Memaknai Hari Pahlawan
Tepat sudah sekitar 69 tahun (sama seperti umur republik ini) yang lalu, ribuan sampai puluhan ribu rakyat Indonesia gugur di dalam suatu pertempuran terdahsyat yang pernah ada di bumi pertiwi ini. Dimana,gabungan rakyat sipil dari berbagai daerah seperti Surabaya, Sidoarjo, Jombang, dan kota lain di Jawa Timur bergabung dengan TKR untuk menjaga eksistensi NKRI di Surabaya dari keserakahan Inggris yang ingin menguasai Indonesia. Tak terbayang berapa banyak lautan darah yang tertumpah di Surabaya pada saat itu hanya demi satu cita-cita bersama sesuai dengan yang tertera pada Pembukaan UUD 1945, “Menghapuskan segala bentuk penjajahan di atas muka bumi ini”.
Hari ini, 10 November 2014. Tepat 69 tahun sudah hari bersejarah itu, bangsa ini masih saja dihinggapi permasalahan yang tidak pernah usai. Katanya sudah menjadi negara demokratis nomor wahid di dunia, tetapi kelakuan anggota di DPR-RI yang berebut pimpinan komisi tak lebih baik dari anak SD yang berebut makanan di kantin sekolah. Belum lagi, kinerja para anggota dewandi Senayan yang jauh dari target pembuatan UU pada periode sebelumnya. Banyaknya rapor merah ini menunjukkan degradasi mental aparat di negeri ini. Alhasil, mayoritas rakyat indonesia yang bersikap apatis terhadap pemerintah, pemerintahan legislatif tentunya. “Lebih baik gak usah ada DPR deh, buat undang-undang aja gak becus” .Itulah sedikit suara-suara rakyat yang sering kita dengar di jejaring sosial.
Perang Masa Kini
Di zaman serba modern ini, hampir tidak ada waktu yang digunakan masyarakat selain untuk menggunakan internet. Budaya, ekonomi, marketing, hiburan, sosial masyarakat, kesehatan, geografi, dan bahkan hal-hal yang tidak penting seperti astrologi menjadi realita budaya baru bangsa ini yang terbentuk dari globalisasi.
Setiap hari, kita tidak menyadari betapa mudahnya kita mengeluarkan uang untuk keperluan sehari-hari tetapi kita tak pernah mengerti esensinya. Kita selalu memprioritaskan upgrade ponsel setiap bulan, belanja pulsa jor-joran untuk membeli paket koneksi internet, membeli mobil dan motor keluaran teranyar untuk gengsi dan prestize di kalangan masyarakat. Padahal pernah kah kita tahu,kalau hampir 90 persen operator telepon yang beredar di Indonesia adalah milik asing. Baik melalui perseorangan, korporasi, maupun perusahaan multinasional. Bahkan, Telkomsel yang merupakan milik BUMN ternyata sebagian sahamnya juga dimiliki orang asing. Jika setiap bulan orang Indonesia menghabiskan 25 ribu rupiah untuk koneksi internet saja, dikalikan dengan jumlah penduduk yang berjumlah 250 juta jiwa (Karena menurut statistik, jumlah ponsel di Indonesia adalah lebih dari 1 kali jumlah penduduk) maka akan menghasilkan 6,25 Triliun perbulan pendapatan dari sektor telekomunikasi (setara 0,4 % APBN). Ironisnya, karena sebagian besar dimiliki atau perusahaan asing, pendapatan itu menguap tanpa bekas sedikitpun bagi rakyat Indonesia.
Contoh di atas hanya sebagian kecil dari banyak realita yang hadir di negara ini. Dulu kita perang secara fisik., keluar masuk hutan untuk bergerilya, menggunakan siasat perang hutan untuk menghadapi persenjataan canggih para penjajah. Tetapi, hari ini kita menghadapi perang yang tak kalah hebatnya dengan perang di masa lalu. Memang tak ada selongsong meriam di mana-mana, juga tak ada lautan darah tanda banyak korban yang jatuh. Tetapi, kita menyaksikan sendiri infiltrasi asing seluruh aspek kehidupan. Budaya K-POP yang menggantikan budaya daerah di kalangan anak muda, jebolnya APBN, larinya mayoritas pendapatan negara dari sektor perminyakan dan sektor-sektor lain ke negara lain, dan masih banyak lagi. Sesungguhnya, kita harus membuka mata bahwa kita sedang menghadapi perang masa kini, perang bayangan yang tak tampak (Proxy War).
Mahasiswa Agen Devisa
Perang yang tampak yang sudah terjadi, tetapi akan jauh lebih dahsyat lagi ketika genderang AEC (Asean Economy Comunity) ditabuhkan pada 2015. Tak bisa dibayangkan, para pekerja pabrik di Industri Indonesia nantinya terdapat orang-orang Thailang, Kamboja, Singapura, Malaysia. Juga tenaga guru dan dokter yang berasal dari singapura bukanlah mitos lagi. Tetapi, sebenarnya ada banyak cara untuk menghadapi perang globalisasi.
RRC (Republik Rakyat Tiongkok) dan India telah melihat fenomena itu sejak perang dunia II usai. Begitu pula Jepang yang hancur lebur setelah perang dunia II sekarang telah menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia. RRC sejak pemerintahan Mao Tse Tung telah mengkonsolidasikan rakyatnya melalui ideologi komunisnya. Dan sejak Den Xiaoping yang memerintah, mereka lebih kooperatif terhadap pasar bebas dengan menganut sistem ekonomi pasar bebas tetapi pemerintahannya komunis. Coba anda lihat di belakang bodi belakang ponsel Iphone anda. “Design in California and Assemble in China” yang artinya “didesain di California (AS) dan dirakit di China” adalah bukti kemenangan Tiongkok dalam perang melawan globalisasi. Produk boleh saja didesain dan divisualkan di amerika, tetapi barangnya akan dibuat di Tiongkok. Belum lagi fenomena Xiaomi yang menembus pasar global secaraspektakuler, menjual produk langsung via online untuk menghapus makelar produk sehingga harga jual produk turun drastis, membuat kita hanya bisa menggelengkan kepala dan membuat bos-bos Apple dan Microsft merah mukanya.
Sesungguhnya, pepatah mengatakan tidak akan pernah ada kata terlambat untuk melakukan sesuatu yang baik. Mungkin kita agak ngeper kalau melihat persiapan Thailand untuk menghadapi AEC 2015. Mereka membangun banyak pelabuhan dan pusat transportasi untuk ekspor mobil dan motor yang menjadi komoditi ekspor utamanya. Mereka juga mempersenjatai pekerja-nya dengan bahasa indonesia sebagai tanda siap untuk berperang di Indonesia. Kita ? Mungkin bangsa lain mengira kita terlambat melakukan perubahan karena revolusi mental yang dicetuskan presiden Jokowi baru saja beberapa bulan dimulai sementara AEC tinggal 2 bulan lagi. Tetapi kita bisa merangkak sedikit demi sedikit untuk membuka tabir kegelapan dengan Mahasiswa.
Dengan Mahasiswa? Mengapa mahasiswa bisa mengubah kondisi ini? Bukannya selama ini pengangguran terbanyak justru dari kalangan sarjana?. Iya, hal itu betul semua. Tetapi, kalau kita bisa berpikir jernih di dalam kubangan air keruh tidak mustahil air itu malah menjadi mata air nan jernih. PMW (Program Mahasiswa Wirausaha) dan PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) sejatinya kalau dimanfaatkan secara betul-betul dan tidak hanya dijadikan ajang untuk meraih medali emas saja di PIMNAS bisa menjadi senjata ampuh untuk menghadapi AEC 2015. Saya sendiri menyaksikan betapa sangat menggiurnya bisnis di dunia kuliner yang berawal pangkal dari program PMW di Kampus PENS. Belum lagi potensi mahasiswa teknik di Indonesia yang rela untuk berjam-jam berada di Kampus bahkan bermalam dari malam ke malam hanya untuk meruting rangakaian elektronika di Lab atau menyelesaikan permasalahan melalui coding program. Dan kalau potensi ini dimanfaatkan dengan sebaik mungkin tak tertutup kemungkinan program-program yang awalnya hanya untuk prestize semata bisa menghasilakan Industri baru yang revolusioner, yaitu Industri kreatif UKM yang barangnya dapat diekspor ke mancanegara untuk memperoleh devisa dan prosesnya dapat membuka jutaan lapangan pekerjaan. Sehingga anggapan Indonesia telah terlambat atau kalah untuk menghadapi perang globalisasi adalah sesuatu yang tidak benar. Sekarang tinggal satu pertanyaan, apakah kita dan stakeholder di negeri ini percaya dengan mitos ini atau tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H