Pada hari kemerdekaan Indonesia yang ke 74 saya mendapat ajakan dari Kakak saya untuk menonton sebuh film yang berjudul Bumi Manusia. Dari judulnya saya sempat menerka-nerka, apakah ini Bumi Manusia yang diangkat dari novel karya Pramoedia Ananta Toer dengan judul yang sama, atau memang hanya ada kesamaan judul saja? Kakak saya pun menjawab "Iya ini dari Novel karya Pram".
Sebelum mulai bercerita tentang film tersebut saya ingin memberitahu terlebih dahulu bahwa saya bukanlah seorang penggemar sastra namun tidak juga asing dengan karya-karya sastra, karena kebetulan saya suka baca beberapa buku dan juga mengenal beberapa judul buku dan pengarang terkenal.Â
Saya bukanlah penggemar sastra garis keras yang mampu melahap berbagai macam karya sastra yang membahas permasalahan dan problematika kompleks terkait gesekan ideologi yang berusaha disampaikan para sastrawan. Saya hanyalah pemuda yang pernah mencari ilmu di fakultas ilmu pengetahuan budaya universitas Indonesia, atau yang dulunya disebut dengan Fakultas Sastra dari jurusan Arkeologi, sebuah ilmu yang menurut saya paling banyak mengandalkan hard science dibanding jurusan-jurusan lain di fakultas itu.
Selama saya kuliah, sering kali teman-teman saya dari berbagai jurusan seperti sastra Indonesia, filsafat dan jurusan-jurusan lain penggemar bacaan-bacaan "berat" menenteng buku karya Pram yang berjudul "Bumi Manusia", mungkin bagi mereka itu bukanlah bacaan berat, hanya sekedar hiburan di waktu luang untuk mengisi ruang-ruang di kepala mereka yang secara konstan harus terus mereka isi. Namun yang jelas sejak saat itu saya terpapar dengan keindahan dunia sastra yang tidak pernah saya singgahi sebelumnya. Sebuah dunia abstrak dari ranah ide yang berusaha dihadirkan dalam dunia fisik melalui tulisan.
Cukup dengan sedikit perkenalan saya, kembali mengenai film Bumi Manusia, film ini ternyata disutradarai oleh Hanung Bramantyo, salah satu sutradara Indonesia yang saya tahu pernah membuat film yang berjudul "tanda tanya" sebuah film yang menggambarkan kompleksitas hubungan dari keberagaman di Indonesia khususnya hubungan antar umat beragama yang berbeda keyakinan.Â
Walau banyak kritik yang menyerang terhadap film "Tanda Tanya" tersebut, menurut saya karya Hanung ini patut diapresiasi sebagai sebuah langkah maju dalam perkembangan karya perfilman di masanya. Film "tanda tanya" membuat saya mulai melabeli Hanung sebagai salah satu sutradara Indonesia yang menghasilkan karya yang bagus. Karena itu saya tidak terlalu ragu untuk menerima tawaran kakak saya menonton film hasil adaptasi dari novel karya Pram dengan judul yang sama "Bumi Manusia".
Tidak ada ekspektasi yang berlebihan terhadap film ini, mengetahui pemeran tokoh utama "Minke" diperankan oleh Iqbaal Ramadhan seorang aktor muda yang mendapat kepopulerannya dari film "Dilan". Ekspektasi saya juga tidak saya patok terlalu tinggi ketika saya menyadari bahwa biaya produksi film di Indonesia tentu tidak bisa dibandingkan dengan biaya produksi film-film Hollywood yang mampu memberi modal yang besar dalam menghadirkan latar cerita yang apik.Â
Satu-satunya tujuan saya menonton film ini adalah menyegarkan ingatan saya tentang cerita dari novel Bumi Manusia dan interaksi antar tokohnya, karena sejujurnya saya belum pernah menyelesaikan membaca novel itu sampai selesai, hanya beberapa bab di awal yang tiba-tiba lompat ke beberapa bab di tengah-tengah lalu dengan tidak sabaran membaca sipnosis dan resensi buku yang tersedia dan mengklaimn diri saya dengan predikat seorang yang "pernah" membaca karya sastra dari Pram.
Durasi film yang mencapai 3 jam ini pun membuat saya memperhatikan layar bioskop dengan lekat-lekat sambil mengeryitkan dahi dan selebihnya asyik menggeliat di kursi karena sibuk membenarkan posisi kaki, apakah kaki saya seharusnya berselonjor ke depan, duduk dengan rapi, ataukah harus menyilangkan satu kaki diatas kaki lainnya. Alur cerita yang disuguhkan seakan tidak raya, mengingat durasi film yang begitu panjang seharusnya dipertimbangkan untuk mononjolkan kedetilan cerita di dalam novel yang biasanya tereduksi ketika cerita dalam novel dialihwahanakan menjadi sebuah film. Saya kecewa dengan film tersebut.
Film tersebut tidak berhasil mengguggah sisi emosional saya sebagai penonton untuk terlarut dalam cerita maupun memukau mata saya dengan detil dan ketelitian dari setting cerita yang disuguhkan. Aspek-aspek cerita yang ingin disampaikan Pram melalui novelnya seakan hilang dan dilebur menjadi suatu tontonan ber-genre romantisme picisan.Â
Tak heran ketika Iqbaal Ramadhan yang sebelumnya menjadi "DILAN", seorang tokoh yang jago dalam urusan kata-kata gombal, dijadikan tokoh utama Minke yang kini terlihat sebagai ahli dalam hal percintaan. Kebiasaan saya yang menyukai hal-hal detil terutama terkait dengan sisi historis dari sebuah film pun tergelitik untuk terus mengkritisi properti dan setting film yang dipakai, apakah properti dan setting sudah disesuaikan dengan riset konteks jamannya atau dibuat sekadarnya.