Mohon tunggu...
Disti Annisa
Disti Annisa Mohon Tunggu... -

Pencinta hujan rintik-rintik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Diaspora Hanya Penggembira Pemilu?

13 Februari 2014   09:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:52 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rakyat pemilih lazimnya adalah tuan bagi para aleg (anggota badan legislatif) dalam konteks demokrasi representatif. Para tuan itu mesti diperjuangkan aspirasinya di DPR oleh para aleg. Sebelum duduk di DPR para caleg (calon anggota badan legislatif) harus mengenal permasalahan dan aspirasi calon konstituennya.

Pengenalan caleg tersebut lebih lemah terhadap diaspora Indonesia daripada pengenalan terhadap konstituen di dalam negeri. Diaspora adalah WNI yang memiliki hak pilih dan berdomisili di luar negeri.

Para caleg yang dipasang di dapil (daerah pemilihan) di mana diaspora dimasukkan akan mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi permasalahan dan aspirasi konstituennya. Kondisi negara-negara tempat WNI bermukim berbeda-beda karakteristiknya. Terlebih lagi bila caleg dari dapil tersebut belum pernah mengunjungi calon konstituennya.

Biaya yang diperlukan para caleg juga sangat besar bila mereka hendak mendekat ke calon konstituennya yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Padahal agar caleg berhasil mendulang suara, seorang caleg mesti dikenal para pemilih. Tentu saja, pengenalan itu tidak harus dilakukan dengan tatap muka saja. Namun, pemilih akan semakin yakin dengan pilihannya manakala mereka mengenal calon wakilnya di DPR dari dekat.

Seperti diatur dalam UU Pemilu, diaspora Indonesia dimasukkan ke wilayah Dapil DKI Jakarta II yang meliputi Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan Luar Negeri.

Banyak tersandung kasus hukum tanpa perlindungan

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah, mengungkapkan, di Malaysia saja 213 TKI sedang dalam proses hukum dan 70 kasus sudah divonis hukuman mati. “Di Arab Saudi saat ini terdapat sembilan kasus dengan vonis tetap hukuman mati dan 33 kasus dalam proses. Di China terdapat Sembilan kasus vonis tetap hukuman mati dan 18 kasus masih dalam proses.

Anis Hidayah menambahkan, sudah banyak eksekusi mati yang terjadi di beberapa negara terhadap buruh migran Indonesia. Di antaranya  pada 19 Januari 1990 Basri Masse dieksekusi mati di Malaysia, Karno Marzuki, 14 September 1991 di Malaysia, Yanti Iriyanti pada 12 Februari 2008 di Arab Saudi, Darman Agustiri pada 2010 di Mesir, dan Ruyati pada 18 Juni 2011 di Arab Saudi.

Apa yang menimpa buruh migrant Indonesia tersebut menurut Anis, sebenarnya tidak terlepas dari berbagai kesalahan. Sebagai contoh, 101.067 buruh migran tidak berdokumen yang mendaftarkan legalisasi namun hanya 17.306 yang berhasil mendapatkan dokumen ketenagakerjaan dan 6.700 yang mendapatkan exit permit (Okezone.com, 27/12/13).

Contoh di atas sekadar satu contoh kasus dari banyak kasus yang membelit para diaspora Indonesia. Dan, itu menunjukkan lemahnya perjuangan untuk melindungi mereka yang salah satu penyebabnya adalah karena wakil mereka di DPR tak mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil mereka.

Diaspora juga berhak memiliki wakilnya sendiri

Sebagaimana warga negara lainnya, diaspora juga berhak memiliki wakilnya di DPR. Hak-hak sebagai warga negara masih melekat pada mereka meski berdomisili di luar negeri yang diamanatkan di dalam undang-undang.

Diaspora mengemban tugas di pundaknya sebagai representasi bangsa Indonesia di kancah internasional, terutama di negara tempat domisilinya. Mereka membawa nama dan martabat bangsa. Mereka juga banyak menyumbangkan devisa bagi negara. Mereka tidak membebani negara karena mencari nafkah tanpa membebani dana anggaran pendapatan dan belanja negara.

Tak jarang mereka justru mengharumkan nama Indonesia melalui prestasi yang mereka torehkan di berbagai bidang seperti seni suara, olahraga, ilmu dan teknologi, jiwa pengabdian kepada sesama manusia, dan bisnis.

Berdasarkan pertimbangan itu layak kiranya tuntutan Diaspora Indonesia, organisasi perkumpulan warga negara Indonesia atau keturunan Indonesia bahkan warga negara asing yang bersimpati terhadap Indonesia untuk memiliki wakilnya sendiri di DPR.

Dengan jumlah 4,7 juta warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri dan 2,2 juta di antaranya memiliki hak pilih sangat wajar diaspora memperoleh wakil di DPR.

"Kenapa harus memilih Caleg dari Dapil DKI II saja. Warga diaspora juga menuntut punya caleg sendiri meski tinggal di luar negeri," kata Kepala Desk Diaspora Indonesia, M. Wahid Supriyadi. “Secara wilayah berbeda. Warga diaspora menuntut Dapil sendiri di luar negeri sehingga bisa menentukan caleg sesuai aspirasi," lanjutnya (VivaNews.com, 13/2/2014).

Untuk memperjuangkan aspirasinya Diaspora Indonesia bahkan telah mengajukan Uji Materi Undang-undang nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum yang telah diajukan pada 5 Maret 2013 lalu ke Mahkamah Konstitusi. MK sendiri menganggap tuntutan itu masuk akal namun tidak bisa dilakukan sekarang, karena harus melakukan perubahan undang undang.

Semoga saja perjuangan Diaspora Indonesia nantinya memperoleh hasil setelah mereka beraudiensi dengan DPR terkait usulan perubahan undang-undang pemilu. Sehingga, tidak timbul kesan bahwa Diaspora Indonesia cuma sekadar penggembira dalam hajatan besar demokrasi yang seharusnya juga melibatkan mereka. <<>>

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun