Saya berpacaran dengan A, suatu waktu saya berselingkuh dengan B, dengan kejadian ini akhirnya saya dan A mengakhiri hubungan. 5 tahun setelahnya, ketika saya sudah berubah total dan menjadi lebih baik, saya menemukan pasangan baru yaitu C. Suatu waktu C berselingkuh dengan D, adanya perselingkuhan ini membawa saya dan C pada tahap mengakhiri hubungan. Hubungan saya dengan C adalah saat-saat di mana saya menjadi pasangan yang serius dan berkomitmen, berbeda ketika saya dengan A.Â
Dalam analogi ini terdapat waktu yang berbeda antara ketika saya dengan A dan saya dengan C. Letak subjektivitas yang terlihat seolah menjadi karma yang objektif pada analogi ini adalah menyatukan dua kejadian yang waktunya tidak selaras maka kausalitas tidak terjadi di dalamnya. Muncul satu pertanyaan, bagaimana jika 5 tahun sebelumnya saya tidak berselingkuh dan menjalani hubungan sebagaimana saya dengan C? Masihkah dapat dipandang sebagai karma? Sebab secara subjektivitas penyatuan, saya tidak bisa menyatukan 2 hal yang berbeda untuk ditempatkan di satu ruang yang sama dan mengatakan "aku menuai apa yang kutabur".Â
Pikiran hanyalah pikiran, namun pergerakan perahu tentu saja utamanya terikat dengan nahkoda, manusia tidak bisa dipisah dengan pikiran sehingga niat yang bahkan tidak secara keseluruhan dilakukan bisa termanifestasi dalam wujud yang setidak-tidaknya mikro.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H