Mentalitas ini selain berkontribusi besar pada kemajuan peradaban manusia, juga membawa sisi gelapnya. Sisi gelap ini bahwa mentalitas ini juga menjadi sebab utama krisis ekologis yang kita alami sekarang ini. Sebab, mentalitas ini mengandung paham antroposentrisme yang menimbulkan dominasi manusia atas ciptaan lain yang sangat kuat.
Konsep antroposentrisme melihat bahwa manusia merupakan makhluk yang paling tinggi di muka bumi ini. Sehingga yang harus diperhatikan adalah kehidupan manusia, sedangkan ciptaan lainnya menjadi sekunder dan harus "mengabdi" kepada kepentingan manusia. Maka segalanya itu akan bernilai jika bermanfaat bagi kepentingan manusia. Konsep inilah yang membuka jalan bagi dominasi manusia atas alam dan ciptaan lainnya.
Kekuasaan atau dominasi atas alam dan ciptaan lainnya ini menjadi dasar ambisi penaklukkan dan penguasaan bumi dan segala isinya bagi kepentingan manusia. Sehingga tak pelak lagi terjadi eksploitasi tanpa ampun atas bumi dan isinya.
Teknologi yang dikembangkan pun yang berkepentingan untuk usaha penaklukan dan penguasaan tersebut. Dasar semua ini adalah konsep berpikir analitis-reduksionis yang melihat alam sebagai mesin yang statis, tak bernyawa sehingga dapat dikendalikan sesuka hati oleh manusia.
Mentalitas ini membawa perubahan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat. Manusia hanya mengutamakan dan mendewakan nilai-nilai kuantitatif material saja. Singkat kata dalam mentalitas ini berkembang juga konsep atau paham yang kurang tepat atau keliru tentang perkembangan.
Konsep "Perkembangan" yang keliru
Konsep antroposentrisme itu juga mempengaruhi pemahaman sempit tentang 'perkembangan'. 'Perkembangan' hanya dilihat dari segi material saja dan hanya diartikan sebagai pertambahan kuantitas.
Hal ini mencetuskan dampak negatif yang besar. Perkembangan suatu bangsa diukur berdasarkan dari tingkat peroduktivitasnya. Jadi 'perkembangan' direduksi hanya pada usaha penimbunan harta benda yang melimpah, konsumerisme, materialisme dan ketidakpuasan yang mendalam. Dengan kata lain 'perkembangan' hanya dimengerti sebagai tambahan nilai-nilai material saja.
Bertumpu pada orientasi pertambahan nilai-nilai material itu 'perkembangan' selalu terarah kepada eksploitasi Sumber Daya Alam dan manusia. Semuanya hanya untuk mengejar "having", tanpa memikirkan "being".
Dapat kita duga bahwa reduksi makna 'perkembangan tersebut telah menjadi sebab mendalam krisis ekologis dewasa ini. Sebab, atas nama pembangunan usaha eksploitasi SDA diizinkan, bahkan dilegitimasi.
Eksploitasi SDA itu perlu ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai. Karena itu, kemajuan IPTEK juga menjadi faktor yang menopang krisis ekologis di dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. IPTEK yang semula dilihat sebagai prestasi manusia adalah ambivalen, tidak hanya membawa keuntungan dan kemudahan, tetapi juga dampak dan pengaruh negatif.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!