Di dalam bahasa terdapat istilah 'redundansi' yang artinya berlebih-lebihan, contoh:
- a) Perkenalkan, nama saya adalah Syahbana.
- b) Perkenalkan, saya Syahbana.
Berdasarkan 2 contoh di atas, inti dari kalimatnya sama bahwa aku ingin memperkenalkan diri namun terdapat jumlah kata yang berbeda. Bentuk a mengalami redundansi, bentuk b menjadi efisien. Redundansi biasa kita lakukan sehari-hari, entah karena penekanan bahasa atau bahasa asing yang belum kita kuasai seperti bahasa Inggris di mana kita sudah terlanjur terbiasa dengan susunan "Hi! My name is Syahbana" ketimbang "Hi! I'm Syahbana". Secara umum, redundansi adalah hal yang cukup lumrah, namun bagaimana redundansi terjadi dalam konteks pendidikan?
Aku melihat pendidikan di Indonesia mengalami redundansi, tanpa berniat buruk dan tanpa mengecilkan, salah satu yang bisa aku contohkan adalah kelas agama pada bangku kuliah. Pada tingkat SD, SMP hingga SMA kita sudah mempelajari mata pelajaran tersebut, kemudian pada tahap perkuliahan di mana kita masuk dengan memilih satu jurusan tertentu demi berkonsentrasi di jurusan tersebut justru kembali bertemu dengan kelas agama. Aku lebih memilih kelas keagamaan dialihkan ke luar mata kuliah, jika Islam maka cukup dengan mendegar khotbah pada sholat Jum'at, dan keagamaan lainnya yang mungkin bisa dialihkan dengan program yang serupa. Baiklah jika memang harus sekali kita mempelajarinya, tapi cukup dengan 1 semester dan tidak perlu bertele-tele seperti mendapat hukuman berupa menulis resume dan lain-lain sebab ini bukan mata kuliah yang kita konsentrasikan.
Pendidikan di Indonesia juga terkesan lucu, selucu akronim dalam akronim. Sebagaimana bahasa yang mengalami redundansi, sistem pendidikan harusnya juga sudah mulai memangkas bagian-bagian yang memang perlu dipangkas guna mencapai misi yang lebih inti. Tentunya pemangkasan ini butuh konteks dan segmentasi, kelas agama pada tingkat SD, SMP dan SMA memang diperlukan namun tidak dengan tingkat perkuliahan, bukan berarti agama tidak penting, hanya saja ini seperti kita sedang diskusi satu persoalan dan tiba-tiba satu orang lainnya menyebut hal-hal terkait keagamaan yang justru off topic.
Redundansi ini juga dapat kita lihat pada bagian-bagian lain yang terjadi selama kita sekolah atau kuliah, banyak sekali saat-saat kita diberikan tugas namun guru atau dosen bertele-tele sehingga proses pembelajaran menjadi kurang efisien.
Bagaimana menurutmu? Apakah benar pendidikan di Indonesia mengalami redundansi? Jika iya, apa saja hal-hal yang menurutmu perlu dipangkas agar pendidikan kita lebih efisien?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H