Masyarakat di berbagai daerah Indonesia mempunyai banyak keunikannya tersendiri. Mereka melakukan berbagai kegiatan-kegiatan yang mencerminkan kekhasan dari masyarakat atau daerah tersebut. Salah satu yang menjadi kegiatan tersebut ialah ritual tolak bala. Tolak bala menjadi salah satu ritual yang dilakukan oleh masyarakat di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam kebudayaan Dayak ritual tolak bala diartikan sebagai suatu ritual yang menyangkut cara penolakan terhadap segala sakit penyakit yang menyerang manusia atau kampung secara tradisional yang telah mengakar dalam masyarakat Dayak.
Kalau di telaah lebih mendalam sebenarnya ritual tolak bala adalah warisan nenek moyang itu mempunyai nilai-nilai luhur. Maka bukanlah isapan jempol belaka jika itu dijadikan sebagai salah satu kekayaan budaya bangsa, khususnya budaya Dayak.
Tujuan dilaksanakannya ritual tolak bala ialah untuk memohon perlindungan dari Petara supaya umat manusia dan segala sesuatu yang ada di muka bumi ini dibebaskan dari berbagai macam ancaman, mala petaka, maupun penyakit. Dalam ritual tolak bala juga dilakukan pali atau pantang sebagai syarat agar ritual itu dapat berhasi dan diterima oleh Yang Tertinggi.
Umumnya yang disebut "tabu" atau pali ialah suatu objek yang terlarang karena di dalamnya Yang Suci menampakan diri. Objek ini bisa berupa orang, barang, perbuatan, tempat dan lain-lain. Dalam adat Dayak, ada objek tertentu yang dianggap tabu, tidak boleh diganggu oleh manusia. Namun ada juga pantang-pantang berupa makanan. Pantang berupa makanan ini biasanya berlaku bagi orang yang sedang berada dalam proses penyembuhan atau pengobatan. Sebab perubahan makanan dan minum dalam suatu proses penyembuhan dapat mendekatkan orang dengan alam dan dengan roh utama yang ada dalam diri manusia.
Sementara itu, dalam ritual tolak bala pantang atau pali yang menjadi syarat ialah bahwa orang tidak boleh keluar rumah selama tiga hari berturut-turut atau tujuh hari berturut-turut. Itu merupakan persyaratan yang mutlak dan tidak boleh dilanggar oleh masyarakat setempat. Pantang-pantang ini ditentukan oleh tetua adat atau Temenggung adat yang mengepalai kampung atau daerah tertentu.
Pantang atau tabu itu akan bernilai positif atau dengan kata lain mempunyai nilai yang baik, sejauh pantang itu berguna bagi pengendalian diri manuisa dari gangguan-gangguan kejahatan. Karena Yang Suci dapat hadir dalam simbol-simbol yang dianggap tabu tersebut. Akan tetapi kehadiran simbol itu selalu dalam bahaya membeku. Artinya, objek itu dapat dianggap sebagai yang ilahi itu sendiri dan bukan lagi sebagai petunjuk kepada yang ilahi. Di sini ada bahaya kehilangan dimensi transendental, sehingga simbol merosot menjadi idol, menjadi berhala.
Dalam ritual tolak bala, kebiasaan pantang itu merupakan hal yang baik, di mana orang dapat menahan diri dan menjaga diri minimal selama masa pantang berlangsung. Dan dalam objek yang sifatnya "tabu" itu, Yang Suci dihadirkan dan sekaligus diasingkan, sebab Yang Suci sebagai "serba lain" mengancam situasi manusia yang biasa dan terkenal. Oleh karena itu dapat membinasakan manusia. Maka pada hari-hari yang ditetapkan orang mematuhi pantang. Namun yang suci tidak hanya diasingkan melainkan juga dihadirkan dalam objek yang tabu itu.
Pada zaman modern ini, usaha penolakan atau penyembuhan (menghindari diri dari sakit penyakit) melalui ritual tolak bala suku Dayak sudah jarang dilakukan. Ritual tolak bala dilakukan ketika ada fenomena alam atau peristiwa yang sangat luar biasa seperti fenomena pandemi covid 19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H