Masyarakat Dayak yang sebagian besar terampil berladang berpindah banyak disalahtafsirkan. Sistem perladangan berpindah dari satu bidang tanah ke lahan lainnya masih sering dirancukan dengan perpindahan tempat tinggal atau pemukiman mereka dan merusak hutan.
Untuk menghindari kerancuan ini, sistem ladang berpindah sebaiknya disebut sistem perladangan daur ulang. Sistem perladangan daur ulang yang bersekala lokal dan waktu yang relatif singakat ini sangat tepat untuk menamai sistem perladangan tradisonal masyarakat Dayak pada umumnya.Â
Pemilihan lahan untuk berladang dilakukan dengan penuh perhitungan mengingat ladang merupakan sumber pangan yang penting bagi kehidupan Suku Dayak. Pemilihan lahan yang kurang tepat akan berdampak pada hasil panen.
Dalam mengolah alam yang akan dijadikan ladang, masyarakat Dayak memiliki beberapa syarat yang harus dilakukan antara lain: Pertama, memberi tahu kepada Temenggung Adat mengenai rencana untuk mengolah suatu lahan tersebut.Â
Kedua, mencari lahan perladangan yang cocok untuk dijadikan ladang, dengan suatu upacara tertentu (bebasuk k'arang) agar memperoleh petunjuk dari Puyang Gana bahwa tempat tersebut boleh dijadikan ladang.Â
Ketiga, sebelum mengolah lahan tersebut, diadakan upacara ritual lagi untuk mohon berkat agar tanah itu subur dan menghasilakan padi yang melimpah. Keempat, lahan yang sudah dijadikan ladang itu, setelah 5-10 tahun dapat diolah lagi untuk dijadikan ladang.
Adanya syarat-syarat dalam mengolah alam menunjukkan bahwa Suku Dayak bersikap arif dan tidak sewenang-wenang dalam mengolah alam. Alam diolah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam hukum adat.
Sistem perladangan daur ulang yang dilakukan oleh Suku Dayak merupakan salah satu kearifan mereka dalam melestarikan lingkungan hidup dan menjaga keseimbangan ekosistem alam.Â
Dikatakan demikian karena petani tradisional Dayak telah melestarikan sumber daya plasma nutefah pangan, utamanya berbagai varietas padi, baik padi ladang maupun padi sawah. Selain itu petani tradisional tidak membabat hutan sembarangan dalam membuat ladang karena mereka lebih suka memanfaatkan hutan sekunder dari pada hutan primer.Â
Dan setelah panen, lahan bekas ladang tersebut langsung ditanami pohon buah-buahan dan pohon karet sehingga dalam waktu yang relatif singkat kawasan atau lahan yang dijadikan ladang menjadi hijau lagi.
Dalam mengerjakan ladang, orang Dayak memakai cara gotong royong atau beduruk: satu hari beberapa orang bekerja di ladang salah satu keluarga, hari berikutnya untuk keluarga yang lain dan seterusnya; lalu giliran dimulai lagi dari awal.Â