Praktik Pungli
Yang namanya Pungli itu sepertinya sudah menjadi bagian hidup masyarakat kita. Apalagi di kota tempat kelahiran saya, Medan. Sampai-sampai sebutan propinsinya pun diplesetin. Sumut singkatan dari Semua Urusan Mesti Uang Tunai. Dan sepertinya mereka warga di Medan itu mahfum, paham banget, menerima kondisi pungli yang sudah merajalela ini. Dan kota ini pun punya slogan "Ini Medan, bung". Lalu apa yang dibanggain dengan prilaku buruk ini, seolah-olah mengiyakan, kalau tidak pungli, tidak Medan namanya. Waduh miris sekali.
Sampai sebegitu parahnya, hingga kebanyakan orang sudah sulit untuk berpikir jernih. Saya masih ingat, ketika di tahun 1988 kakak saya diterima di Bank Bali waktu itu, kerabat yang mengetahui spontan bereaksi, nyogok berapa? iya lah ada orang dalam, siapa yang bawa? Seakan-akan orang-orang biasa seperti kami ini tidak boleh berprestasi, tidak punya hak mendapat pekerjaan bagus. Begitu juga dengan saya ketika tahun 1992 lulus di Fakultas Pertanian USU, banyak yang berkomentar sama, nyogok berapa? bayar lewat mana? jatah dosen ya? dsb dst.
Karena memang jamak di Medan ini, saat itu masuk USU nyogok satu Vespa, kalau Fakultas Kedokteran waah bisa 1 mobil. Parah sekali.
Belum lagi praktik-praktik pungli lainnya, saudara yang lain pernah bercerita saat bimbingan skripsi di universitas swasta, saat revisi skripsinya dikembalikan, ada secarik kertas dari dosen pembimbingnya yang menulis angka 100.000, pada tahun 1980an duit 100.00 itu nilainya berapa? Begitulah praktik pungli yang merasuk ke seluruh sektor. Dan itu dianggap hal lumrah saja. Bahkan untuk menggeser nomor antrian berangkat haji pun bisa terjadi. Hello, hari gini lu ngomongin pungli? selama ini kemana aja, begitulah kira-kira.Â
Korban Pungli
Ada satu cerita ketika seorang chinese asal medan, lama tinggal di Jakarta, kembali ke Medan ingin buka usaha. Kurang dari 1 tahun berusaha orang tersebut, balik lagi ke Jakarta. Dia cerita ke saya, alih-alih untung malah buntung. Dari awal mau buka usaha, banyak sekali biaya yang harus dikeluarkannya. Untuk sewa tempat dia harus menyiapkan dana untuk kepling (kepala lingkungan) sebutan pak RW di Medan dan Lurah. Begitu mengurus ijin usaha dia juga harus menyiapkan lagi dana mulai kepling, lurah, camat, hingga Dinas.
Selesai? Belum. Saat mulai usaha, lagi-lagi dia harus berhadapan dengan pungli dari kepling dan preman yang mengatasnamakan ormas. Kalau yang ini lebih gila-gilaan lagi, ada yang harian ada yang bulanan. Belum lagi menjelang Lebaran dan Natal, proposal dan surat dari berbagai lembaga berdatangan, 5000 perak pun diterima. Miris kita mendengarnya. Usaha yang baru dirintis belum mendatangkan hasil, tetapi biaya yang dikeluarkan sangat lah besar. Akhirnya beliau tidak kuat, dan kembali lagi ke Jakarta.
Saya pikir sih, praktik pungli ini menyebar di seluruh penjuru negeri, kota dan desa dengan beragam sebutan, fee, komisi, uang rokok, uang lelah, uang jago, upeti, saweran, setoran, atau apalah. Pelakunya hampir seluruh lapisan masyarakat, anak-anak, remaja, orang tua, laki-laki, perempuan, mau itu pelajar, mahasiswa, pns, polisi, tentara, dokter, ustad, semua ada yang melakukan pungli. Tidak lah heran jika ekonomi negeri ini berbiaya tinggi dan daya saing rendah. Lucunya, karena terbiasa pungli, seringkali mereka-mereka punya mindset menyamaratakan semua keadaan sehingga ketika dia melakukan perjalanan atau bisnis di luar negeri dipikirnya sama dengan disini, pabean negara orang mau disogok, antrian barang mau dipotong, ya gak bisa lah.
SABERPUNGLI
Beberapa hari yang lalu saya menerima sms yang tidak biasa. Bunyinya seperti ini "STOP PUNGLI!!! Jangan takut melapor, Identitas anda dirahasiakan Laporkan ke Call Center 193 atau SMS 1193 dan website http://saberpungli.id" dari Saberpungli (Sapu Bersih Pungutan Liar).
Cius nih? begitu kira-kira kata ABG.
Pada tulisan tentang Pungli sebelumnya, saya melihat keseriusan Presiden Jokowi memberantas pungli dengan memanggil para Gubernur. Hal ini kemudian ditindaklanjuti oleh Menkopulhukam dengan membentuk Tim Sapu Bersih. Mungkin pemerintah sekarang sadar betul, kalau ekonomi kita mau bangkit, daya saing kita mau tumbuh, korupsi dan pungli harus diberantas.Â
Tidak ada gunanya membangun jika praktik korupsi dan pungli tetap merajalela. Ibaratnya Anda mau sehat, olahraga rajin tapi merokok, minum arak, narkoba jalan terus. Sekuat apa badan Anda. Tetap akan kalah dengan hidup bersama penyakit. Sehingga kalau negeri ini benar-benar ingin sehat, pikiran masyarakatnya juga harus sehat, pungli dan korupsi itu dosa, haram, penyakit yang harus dibasmi, ditinggalkan. Baru kita setara dengan negara-negara maju. Yuk berdiri bersama, beranikan diri berantas pungli. Laporkan, beberkan, videokan, sebarkan supaya ada efek jera
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H