Nada memetik pelan gitarnya dengan menyandarkan tubuhnya ke pilar penyangga rumah. Kawannya menikmati alunan nada dari gitar itu, memandang alam di sekitar asrama yang masih asri. Hanya mereka berdua duduk di teras berusaha menyelami nikmat suaka anugerah Tuhan.
"Kenapa cita-cita kita disebut panggilan?" Tanya Nada.
"Karena Tuhan yang memanggil dan kita menjawab panggilan-Nya. Itu adalah 'moment spesial'. Hanya aku dan kamu yang merasa nyaman menjalaninya."
"Benar. Betapa sepinya dunia kalau tidak ada suara. Bukankah bunyi itu tanda ada kehidupan, selama kita hidup, kita tidak bisa lari dari suara."
"Seperti musikmu?"
"Tidak hanya itu. Bayi yang baru lahir dikatakan hidup kalau dia menangis, mobil bisa berfungsi kalau ia menderu, bahkan alam semesta saja lahir ketika Allah bersuara: Jadilah!"
"Kau benar Nada, kita hidup juga karena bunyi detak jantung. Lalu bagaimana dengan suara-suara di surat kabar? Tivi? Radio?"
"Maksudmu tentang demo itu?"
"Benar."
"Bagus sekali, itu tanda bahwa negara sedang mengatur makhluk yang hidup. Demo itu sebenarnya musyawarah antara pemerintah dengan rakyatnya."
"Jadi kau suka dengan pengerusakan-pengerusakan itu?"