Beberapa hari ini dunia akademik heboh akibat kejadian Dr. Anggito Abimanyu dituduh memplagiat karya Dr. Hotbonar Sinaga. Artikel yang ditulis di Kompas “Gagasan Asuransi Bencana” disangkakan merupakan plagiat dari tulisan Dr. Hatbonar Sinaga berjudul “Menggagas Asuransi Bencana” juga di Kompas (21/7/2006).
Tuduhan plagiasi ini bukan yang pertama yang dilakukan oleh seorang doktor. Beberapa tahun yang lalu di sebuah universitas di Jember juga terjadi. Kala itu seorang dosen dituduh memplagiat koleganya sendiri dengan menulis buku hasil plagiat tersebut. Kemudian ia meminta maaf atas perbuatannya itu.
Pada 26 Maret 2000 seorang dosen Universitas Sumatera Utara, Medan, Ipong Azhar (Syaiful Azhar) dicabut gelar doktornya setelah melalui Sidang Senat Guru Besar UGM karena terbukti melakukan plagiasi (https://www.mail-archive.com/permias@listserv.syr.edu/msg10365.html).
Selain itu, ITB secara resmi membatalkan gelar doktor yang diberikan pada Mochamad Zuliansyah akibat kasus plagiarisme yang menimpanya. Demikian disampaikan Rektor ITB Akhmaloka dalam konferensi pers di Gedung Rektorat ITB Jalan Taman Sari (Detik.com, 23/4/2010).
Sejatinya, kasus plagiarisme yang tidak ketahuan jumlahnya berlipat-lipat dibandingkan yang ketahuan. Sarjana-sarjana S1, master, doktor, dan jabatan Profesor sebagai jabatan tertinggi di dunia ilmiah diperkirakan banyak yang melakukan plagiasi.
Plagiarisme adalah dosa tak termaafkan dalam komunitas ilmiah
Siapa yang berkecimpung di dunia ilmiah akan mengejar reputasi dengan membuat penelitian yang kemudian dimuat di media ilmiah seperti jurnal, buku, seminar. Reputasi ilmiah tertinggi akan diperoleh manakala sang ilmuwan berhasil mempublikasikan tulisan hasil penelitiannya itu di jurnal yang bergengsi.
Karena jurnal ilmiah internasional dengan reputasi bergengsi sulit ditembus akibat persaingan kalangan ilmuwan dari seluruh negara, cukuplah bagi ilmuwan mempublikasikan karyanya di media nasional, baik di jurnal yang diakreditasi oleh Direktorat Perguruan Tinggi, Depdikbud dan LIPI maupun media massa.
Reputasi itu melekat pada ilmuwan dengan keahlian di bidangnya masing-masing. Dan, dengan itu ia menikmati penghargaan yang tinggi. Secara formal ilmuwan yang berkarier di bidang penelitian dan pendidikan tinggi akan memperoleh gelar Profesor (Guru Besar). Otomatis ia juga akan mendapatkan status sosial dan ekonomi yang bagus pula.
Namun, bak pepatah “sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak ‘kan percaya,” begitu seorang ilmuwan ketahuan melakukan plagiasi maka tak ada ampun baginya. Ia akan kehilangan kepercayaan yang telah dibangunnya bertahun-tahun. Kalangan ilmiah tak akan lagi menghormatinya, bahkan akan menghukumnya secara sosial dengan tidak akan mengundangnya lagi sebagai pakar untuk berbicara di forum ilmiah yang bergengsi.
Reputasinya akan hancur dan status akademiknya, sosialnya, dan mungkin juga ekonominya akan merosot ke titik nadir. Ia akan disisihkan dalam pergaulan ilmiah oleh kolega-koleganya. Omongannya tidak akan dipercaya lagi. Kariernya pun hancur berantakan.
Alasan orang melakukan plagiarisme
Plagiarisme adalah anak kandung dari kultur “suka mengambil jalan pintas” dan “tidak adanya sikap menghargai proses” serta “tidak adanya rasa tanggung jawab” terhadap sikap dan perilakunya sendiri.
Kita dapat menyaksikan dengan mudah perilaku ini dalam praktik kehidupan sehari-hari. Begitu banyak kasus perjokian dalam penerimaan mahasiswa baru, menyontek ketika ujian/ulangan di kelas, menulis artikel tanpa menyebutkan sumber yang dikutipnya.
Dalam ranah yang lebih tinggi, sikap dan perilaku ini akibat dari budaya konsumtivisme yang merambah hingga ke pelosok-pelosok desa. Orang yang mengkonsumsi barang-barang baru dari luar negeri dianggap sebagai orang yang hebat dan mendapatkan status yang tinggi di masyarakat sekitarnya.
Kaitan hal tersebut dengan plagiarisme adalah bahwa dunia akademik merupakan akses untuk mendatangkan karier yang tinggi dengan sandangan gelar sarjana dan dengan demikian penghasilan juga akan meningkat. Gelar sarjana adalah gengsi tersendiri karena dengan itu berarti yang bersangkutan mampu secara akademik dan finansial. Itulah kesan yang ada pada masyarakat awam.
Budaya ilmiah yang penuh dengan etika dan proses yang ketat belum menyentuh lembaga-lembaga pendidikan formal, mulai sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Bahkan perguruan tinggi yang notabene merupakan benteng penggodokan sikap dan perilaku ilmiah sering malah menjadi pabrik plagiasi.
Proses pencetakan sarjana direduksi dengan adanya kelas-kelas jauh, perpustakaan yang lebih merupakan formalitas, alih-alih sebagai jantungnya perguruan tinggi, dan proses pembimbingan pembentukan kapasitas sarjana yang asal jalan. Misalnya, pembimbingan skripsi, tesis, dan disertasi dilakukan tanpa mengkoreksi bahasa, teorisasi, metodologi, proses pengambilan simpulan yang benar.
Dosen pembimbing dibebani tugas membimbing tugas akhir tersebut dengan jumlah bimbingan yang melebihi kapasitas seorang pembimbing. Akibatnya, pembimbing tidak dapat membaca dan membetulkan karya akhir mahasiswa tersebut dengan teliti dan sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah.
Masa studi yang hampir habis bagi mahasiswa dapat menjadi pemicu terjadinya plagiarisme. Dalam kondisi kepepet ini mahasiswa dapat tergoda untuk mengambil jalan pintas. Pembimbing pun kadang-kadang menutup mata akibat rasa kasihan kepada mahasiswa yang terancam drop out dari kampusnya.
Akhirnya, mahasiswa banyak yang melakukan plagiarisme karena kultur “suka mengambil jalan pintas” dan “tidak adanya sikap menghargai proses” serta “tidak adanya rasa tanggung jawab” terhadap sikap dan perilakunya sendiri tersebut.
Sebenarnya kalau mau lebih intens lagi, dosen pembimbing dapat mendeteksi karya tulis mahasiswanya. Pembimbing pasti tahu kemampuan verbal para mahasiswa bimbingannya. Pembimbing juga akan tahu mahasiswa yang kemampuan mengekspresikan fokus penelitannya dengan payah tidak akan mungkin menghasilkan skripsi, tesis, disertasi yang benar. Sehingga, jika seorang mahasiswa yang seperti itu menyodorkan karya ilmiahnya pembimbing harus “curiga” apakah tulisannya karya sendiri atau bukan.
Pembimbing juga dapat mendeteksi plagiarisme dengan mencocokkan paparan yang ada di draft karya tulisnya dengan referensi di akhir tulisannya satu demi satu. Jika hal itu tidak konsisten maka perlu ada kecurigaan lagi.
Kini terdapat software komputer yang dapat mendeteksi sebuah karya tulis itu plagiat atau bukan yang disebut software antiplagiarism. Dengan software ini akan terlihat apakah sebuah karya merupakan plagiasi atau bukan.
Secara manual deteksi plagiarisme dapat dilakukan dengan memasukkan judul karya tulis mahasiswa ke mesin pencari, misalnya Yahoo atau Google Search. Di situ akan tampak file-file yang dapat diteliti kesamaannya dengan karya tulis mahasiswa yang dibimbingnya.
Di luar pernik-pernik yang bersifat teknis tersebut, yang lebih penting adalah memperkuat kampus sebagai penyemai budaya ilmiah dan etika ilmiah. <<>>
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H