Pada tahun 2017 hingga 2019 adalah masa-masa di mana aku masih punya keinginan yang tinggi dan saking tingginya aku sendiri tidak mampu menyadari bahwa aku hidup. Bagiku, terdapat dua jenis orang dalam hidup ini, yang hidup saja dan yang menyadari akan hidupnya sehingga jiwanya lebih bebas, dalam 3 tahun itulah aku masih menjadi jenis yang pertama. Memiliki keinginan "semua harus sempurna" atau "aku harus menjadi pusat perhatian" adalah bagian dari berbagai hal yang kuinginkan dulu.Â
Lucu.. karena waktu itu aku menempatkan kebahagiaanku pada mimpi, semakin aku maju, aku menemukan kekosongan. Dulu, aku masih merasa dunia berporos padaku, sebuah kesalahan besar untuk berpikir seperti itu. Setiap bangun pagi, aku berolahraga, dan setiap aku melakukannya seperti ada perasaan "Ko ada yang salah? Tapi apa?" pertanyaan itu sayangnya baru terjawab pada tahun 2020 dan semakin terjawab dengan berbagai macam bunyi jawaban pada tahun-tahun berikutnya. Jawabannya adalah bahwa waktu itu aku melakukan tarik ulur antara berpikir masa lalu dan masa depan, akhirnya aku lupa akan masa sekarang. Masa depan memang bisa diciptakan, inilah tekanan atau semacam latar belakang yang membuat kita seringkali tarik ulur ke masa depan, kekhawatiran bahwa kita tidak mampu mencapai sesuatu. Berbeda dengan masa depan, masa lalu adalah satu-satunya bagian yang sudah terjadi, hal baik buruk inilah yang mendikte kita untuk berbuat sesuatu terhadap masa depan.Â
Pada akhirnya, ketika masa lalu dan masa depan tarik ulur dengan berbagai macam motifnya, masa sekarang terabaikan, padahal masa sekarang adalah masa yang paling nyata senyata kita bisa merasakan udara yang kita hirup, senyata kamu bisa mengenal wewangian di manapun kamu berada saat ini, senyata kita bisa menikmati makanan yang sedang kita makan, semuanya nyata dan itu seringkali terabaikan yang membuat kita jadi manusia yang mungkin terburu-buru dan terkesan seperti robot atau bahkan manusia 'rese'. Kita jadi mudah dikendalikan oleh berbagai macam dikte, waktu, orang, sehingga tidak ada kesadaran seperti "Aku sadar akan diriku, aku memiliki kendali atas diriku, namun ada berbagai hal yang tidak bisa kukendalikan di luar diriku, dan itu tidak apa-apa."
Terbiasa untuk kalah ternyata tidak seburuk yang aku dulu kira. Berani untuk kalah adalah dimulainya kemenangan yang absolut. Bukan karena aku pengecut yang mengindahkan kekalahan, tapi aku mulai percaya bahwa manusia adalah makhluk yang digerakkan oleh kata. Ada kata 'menang' dan 'kalah', dua kata ini punya latar belakang masing-masing, tentu kita lebih mudah tertarik pada kata menang karena latar belakang dan hal-hal identik yang melekat padanya, apalagi jika ada hadiahnya. Namun, uniknya hidup ini juga mengandung berbagai macam paradoks.Â
Untuk meraih kemenangan yang absolut, harus berani kalah karena dengan itu kita mampu merdeka dari berbagai macam dikte, kita bebas, sehingga kita mendapatkan kemenangan yang lebih utuh. Dari dulu kita diajarkan berbagai cerita tentang kalah, perang dunia, lomba, adu argumen, akhirnya kalah identik dengan ketidakmampuan atau bahkan pecundang, tapi jarang rasanya kita mendengar bahwa kalah mampu mengantar kita pada tahap yang lebih baik dan untuk melihat berbagai macam keuntungan yang terdapat di dalamnya. Keberanian untuk mengakui kekalahan adalah kunci.
Ada berbagai hal di luar kita yang tidak bisa kita kendalikan, bukan 'sayangnya', justru hal itu memacu diri kita untuk berpikir lebih tentang suatu hal. Bukan "jadilah imago!" tapi pelajarilah imago. Menjadi pribadi yang perfeksionis nampaknya sangat menguras sekali, seiring aku bertambah dewasa aku mengetahui bahwa manusia memiliki kekurangan yang justru menciptakan dinamika indah pada manusia, dan dulu sayangnya aku berpikir bahwa memiliki kekurangan adalah kekurangan. Setelah 3 tahun, mulai dari 2017 hingga 2019, semakin ke depan aku semakin menyadari bahwa aku kalah, dari sinilah aku mulai membuka diri. Memang, mengakui bahwa kita salah itu kunci dari kesuksesan, sebab akhirnya kita menjadi lebih rasional dalam mengambil keputusan. Bermimpi besar pada pribadi yang layu bagai memberi kesempatan virus memakan inangnya.Â
Aku mulai mengerti mengapa aku tidak duduk di bangku universitas yang ternama, "everything happens for a reason" iya.. karena jika aku masuk di universitas yang ternama, kemungkinan besar aku gagal duluan karena diriku belum siap untuk kursi pada universitas tersebut, bisa saja aku harus memantaskan diriku di universitas yang aku duduki saat ini untuk menjawab "apa aku pantas berada di level selanjutnya?".Â
Omong-omong, bagaimana kamu? Apakah kamu berani mengakui kekalahanmu pada minggu, bulan atau tahun ini?
Â
Progress, not perfection!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H