Sebagaimana kebanyakan orang, saya pun menyimpan catatan-catatan kegembiraan dan keindahan di masa lalu. Terlebih karena otak telah memerintahkan untuk segera ’mendelete’ kenangan pahit dan menjengkelkan, maka saat ini yang tersisa dan sering menyeruak muncul tinggallah kenangan manis yang akan selalu indah untuk dikenang....:) Di masa kecil misalnya, saya hobby sekali ikut ibu ke pasar berbelanja kebutuhan pokok dan kemudian dengan embel-embel beli jajan pasar atau oleh-oleh lainnya baik berupa makanan ringan maupun mainan-mainan sederhana. Pasar di kampung saya dari jaman dulu hingga kini hanya beroperasi 2x dalam seminggu. Yang adalah di hari Rabu dan Minggu. Jadi 2 hari itu menjadi hari istimewa bagi kami semua. Yang jelas multi fungsi. Selain sebagai momen melakukan transaksi jual-beli, ia juga berfungsi sebagai refreshing / rekreasi gratis dan arena bersosialisasi antar warga. Transaksi jual-beli, karena sering seseorang memegang 2 peranan sekaligus. Sebagai penjual, dan sekaligus pembeli. Mereka datang dari rumah membawa barang dagangan entah beras atau ayam untuk dijual. Kemudian uang hasil penjualannya akan dibelikan kebutuhan lain seperti sayur mayur, lauk pauk, bumbu-bumbu, sabun, perabotan dapur dsb dll. Banyak kabar duka dan gembira antar warga beredar di pasar itu. Berita di ujung kampung akan segera terdengar ke telinga kita jika kebetulan hari itu memang hari pasaran. Hubungan penjual dan pembeli juga sudah layaknya sahabat lama bahkan saudara. Dan uniknya, ibu-ibu penjual di masa saya kecil itu masih banyak yang mempertahankan karier dan profesinya sebagai padagang di pasar itu hingga kini. Mereka masih setia menunggui dagangannya di usia yang hampir senja. Prediksi saya, mereka sudah menjadikan pekerjaan itu sebagai hobby dan sebuah kesenangan yang melekat dalam hidupnya. Sehingga saat pulang kampung bagi saya terasa sebagai reuni ke masa kecil. Keakraban suasana di pasar itulah antara lain yang membuat saya selalu ”kangen” dengan suasana desa kami, hingga hari ini. Salah satu jajan pasar yang saya sukai adalah buah sirsak. Tidak terpikir untuk membuat juice tentunya karena jelas perlengkapan juicer atau blender belum saya kenal di masa itu. Yang jelas buah ini amat saya sukai karena kesegaran rasanya. Asamnya pas. Manisnya pas. Dan harum sirsak matang juga tentunya pas dengan selera hidung saya. Dari biji-biji sirsak yang kami beli dan sebarkan di beberapa tempat, tumbuhlah pohon sirsak di pekarangan rumah kami. Halaman depan, kanan dan kiri, serta belakang nan luas ala rumah-rumah kampung pada umumnya. Pohon-pohon itu tumbuh subur dengan sendirinya tanpa perawatan. Beberapa tahun lalu, atas nama sebuah kesejarahan, saya ambil sebuah tunas sirsak di halaman itu. Kubawa serta ia menempuh jarak ratusan kilometer ke lokasi dimana saya tinggal saat ini. Dan tahu-tahu pohon sirsak itu kini telah meninggi. Daun-daunnya cukup lebat mulai berfungsi sebagai pelindung dari panasnya pinggiran kota. Menatap pohon sirsak itu, memberi kebahagiaan tersendiri. Kenangan suasana hiruk pikuk pasar Rabu-Minggu yang sangat menentramkan, disusul jutaan cerita indah yang mengiringinya...:) Kini, banyak penelitian telah membuktikan khasiat daun dan buah sirsak sebagai terapi aneka penyakit. Daun sirsak terbukti dapat menghambat pertumbuhan sel kanker, liver, bisul, sakit pinggang dll. Bahkan banyak dari penyedia obat herbal kini menjual extrak daun sirsak dengan harga puluhan ribu hingga ratusan ribu per botol. Cara penggunaannya pun cukup sederhana. Seperti pengobatan sakit kanker misalnya, 10 lembar daun sirsak direbus dengan 3 gelas air putih hingga air menyusut menjadi 1gelas. Air rebusan itulah yang diminum 2x sehari selama 2 minggu berturut-turut. Terapi semacam itu dipercaya setara dengan kemoterapi tradisional. Bedanya, kemoterapi ini jauh lebih aman, karena hanya membunuh sel kanker dan membiarkan sel yang normal/sehat hidup tanpa terusik. Buku-buku tentang penggunaan daun sirsak dengan penjelasan berbagai ahli terapi herbal dan dari ilmu kedokteran bahkan telah banyak beredar di toko buku semacam Gramedia. Namun ada hal lain yang melebihi rasa bahagia saya atas pohon sirsak itu daripada sekedar romantisme kesejarahan masa lalu. Pohon sirsak itu kini menjadikan hidup saya lebih berarti, karena banyak tetangga yang datang silih berganti memetik daunnya. Ucapan setengah berteriak seperti : ”Bu....mau daun sirsaknya ya....!” atau ”Daun sirsak ya Mama Mutia!” itu menjadi akrab di telinga dan terdengar riuh menyenangkan. Saya bahkan sudah memproklamirkan, bahwa pohon sirsak itu adalah milik umum. Siapapun boleh memetik tanpa ijin terlebih dahulu. Termasuk jika saya tidak berada di rumah sekalipun. Pohon sirsak yang masih remaja itu jelas telah menunjukkan kepada kami, bahwa sebuah derma yang kecil telah menumbuhkan sebuah kebahagiaan. Bagaimana jika kita bisa dan mampu berderma lebih banyak lagi? Pasti batin kita akan kebanjiran kebahagiaan di sekujur hidup kita. Maka, saya mulai berfikir jika 5 tahun mendatang Sang Pemilik Waktu masih mengijinkan kami menikmati terbit dan tenggelamnya matahari, derma apa yang masih mampu dilakukan? Bukankah benih dan tunasnya harus disemai dan ditanam dari hari ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H