalan sebagai oleh-oleh yang akan dibawa ke Jakarta. Keduanya hampir setara maknanya dengan penyambutan tamu dari Jakarta dengan memotong ayam kampung kami yang memang banyak jumlahnya. Ayam-ayam itu biasa bermain dan berkeliaran dengan riangnya di pekarangan rumah kami yang memang cukup luas membentang. Mereka sengaja tak dilepaskan dalam kurungannya untuk dipotong saat ada rombongan kakak pulang, yang kemudian dianggap sebagai tamu di rumah kami semua itu. Acara makan bersama yang lebih mirip sebuah perjamuan. Dan hingga masa SMP, air mata saya sudah mulai akan berlinang begitu melepaskan mereka pergi kembali ke perantauan, sebuah kota nun jauh di sana. Keponakan-keponakan yang berceloteh dalam bahasa Indonesia yang mengalir lancar benar-benar saya nikmati keberadaannya. Maka, ketika rumah kembali sepi, seperti ada yang hilang rasanya. Perasaan yang aneh tentu saja. Jarak ratusan kilometer adalah jarak yang saya maknai sebagai bumi dan mars, jarak antar planet yang sudah terbayang jauhnya. Keriuhan kumpulan manusia dari planet lain yang sebetulnya adalah kakak dan keluarganya ketika mereka berkumpul di rumah kampung kami menjadi sesuatu yang selalu saya nantikan. Momen yang penuh kegembiraan, lengkap dengan dongeng-dongeng kemegahan dan kemajuan sebuah kota metropolitan bernama Jakarta. Pelan-pelan, alam bawah sadar saya sudah menggiring pikiran untuk membuat peta hidup di masa mendatang. Masa puluhan tahun berikutnya, tentu saja. Mobil Toyota Taft pertama milik kakak laki-laki pertama kami di tahun 1980-an adalah simbol kesuksesan cerita seorang anak desa bak kisah Laskar Pelangi yang nyata terjadi. Keberhasilan dan pencapaiannya memecahkan rekor anak desa pertama yang sukses di rantau dengan meraih profesi sebagai dokter spesialis anak, bukan saja menjadi inspirasi dan motivasi bagi seluruh keluarga besar kami, tapi juga mengharumkan nama desa kami. Dan pengorbanan serta perjuangan orang tua kami dengan menjual hampir seluruh sawah ladangnya untuk membiayai sekolah kakak-kakak saya yang jumlahnya hampir selusin adalah kisah lain yang tak akan mungkin dituangkan dalam beberapa lembar halaman saja. Tentu tidak semuanya ditanggung oleh orang tua kami, karena pastinya sudah akan berada di posisi minus jika saja kakak pertama tidak menjadi dewa penolong untuk adik-adiknya. Ia telah berperan sebagai pemegang tongkat estafet dan pelan-pelan mengambil alih beban berat yang ada di pundak orang tua, dalam mendorong adik-adiknya menuntaskan pendidikan. Meski kami semua adalah wong ndeso, tapi kami tahu bahwa tanpa pendidikan dan perjuangan, kami akan terlindas jaman yang terus bergerak lebih cepat dan lebih cepat sepanjang hari. “Tekhnologi informasi dan handphone-handphone canggih ternyata tidak hanya mendatangkan pengaruh positif  seperti meningkatnya kecerdasan dan kepintaran anak-anak sekarang. Banyak hal negatif pun akhirnya terjadi, bagi mereka yang salah memanfaatkan. Kemauan menjelajah dunia segampang menekan tuts handphone di jari-jarinya. Tak terkecuali dunia yang tak ia sadari akan menjadi virus-virus berbahaya yang menyerang otaknya, dan meluluhlantakkan masa depannya” demikian keluh salah satu kakak ipar saya yang saat ini berprofesi sebagai pendidik di daerah kami. Kakak ipar di sini sekedar penjelasan formalitas saja, karena ipar dan tidak ipar buat saya tak ada bedanya. Mereka adalah bagian keluarga yang kini saya rasakan telah menyatu bagai segelas teh dengan gulanya. Sebuah senyawa yang memberi rasa manis pada lidah penikmatnya...:) “Hmm....Begitu ya... Laju teknologi dan modernisasi tentu tak kan mampu kita bendung. Facebook dan media sosial lainnya akan bermanfaat atau sebaliknya sebenarnya tergantung si pemakainya. Ini tak lebih bak sebilah pisau, bisa berfungsi memotong sayuran dan daging, dan bisa untuk melukai orang lain maupun diri sendiri. Tapi anak-anak itu juga bukan tidak perlu kita bantu. Aku sih ada ide, tapi entahlah ini bisa jalan atau tidak. Menurut hematku, mereka perlu diberikan ’trigger” untuk bisa belajar dan berfikir. Banyak hal yang bisa dikerjakan untuk mengisi hari-hari yang berjalan. Seseorang yang mempunyai tujuan dan mampu membuat peta hidup, tak akan menukarnya dengan segala sesuatu yang tak berguna. Coba kumpulkan anak-anak yang Mba Tari kenal dan kita buat sebuah forum komunikasi bersama. Di sini kita yang telah melangkah beberapa kilometer di depan mereka harus bisa sedikit membantu meski sekedar saran, pesan, masukan yang nantinya dikemas dalam bentuk obrolan ringan. Kita bukan orang hebat, tapi setidaknya kita telah lolos menjalani masa muda dengan lebih bermartabat. Tidak mengerjakan hal-hal negatif, tidak melakukan hal-hal yang merugikan. Forum ini kita buat di dunia maya.....karena saya pun tak mungkin bisa mondar-mandir pulang kampung sepanjang waktu. Jadi kita buat semacam conselling dan berbagi cerita. Barangkali mereka hanya butuh didengarkan, butuh diapresiasi. Barangkali mereka perlu lawan diskusi yang memadai. Mereka bisa cerita apa saja. Bisa tanya apa saja. Dalam bentuk tulisan tentunya. Barangkali saya bisa mengajak teman-teman yang berkecimpung di dunia pendidikan remaja untuk ikut serta. Semacam psikolog, trainer dan motivator, dll. Pas Januari nanti saya pulang, Insya Allah kita bisa copy darat. Saya akan siapkan tips-tips belajar menulis agar mereka juga bisa menuangkan ide dan gagasan ke dalam tulisan. Tak perlu berorientasi pada pencapaian uang, karena menulis itu sendiri adalah media belajar yang benar-benar efektif bagi seseorang. Ia pun dapat menjadi sarana curhat yang sangat efisien.” Demikian saya menanggapi cerita Mbak Tari sambil memeras otak dan seluruh kemampuan. Seminggu telah berlalu, dan hingga tulisan ini saya tuangkan, belum satu langkahpun yang diaplikasikan. Jika pembaca mempunyai minat untuk berkontribusi dalam menggelindingkan ide forum komunikasi remaja ini, dan ide yang mungkin lebih cemerlang, tentunya saya akan menyambutnya dengan suka cita. Menurut saya, tak usah peduli seberapa hasil yang akan kita capai, setidaknya kita telah mengusahakannya. Ketika kita diberi mata dan telinga, semoga ia akan berfungsi sebagaimana Allah telah menciptakannya. Kembali harapan itu saya bungkus dengan sebuah kalimat yang selalu menjadi penyemangat diri bahwa ”Lakukan sesuatu yang kita tahu, semoga Allah menunjukkan apa yang kita tidak tahu”. Akhirnya pagi ini dodol dan ketan itu menjadi lebih berharga di mata saya, karena kedua jenis makanan itu telah menyusupkan sebongkah rasa syukur kehadirat sang Pencipta, bahwa hari ini, saya masih diberi panjang usia, dan masih bisa berkarya...:):)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun